Citra D. Vresti Trisna
Warga Dudakarta sedang
direpotkan soal ular. Alkisah, sekembalinya Mbah Ripul dari kepergian yang
misterius — tidak satu warga pun yang bisa meneropong keberadaannya — ia
kembali ke Dudakarta dan memberikan pengajian di surau pada suatu subuh. Yang membuat
warga heran, beberapa detik usai membuka pengajian dengan salam, Mbah Ripul
terdiam. Ia baru melanjutkan kata-katanya usai jamaah sudah mulai kasak-kusuk.
”Saudara-saudaraku,
kita harus waspada kepada ular. Ular adalah hewan yang berbahaya, termasuk ular-ular kecil yang dilemparkan oleh penyihir Firaun sewaktu adu kesaktian
dengan Kanjeng Nabi Musa. Tapi, di sisi lain, kita harus mengenal ular-ular itu
dan kita pelajari atau dicari ilmunya,” kata Mbah Ripul.
Warga Dudakarta hanya
melongo menyaksikan ceramah Mbah Ripul. Karena Mbah Ripul paham ketidaktahuan
warga, ia melanjutkan kata-katanya, ”sebelum saya jelaskan lebih lanjut, saya
mempersilahkan warga Dudakarta pergi mengembara mencari ular-ular itu. Silahkan
mencarinya ke sawah, ke diskotek, ke kali, ke jumbleng, barongan juga boleh, ke
Alas Lalijiwo oke juga, atau langsung ke Mesir, kalau mampu lolos dari mripat
dunia, silahkan cari ke gedung putih atau ke bawah kolong dukun tiban. Setelah saudara-saudara
menemukan, kita bicara lebih lanjut. Kalau kalian tidak mau, saya tidak akan
kembali lagi ke Dudakarta. Wasalam... ” Ketika warga masih heboh, Mbah Ripul
sudah lenyap.
Dipimpin Mas Rombong,
warga Dudakarta merapatkan kata-kata Mbah Ripul sewaktu pengajian subuh. Karena
tidak menemukan jawaban kecuali kasak-kusuk tidak jelas, Mas Rombong mengambil
alih dan memutuskan untuk menyanggupi permintaan Mbah Ripul. Akhirnya
perjalanan dengan nama Ekspedisi Mencari Ular Kecil Agar Mbah Ripul Mau Kembali
ke Dudakarta (EMUKAMRMK2D) — usulan Pakde Dalbo — langsung disetujui warga.
Empat orang yang diputuskan berangkat dalam ekspedisi ini adalah Mas Rombong,
Pakde Dalbo, Kumis, dan Wakebol.
Meski Mas Rombong memberanikan
diri memutuskan menjadi ketua EMUKAMRMK2D, tapi ia sendiri belum tahu harus
berbuat apa dan mencari ular itu dimana. Berbekal bismillah, niat baik dan juga sekepal nasi lauk garam pemberian
istri, ia bersama timnya berangkat mencari ular. Pada awalnya instruksi Mbah
Ripul diterjemahkan Mas Rombong sebagai proses penelitian sejarah untuk mencari
dimana tepatnya penyihir Firaun melemparkan ular ke Musa. Dan setelah sampai
TKP, mereka bermaksud untuk menemukan hikmah dari ular-ular milik penyihir Firaun.
Warga Dudakarta pergi
ke mesir dengan cekeran. Dalam tempo
beberapa menit, warga Dudakarta sudah sampai di Mesir. Setelah tanya sana sini,
tanya calo, tanya sisa-sisa pendemo, mahasiswa, sejarawan, dan masyarakat
sekitar, Mas Rombong kecewa karena hasilnya nihil. Tak seorangpun tahu dimana
persisnya tempat ular-ular kecil itu dimakan ular besar dari tongkat Musa.
”Bagaimana kalau kita
ke kebun binatang saja,” saran Wakebol, ”siapa tahu ular-ular penyihir itu
tidak sepenuhnya dimakan ular Musa, lalu ular itu menjalani hidup dan beranak
pinak di kebun binatang,” lanjutnya.
”Gundulmu, Bol. Sudah
jauh-jauh ke sini, sebaiknya kita serius mencari dan belajar,” sergah Mas
Rombong.
”Bagaimana kalau kita sekalian
ngatvencures ke Bukit Thursina? Ketimbang
kita tolah-toleh di sini, lebih baik
kita ke tempat Kanjeng Nabi Musa pernah merasa songong dan diperingatkan Gusti Allah. Sapa tahu, beliau kepingin
dolan lagi ke sana sambil bawa kopi dari sorga dan kita bisa wawancara beliau; bertanya
langsung mengenai ular-ular yang dimaksudkan Mbah Ripul,” saran Dalbo.
Sebagai pimpinan
perjalanan, Mas Rombong merenung sejenak. Dari mimik mukanya ia nampak setuju,
tapi di sisi lain ada sedikit cemas di wajahnya. Dalbo menangkap kecemasan itu
dan segera menyahut, ”tenang saja, Mbong. Nanti kalau tidak kuat nanjak, kita
dorong bareng-bareng.”
”Nah kalau begitu saya
setuju.” Ujar rombong dengan wajah sumringah. Akhirnya warga rombongan Mas
Rombong memutuskan pergi ke Bukit Thursina. Karena tidak mengerti bahasa
setempat, Mas Rombong dan warga Dudakarta lainnya memutuskan jalan kaki hingga
ke puncak gunung sembari merenungi apa yang dimaksudkan Mbah Ripul. Setelah berada
di puncak, mereka ngaso sejenak. Ada yang
sholat dan ada yang ngopi dan menikmati bekal.
Tidak terasa sudah hampir
seminggu mereka ndomblong di puncak
tanpa hasil. Tidak ada tanda-tanda Nabi Musa sowan ke puncak bukit. Warga Dudakarta yang kaliren sudah hampir putus asa. Mas Rombong yang nampak tegar
membuat anggota rombongan jadi sungkan untuk mengajak pulang kembali ke Dudakarta.
”Ndak ada tanda-tanda,
Mbong?” Tanya Dalbo. Menanggapi pertanyaan Dalbo, Mas Rombong hanya menggeleng
dan kembali silo-sendakep. Tidak puas
dengan jawaban Mas Rombong, Dalbo kembali bertanya, ”sampai kapan kita di sini,
Mbong?”
”Sabar, Bo.”
Jawaban singkat dari
Mas Rombong membuat Dalbo kembali klesetan di tanah sambil siul-siul dan
sesekali rengeng-rengeng Serat Wedatama:
Uger guru aleman
Nanging janma ingkang wus waspadeng semu,
Sinamun samudana,
Sesadoning adu manis...”
”...Nggugu karsane priyangga,
Nora nganggo peparah lamun angling
Lumuh ingaran baliluUger guru aleman
Nanging janma ingkang wus waspadeng semu,
Sinamun samudana,
Sesadoning adu manis...”
Ternyata sampai juga rengeng-rengeng Dalbo ke telinga Mas
Rombong. Dalam silo-sendakep, Mas
Rombong terus mendengar pangkur sambil mengantuk.
”...Uripe
sapisan rusak
Nora mulur nalare ting saluwir
Kadi ta guwa kang sirung
Sinerang ing maruta
Gumarenggeng anggereng anggung gumrunggung
Pindha padhane si mudha
Prandene paksa kumaki...”
Suasana puncak bukit kian
dingin. Beberapa kali angin dingin menyapu ke tubuh warga Dudakarta yang masih terjaga
dan larut dalam perenungannya masing-masing. Sedangkan Mas Rombong kian hanyut
terbawa.
”...Kekerane
ngelmu karang
Kakarangan saking bangsaning gaib
Iku boreh paminipun
Tan rumasuk ing jasad
Amung aneng sajabaning daging kulup
Yen kapengkok pancabaya
Ubayane mbalenjani...”
Di akhir tembang, Mas
Rombong mengumpulkan anggota rombongannya. ”Kita pulang ke Dudakarta sekarang. Tapi,
sebelumnya kita jalan-jalan di pusat kota Jakarta dulu.”
”Ndak jadi ngopi sama
Kanjeng Musa?” Tanya Wakebol.
”Hussy... Ayo pulang
sekarang...”
Setelah bersabar dan
berjalan setapak demi setapak, tibalah Mas Rombong dan rombongan di kaki bukit.
Usai memakan sisa bekal yang tinggal sedikit dan mencari sumber air untuk
membasahi kerongkongan, mereka tiba dalam sekejap di halaman mall Grand Indonesia.
Dengan baju yang masih kotor dengan debu bukit, mereka jalan ke resto dan
melihat kumpulan orang-orang mengantre makan dan lalulalang orang yang
berbelanja. Karena tidak menemukan resto yang menjual ketela goreng, mereka
memutuskan keluar mall dan berjalan ke arah kerumunan warung kopi di pinggir
sungai mampet dan memesan kopi sambil ngebul.
Sepekan di Bukit
Thursina dan mendadak ke Grand Indonesia membuat mata warga Dudakarta sedikit
kesleo. Mereka ibarat sekelompok orang yang ditidurkan Gusti Allah di goa
selama ratusan tahun dan ketika bangun mereka heboh sendiri dengan perubahan
yang ada.
Beberapa gadis yang
berjalan beriringan dengan menenteng barang belanjaan mengganggu konsentrasi
Wakebol. ”Ndak ketemu ular penyihir, ketemu ular Grand Indonesia... Kenapa Mbah
Ripul ndak nyuruh nyari ular yang macam ini saja, ya? Senengnya kok nyari yang
aneh-aneh,” kata Wakebol.
Diam-diam Mas Rombong
membatin, ”kampret satu ini ternyata sudah makin pintar sejak otaknya yang kempel dicairkan terik Bukit Thursina!”
Setelah merasa klik dengan celetukan Wakebol, ia menimpali, ”perempuan itu
bukan ular, tapi apa yang melekat dan melilit di sekujur tubuhnya itu adalah
ular yang dilempar penyihir Firaun. Mereka juga sedang membawa sekardus
ular-ular kecil. Yang menempel di muka mereka dan membuat mereka menor juga
merupakan ular-ular Firaun yang hidup kembali di zaman ini,” jelas Mas Rombong
sembari mengunyah gorengan.
Pakde Dalbo yang juga
klik menyahut, ”jangan salah, lho. Perempuan-perempuan itu bisa menjadi ular
ketika mereka memasang bandrol di tubuhnya. Dan lelaki berduit yang mampu
membeli, sejatinya sedang berkencan atau nganu-nganu
dengan ular-ular kecil yang tidak sejati. Mungkin ini yang dimaksud Mbah Ripul,
Mbong?”
”Mungkin iya, Bo.”
”Kalau bagi saya, ya,
inilah ular yang dimaksud Mbah Ripul. Ular-ular kecil yang ndak sejati. Ular kecil
yang akan kalah dengan ular besar sejati dari tongkat Musa. Kalau saya ambil
contoh, ular-ular kecil di Alexis tidak akan mampu mengantar pria hidung belang
ke sorga. Karena yang mampu membawa ke sorga adalah perempuan sejati yang dinikahi
dengan sah. Perempuan kesepian yang ditinggal suaminya berdinas juga kerap
mencari ular-ular kecil yang tidak sejati ke pasar gigolo. Pria pemuas ini
bukanlah yang sejati, karena kata-katanya tidak sekeramat suami sah para tante
itu...” Jelas Dalbo.
”Sekarang itu sudah
lumrah ada pasutri yang saling merelakan pasangan mereka berkencan dengan orang
lain dengan syarat-syarat khusus. Si suami, biasa saja istrinya ditindih pria
lain, begitu juga dengan istrinya. Asal pasangan selingkuh yang dipilih
dianggap bersih dari penyakit, mereka asik-asik saja,” ujar Wakebol.
Kumis yang sedari tadi
diam bertanya, ”apa hubungan yang sampeyan bicarakan dengan ular kecil yang
dimaksud Mbah Ripul?”
Mas Rombong menjelaskan
pelajaran yang ia tangkap kepada Kumis. Ia menunjukkan bila saat ini masyarakat
modern, terutama di Jakarta, sudah jauh dari apa yang sejati. Ular bikinan
tukang sihir adalah sesuatu yang tidak nyata, tidak berbahaya namun memiliki
daya untuk menipu penglihatan manusia. Karena Kanjeng Nabi Musa memiliki
kewaskitaan dalam dirinya, ia merasa begidik dan takut dengan ular-ular kecil
itu. Manusia modernlah yang tidak punya rasa takut dan menerjang apa saja asal
merasa nikmat dan terpuaskan dengan sesuatu yang semu; yang sihir. Mereka melupakan
apa yang sejati.
Saat itu, Allah
mengingatkan Musa agar jangan takut dengan ular itu karena ia lebih unggul
lantaran memegang tongkat (kesejatian) — dengan kekuasaan Allah — tongkat itu
menjadi ular besar yang memangsa ular-ular kecil bikinan penyihir Firaun sampai
habis. Ini adalah perlambang yang diberikan Allah untuk memperingatkan kita:
hanya kesejatian yang akan menyelamatkan manusia; kesejatian adalah sesuatu
yang harus dikejar melebihi apapun di dunia ini.
Kini, setelah masa itu
jauh terlewat, kini hampir sebagian dari kita merindukan ular-ular itu kembali.
Manusia modern setengah mati mengupayakan agar ular itu kembali di kehidupan
mereka sebagai mitos kebahagiaan. Mereka mengira Gusti Allah begitu jauh,
sehingga di tengah perasaan seolah-olah sendiri itu mereka butuh teman semu
yang mampu menghilangkan kesadaran mereka hilang dan melupakan rasa takut
kesendirian untuk sejenak. Apa yang dilakukan manusia modern hari ini tidak ada
bedanya dengan yang dilakukan Firaun. Rasa takut kehilangan kewibawaan di mata
warganya — karena terlanjur mengakut tuhan — membuatnya mencari kedamaian
kepada penyihir yang hanya sanggup melahirkan ular-ular kecil yang tidak
sejati. Firaun dan masyarakat modern hari ini mengingkari apa yang dibawa Musa.
Belum tuntas Mas
Rombong menjelaskan perkara ular kepada Kumis, tim EMUKAMRMK2D dikejutkan oleh sebuah
mobil yang berjalan lambat. Di dalam mobil itu — bersama beberapa sosialita cantik
— ada Mbah Ripul yang sedang melambaikan tangannya ke warga Dudakarta. Mbah
Ripul berteriak dengan gaya kampungan ke Mas Rombong dan kawan-kawannya.
Kumis
melambai-lambaikan tangannya minta ikut, tapi sejurus kemudian ia diam karena
digampar Pakde Dalbo.
”Heeeeii, mengapa
kalian di sana? Kalian mau ikut saya? Jangan! Jangan! Kalian bau debu, di sini
wangi. Saya mau ngopi bersama ular-ular kecil; mau observasi, kalian pulang
saja ke Dudakarta. Salam cinta untuk semua warga. Mmmuuuuach...!”
Kini Mas Rombong dan
tiga orang kawannya yang dibikin melongo.
”Bajingan tua... Ular
itu ada di sarungnya Mbah Ripul ternyata,” ujar Pakde Dalbo, protes.
Jakarta,
Senin Kliwon, November 2017
1 komentar:
Tak enten2i postingan anyare gak metu2 pakde
Posting Komentar
Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.