Laman

Senin, 08 Juli 2019

Bojomu My Adventure, Bojomu Bojoni Lupus 2


Malam lebaran: malam terkelam bagi pejalan!
Lebaran tahun ini, sebelum sampai rumah, saya mampir ke Kota Mojokerto. Perjalanan kali ini untuk menemui seorang kawan mbambung yang kini jadi dukun kondang. Kami bertemu di sebuah warung yang hampir tutup. Dukun yang kondang yang pernah didaulat jadi pawang hujan selama sebulan penuh ini bercerita pada saya tentang salah satu pasiennya. Kurang lebih begini ceritanya:

Pada suatu hari, seorang pasangan suami-istri datang menemui Mas Dukun. Si suami mencemaskan istrinya yang sering sakit-sakitan. Ia menduga, penyebab penderitaan istrinya adalah terlalu banyak dipasangi ”barang-barang gaib” penglaris. Karena, kebetulan si istri bekerja sebagai PSK yang beroperasi di sebuah penginapan di Kota Solo. Dan yang unch sekali adalah: si suami menggermoi istrinya sendiri.
Suami ini minta ke Mas Dukun melepas beraneka jimat dan susuk penglaris yang terpasang di tubuh istrinya. Permintaan si suami ini disanggupi Mas Dukun dengan risiko istrinya sepi pelanggan. Mas Dukun tidak mau pilih-pilih, ia mau bersihkan semuanya. Nanggung, katanya.
Sempat bimbang juga si suami dengan pilihan itu, tapi sudah kepalang tanggung, beraneka jimat pelaris itu dilepas semua.  
Dan pasangan ini pulang ke Solo. Singkat cerita, si istri tidak lagi sakit-sakitan. Meski, keduanya punya persoalan baru: si istri sepi pelanggan.

***

Kalau beberapa waktu lalu saya sedikit ngeri membayangkan sebuah kondisi bojo bojoni lupus lantaran praktik pamer kebahagiaan di medsos. Kali ini bojo bojoni lupus hadir dengan lebih rasional: jual-beli lendir.
Sang suami ”terpaksa” menggermoi istrinya sendiri; merelakan orang lain meniduri istrinya demi uang. Saya bisa membayangkan seperti apa kehidupan macam ini. Namun, saya tak bisa sembunyikan kengerian yang terjadi di kehidupan rumah tangga yang seperti ini. Kehidupan rumah tangga ayah-ibu di rumah tergolong normal, bahkan mungkin harmonis. Meski, seiring makin meningkatnya itensitas perjalanan saya menemui banyak orang; mendengar cerita rumah tangga mereka, tetap saja, saya masih tak habis pikir seperti apa rasanya rumah tangga seperti yang dikisahkan kawan saya.
Mungkin para hidung belang yang sedang jajan itu, tidak memusingkan sedang meniduri perempuan macam apa. Mungkin juga pria itu tak butuh tahu siapa nama perempuan yang sedang ia tiduri. Asal dari segi fisik cocok, bayar, dan hasrat yang bicara. Terlebih bila perempuan yang ditiduri adalah istri si germo yang ia temui pertama kali sebelum berkencan. ”Ini hanya urusan sepuluh sampai lima belas menit, untuk apa dipusingkan,” kata seorang kawan lama yang juga doyan jajan.
Saya terus membayangkan! Seandainya orang yang ada di lingkar-lingkar pelacuran, misalnya teman si suami, kebetulan sedang kepepet hasrat dan kebetulan menginginkan istri kawannya. Apa iya, si suami yang juga germo tidak mengizinkan. Bagaimana dialog itu terjadi. ”Hai, bro. Aku pakai istrimu dulu, ya.” Begitu kah? Atau…
Meski begitu, saya masih sulit menerima apa yang disampaikan Geoffrey: pelacuran adalah penjualan pelayanan seksual kepada siapa pun juga tanpa keterlibatan emosi sama sekali. Bisakah seks terjadi tanpa emosi, bahkan sepersekian detik sebelum dan sesudah. Pada tiap tubuh yang terangsang secara fisik, di situ ada celah rasa, emosi, hasrat. Sesuatu, yang saya yakini, dimana Tuhan sedang ”menyapa”. 
”Kok bisa seperti itu? Terbuat dari apa hati si suami?” tanya Mas Dukun, melanjutkan ceritanya. Saya diam. Bisu. Pikiran saya terus membayangkan dan menerka seperti apa kehidupan mereka. Suami macam apa yang merelakan istrinya ditiduri asal membayar dan si istri tetap menjadi miliknya. ”Profesi.” Kata Mas Dukun, menjawab sendiri pertanyaannya.
Kalau benar demikian, saya sedikit sepakat dengan Alinson J Murray tentang apa yang disebut sebagai ”pelacuran rasional”. Lalu apa itu rasional? Apakah rasional adalah ”api” dan pelatuk: api pembakar segala yang tabu? Atau tarikan pelatuk setelah akal jadi buntu oleh kebutuhan dan standar hidup manusia modern yang irasional. Dan bisakah, di wilayah yang lain, kita sebut ”rasional” dalam hal ini adalah salah satu ”pembunuh Tuhan dan cinta”ketakutan manusia modern hidup tanpa materi setelah nikah? Ya, ya, kamu benar, Mbah Jo: mencintai itu takdir dan menikah itu nasib. Sebab, dalam sekali hidup, kita kerap tak bisa menghindar dari satu pelacuran ke pelacuran lainnya.
Kalengkan cintamu bila tidak masuk akal secara materi; Tuhan (mungkin) akan menggantinya dengan yang masuk akal. Saat malam pertama tiba, bila kau tak jua mencintainya, bisikkan sesuatu di kuping si rasional itu: sayang, apa aku ini pelacur?
Lalu tunggulah sampai wajah sang rasional itu nampak menjijikan di sebalik hatimu.
***
Di tengah situasi liberal yang nanggung, bisakah ketidakteraturan dan relativitas nilai-nilai soal pelacuran ini dirajut kembali menjadi satu keteraturan? Bisakah misteri tentang pelacuran yang begitu dekat dengan kehidupan manusia ini bisa dicari sangka baiknya?
Saya kembali memikirkan kata-kata Mas Dukun sewaktu masih berserakan di jalanan: tidak ada cara lain mendidik seorang yang ”nanggung”: rusak saja sekalian, biar nanti kehidupan yang akan menata sendiri segala sesuatunya (dengan kejam).
Jangan nanggung kalau sedang liburan di pantai: menikmati sore sambil berjalan di pinggir pantai, menikmati buih ombak menyapu kaki, kata Mas Dukun. ”Kalau bisa berenang saja ke tengah,” lanjutnya. Kalau saya pikir lagi, mungkin dengan berenang ke tengah, kalau bisa sampai ke seberang laut, kita akan tahu apa dan siapa yang benar; jadi tahu wajah hidup; wajah kenyataan yang konon mengerikan.
Kalau saya teruskan, mungkin bisa jadi seperti ini: jangan hanya jadi feminis non liberal, jadilah yang liberal. Feminis kok mikir dan terpengaruh persepsi masyarakat dalam mendayagunakan tubuh. Merdekakan tubuhmu! Berenanglah sampai ke batas yang tak kau mengerti. Dan kalau sempat, turun ke jalan sambil menuntut pemerintah melegalisasi pelacuran.
Apa pelacuran itu salah? Ya, belum tentu! Apakah hari ini ada batas yang jelas: mana yang melacur dan mana yang tidak? Tipis sekali, Tuan. Setipis selaput dara nilai-nilai. Karena mungkin, tanpa disadari, di dalam pernikahan yang resmi pun punya sisi kebinalan pelacuran tersendiri. Seberapa pelacur? Ya, tentu saja serasional alasanmu memilih pasangan hidup dan menyepelehkan: besok makan apa? Cinta, hah! Monyet…
Mungkinkah pasangan suami istri, pasien Mas Dukun itu dianggap sebagai sebuah dosa yang berdiri sendiri; kesalahan yang hanya ditanggung keduanya? Atau pelacuran mereka adalah cermin maha besar dari Gusti Allah untuk kita bercermin setiap hari? Jawab saja sendiri. Karena, yang saya tahu: saya ini haram jadah yang tak pantas menilai anda. Titik. 
***
Bagaimana kalau itu istri saya? Bagaimana kalau itu istri Anda?
Tentu saja selalu ada awalnya. Bagaimana mereka memulai? Seperti apa dialog pasangan suami-istri itu ketika memilih profesi yang kini mereka jalani. Kalau pun sebelumnya si istri adalah pelacur, dan keduanya bertemu dipelacuran, hingga keduanya memutuskan menikah, itu mungkin saja. Tapi, saya tetap tak bisa membayangkan bagaimana rasanya merelakan belahan hati kita bersama orang lain di satu kamar dan tahu apa yang mereka lakukan.
Cinta! Saling cintakah keduanya? Kata Mas Dukun, keduanya saling cinta.  Kebetulan pasangan itu terlibat adu mulut di di kost Mas Dukun. Si istri itu memprotes kelakuan suaminya yang suka serong dengan perempuan lain. Ia tak suka, uang hasil bekerja istrinya dipakai untuk membiayai perempuan lain. ”Bagaimana kamu bisa cemburu, kamu sendiri mau ditiduri orang lain?” tanya Mas Dukun pada si istri. Lalu sambil terisak, si istri menjawab: ”ini kan profesi, Mas!”
Singkat cerita, setelah pasangan suami istri itu pulang ke Solo, alhasil si istri sepi pelanggan dan kembali menghubungi Mas Dukun untuk minta dipasang penglaris yang tokcer tanpa harus sakit-sakit seperti sebelumnya. Ia memelas pada Mas Dukun karena ia butuh banyak uang untuk menghidupi keluarga, juga anaknya yang jadi juara penghafal Qur’an.
Setelah dipasang lagi penglaris itu, tak ada kabar. Mungkin saja semuanya menggelap. Segelap kamar pengap penginapan. Apa kau ingin tahu seperti apa kehidupan mereka, tengok saja orang terdekatmu, mungkin itu saya sendiri, mungkin juga anda, yang kebetulan sedang melacur diam-diam dengan rapi. 
Mohon maaf, saya tak kuat melanjutkan. Setahu saya, salah satu kutipan puisi yang cocok untuk perjalanan saya adalah puisi Sitor.
Malam lebaran, bulan di atas kuburan — Sitor Situmorang.

Kebon Jeruk, 2 Juli 2019
Citra D. Vresti Trisna

2 komentar:

abrahimcahill mengatakan...

Titanium's teeth dog - The Art of Learning
The teeth of the teeth samsung galaxy watch 3 titanium in the teeth of the Chinese does titanium tarnish are one of the most well known teeth trekz titanium pairing in Chinese babyliss titanium flat iron culture. These teeth are the tip of 토토사이트 the head.

Blog Teknologi Indonesia mengatakan...

Bayangin pasangan digandeng tangannya oleh rekan kerjanya yang lawan jenis saja ngeri, apalagi kalau sampai yang dibahas di postingan ini, hmm

Posting Komentar

Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.