#DUDAKARTAdanJAKARTA14
Citra D. Vresti Trisna
Sejak 27 Oktober 2017,
masyarakat Dudakarta menyambut langkah Pemprov DKI untuk tidak memperpanjang
izin usaha hotel dan gria pijat Alexis dengan yasinan dua hari dua malam. Apa
yang mereka lakukan bukan lantaran pro atau kontra pada penutupan Alexis.
Mereka hanya tidak tahu harus bersikap seperti apa.
Ketika berita ramai
meminta pendapat warga, warga Dudakarta justru ketlingsut dan tidak seorang wartawan pun yang memintai pendapat
mereka. Tapi, mungkin karena Gusti Allah tidak ingin warga Dudakarta terlalu
minder akan statusnya sebagai manusia yang mungkin butuh nggaya, maka datang juga seorang wartawan yang nyasar dan
mewawancarai Mbah Ripul dan si Kumis ketika keduanya sedang andok bakso di Mall
Roxy.
”Pendapat anda soal penutupan Alexis?” Tanya
wartawan.
”E... ee... ee... nganu...
kepriwe ya... nganu...”
Sadar
telah salah mewawancarai orang, wartawan itu meninggalkan dua mahluk aneh
Dudakarta. Seandainya warga Dudakarta dikumpulkan dan diwawancarai secara
serius pun, mereka tidak dapat menjawab dengan baik.
Kebisuan warga
Dudakarta pada penutupan Alexis bukan tanpa sebab. Pertama,sebagai
warga ilegal yang menumpang tinggal di Jakarta, mereka merasa tidak pantas
dimintai pendapat dan mereka juga bukan pelanggan Alexis yang taat. Mereka tak
ingin pendapatnya dicatat, dipublikasikan secara luas hingga harus melukai
pekerja Alexis. Karena dalam kacamata warga Dudakarta, penghuni Alexis bukan
hanya para punggawa PT Grand Ancol Hotel, tapi juga OB, tukang jamu kuat,
tukang parkir dan ribuan orang yang hidup dari perputaran bisnis Alexis.
Mereka juga paham,
drama penutupan Alexis adalah dialektika cinta antara Pemprov DKI dengan bos
gank Alexis. Agar semakin akur, kedua pihak memang harus repot-repot bikin
klarifikasi di media mengenai rasa keberatan keduanya. Nantinya kedua pihak
bisa saling merajuk, misalnya saling menyalahkan dan mempertanyakan.
Yang membuat warga
Dudakarta ngelembur yasinan adalah adanya lintasan bayangan dialog seperti ini
antara pemprov dan bos gank Alexis:
”Mengapa tidak sayang
kepadaku sebelum aku jadi bos di Jakarta? Aku benci kamu!”
”Lha gimana, wong saya
urunan bukan buatmu. Aku harus bagaimana ini, cintaku? Maafkan aku!”
”Ya sudah, kita tutup
lembaran kelam ini. Bukalah lembaran baru, gantilah bajumu, juga namamu. Itu
hanya mengingatkanku pada kisah yang lalu dan mulai sekarang belajarlah
mencintaiku.” Dan keduanya pun berpelukan.
Lintasan pikiran warga
Dudakarta bukan tanpa alasan. Drama sontoloyo memang dibutuhkan untuk sebuah
pentas kota sekaliber Jakarta. Dialog dan ekspresi yang terpajang di televisi
harus dibuat dramatis dengan tujuan agar penonton hanya bisa menerka dan tawur
sendiri-sendiri di media sosial. Soal tawur itu prinsipil atau tidak memang
bukan yang utama. Karena tugas orang pintar hari ini adalah membuat drama agar
digunjingkan, diributkan lantas orang-orang itu kehilangan fokus dan kejernihan
atas apa yang terjadi. Inilah ilusi optik dari drama dan media sosial hari ini:
kaburnya substansi dan masyarakat jadi pemuja tragedi.
Sedangkan yang membuat
warga Dudakarta menitikkan air mata di tengah yasinan adalah rasa bersalah
karena sempat merasa kehilangan Alexis berarti kehilangan laboraturium belajar
sabar menahan birahi. Tapi, di sisi lain, mengabaikan tangis istri-istri yang
kesepian di rumah dan menunggu suami pulang sambil mengantuk. Padahal warga
Dudakarta sepenuhnya paham bila kehilangan Alexis hanya satu tahap untuk
mendapatkan laboraturium lain yang lebih besar, lebih rapi dan lebih
menghentak-hentak birahi.
Setelah yasinan dua
hari dua malam, Mbah Ripul membuka omongan, ”warga Dudakarta sekalian. Sudah
dapat petunjuk dari Gusi Allah?”
Tidak ada jawaban.
Mbah Ripul meneruskan,
”acara yasinan ini akan terus dilakukan agar kita sebagai tetangga Jakarta
tidak salah berpikir, menentukan sikap dan bertindak atas penutupan Alexis.
Yasinan ini juga bentuk dari keterbelahan sikap dalam hidup untuk menentukan
baik-buruk dan mengambil hikmah. Ada keterbelahan sikap antara prihatin
lantaran Alexis ditutup tapi separuhnya bersyukur. Bagaimana saudara-saudara?”
Masih tidak ada
jawaban.
Jakarta,
Kamis Legi November 2017
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.