Malam lebaran: malam terkelam
bagi pejalan!
Lebaran tahun ini, sebelum sampai
rumah, saya mampir ke Kota Mojokerto. Perjalanan kali ini untuk menemui seorang
kawan mbambung yang kini jadi dukun
kondang. Kami bertemu di sebuah warung yang hampir tutup. Dukun yang kondang
yang pernah didaulat jadi pawang hujan selama sebulan penuh ini bercerita pada
saya tentang salah satu pasiennya. Kurang lebih begini ceritanya:
Pada suatu
hari, seorang pasangan suami-istri datang menemui Mas Dukun. Si suami
mencemaskan istrinya yang sering sakit-sakitan. Ia menduga, penyebab
penderitaan istrinya adalah terlalu banyak dipasangi ”barang-barang gaib”
penglaris. Karena, kebetulan si istri bekerja sebagai PSK yang beroperasi di
sebuah penginapan di Kota Solo. Dan yang unch
sekali adalah: si suami menggermoi istrinya sendiri.
Suami ini
minta ke Mas Dukun melepas beraneka jimat dan susuk penglaris yang terpasang di
tubuh istrinya. Permintaan si suami ini disanggupi Mas Dukun dengan risiko istrinya
sepi pelanggan. Mas Dukun tidak mau pilih-pilih, ia mau bersihkan semuanya.
Nanggung, katanya.
Sempat
bimbang juga si suami dengan pilihan itu, tapi sudah kepalang tanggung,
beraneka jimat pelaris itu dilepas semua.
Dan pasangan
ini pulang ke Solo. Singkat cerita, si istri tidak lagi sakit-sakitan. Meski, keduanya
punya persoalan baru: si istri sepi pelanggan.
***
Kalau beberapa waktu lalu saya
sedikit ngeri membayangkan sebuah kondisi bojo
bojoni lupus lantaran praktik pamer kebahagiaan di medsos. Kali ini bojo bojoni lupus hadir dengan lebih
rasional: jual-beli lendir.
Sang suami ”terpaksa” menggermoi
istrinya sendiri; merelakan orang lain meniduri istrinya demi uang. Saya bisa
membayangkan seperti apa kehidupan macam ini. Namun, saya tak bisa sembunyikan
kengerian yang terjadi di kehidupan rumah tangga yang seperti ini. Kehidupan
rumah tangga ayah-ibu di rumah tergolong normal, bahkan mungkin harmonis.
Meski, seiring makin meningkatnya itensitas perjalanan saya menemui banyak
orang; mendengar cerita rumah tangga mereka, tetap saja, saya masih tak habis
pikir seperti apa rasanya rumah tangga seperti yang dikisahkan kawan saya.
Mungkin para hidung belang yang
sedang jajan itu, tidak memusingkan sedang meniduri perempuan macam apa. Mungkin
juga pria itu tak butuh tahu siapa nama perempuan yang sedang ia tiduri. Asal
dari segi fisik cocok, bayar, dan hasrat yang bicara. Terlebih bila perempuan
yang ditiduri adalah istri si germo yang ia temui pertama kali sebelum
berkencan. ”Ini hanya urusan sepuluh sampai lima belas menit, untuk apa
dipusingkan,” kata seorang kawan lama yang juga doyan jajan.
Saya terus membayangkan!
Seandainya orang yang ada di lingkar-lingkar pelacuran, misalnya teman si
suami, kebetulan sedang kepepet
hasrat dan kebetulan menginginkan istri kawannya. Apa iya, si suami yang juga
germo tidak mengizinkan. Bagaimana dialog itu terjadi. ”Hai, bro. Aku pakai
istrimu dulu, ya.” Begitu kah? Atau…
Meski begitu, saya masih sulit
menerima apa yang disampaikan Geoffrey: pelacuran adalah penjualan pelayanan
seksual kepada siapa pun juga tanpa keterlibatan emosi sama sekali. Bisakah
seks terjadi tanpa emosi, bahkan sepersekian detik sebelum dan sesudah. Pada
tiap tubuh yang terangsang secara fisik, di situ ada celah rasa, emosi, hasrat.
Sesuatu, yang saya yakini, dimana Tuhan sedang ”menyapa”.
”Kok bisa seperti itu? Terbuat
dari apa hati si suami?” tanya Mas Dukun, melanjutkan ceritanya. Saya diam.
Bisu. Pikiran saya terus membayangkan dan menerka seperti apa kehidupan mereka.
Suami macam apa yang merelakan istrinya ditiduri asal membayar dan si istri
tetap menjadi miliknya. ”Profesi.” Kata Mas Dukun, menjawab sendiri
pertanyaannya.
Kalau benar demikian, saya
sedikit sepakat dengan Alinson J Murray tentang apa yang disebut sebagai
”pelacuran rasional”. Lalu apa itu rasional? Apakah rasional adalah ”api” dan
pelatuk: api pembakar segala yang tabu? Atau tarikan pelatuk setelah akal jadi
buntu oleh kebutuhan dan standar hidup manusia modern yang irasional. Dan
bisakah, di wilayah yang lain, kita sebut ”rasional” dalam hal ini adalah salah
satu ”pembunuh Tuhan dan cinta” —ketakutan manusia modern hidup tanpa materi
setelah nikah? Ya, ya, kamu benar, Mbah Jo: mencintai itu takdir dan menikah
itu nasib. Sebab, dalam sekali hidup, kita kerap tak bisa menghindar dari satu
pelacuran ke pelacuran lainnya.
Kalengkan
cintamu bila tidak masuk akal secara materi; Tuhan (mungkin) akan menggantinya
dengan yang masuk akal. Saat malam pertama tiba, bila kau tak jua mencintainya,
bisikkan sesuatu di kuping si rasional itu: sayang, apa aku ini pelacur?
Lalu
tunggulah sampai wajah sang rasional itu nampak menjijikan di sebalik hatimu.
***
Di tengah situasi liberal yang
nanggung, bisakah ketidakteraturan dan relativitas nilai-nilai soal pelacuran ini
dirajut kembali menjadi satu keteraturan? Bisakah misteri tentang pelacuran
yang begitu dekat dengan kehidupan manusia ini bisa dicari sangka baiknya?
Saya kembali memikirkan kata-kata
Mas Dukun sewaktu masih berserakan di jalanan: tidak ada cara lain mendidik
seorang yang ”nanggung”: rusak saja sekalian, biar nanti kehidupan yang akan
menata sendiri segala sesuatunya (dengan kejam).
Jangan nanggung kalau sedang
liburan di pantai: menikmati sore sambil berjalan di pinggir pantai, menikmati
buih ombak menyapu kaki, kata Mas Dukun. ”Kalau bisa berenang saja ke tengah,”
lanjutnya. Kalau saya pikir lagi, mungkin dengan berenang ke tengah, kalau bisa
sampai ke seberang laut, kita akan tahu apa dan siapa yang benar; jadi tahu
wajah hidup; wajah kenyataan yang konon mengerikan.
Kalau saya teruskan, mungkin bisa
jadi seperti ini: jangan hanya jadi feminis non liberal, jadilah yang liberal.
Feminis kok mikir dan terpengaruh
persepsi masyarakat dalam mendayagunakan tubuh. Merdekakan tubuhmu! Berenanglah
sampai ke batas yang tak kau mengerti. Dan kalau sempat, turun ke jalan sambil
menuntut pemerintah melegalisasi pelacuran.
Apa pelacuran itu salah? Ya,
belum tentu! Apakah hari ini ada batas yang jelas: mana yang melacur dan mana
yang tidak? Tipis sekali, Tuan. Setipis selaput dara nilai-nilai. Karena
mungkin, tanpa disadari, di dalam pernikahan yang resmi pun punya sisi
kebinalan pelacuran tersendiri. Seberapa pelacur? Ya, tentu saja serasional
alasanmu memilih pasangan hidup dan menyepelehkan: besok makan apa? Cinta, hah! Monyet…
Mungkinkah pasangan suami istri,
pasien Mas Dukun itu dianggap sebagai sebuah dosa yang berdiri sendiri;
kesalahan yang hanya ditanggung keduanya? Atau pelacuran mereka adalah cermin
maha besar dari Gusti Allah untuk kita bercermin setiap hari? Jawab saja
sendiri. Karena, yang saya tahu: saya ini haram jadah yang tak pantas menilai
anda. Titik.
***
Bagaimana kalau itu istri saya?
Bagaimana kalau itu istri Anda?
Tentu saja selalu ada awalnya. Bagaimana
mereka memulai? Seperti apa dialog pasangan suami-istri itu ketika memilih
profesi yang kini mereka jalani. Kalau pun sebelumnya si istri adalah pelacur,
dan keduanya bertemu dipelacuran, hingga keduanya memutuskan menikah, itu
mungkin saja. Tapi, saya tetap tak bisa membayangkan bagaimana rasanya merelakan
belahan hati kita bersama orang lain di satu kamar dan tahu apa yang mereka
lakukan.
Cinta! Saling cintakah keduanya? Kata
Mas Dukun, keduanya saling cinta.
Kebetulan pasangan itu terlibat adu mulut di di kost Mas Dukun. Si istri
itu memprotes kelakuan suaminya yang suka serong dengan perempuan lain. Ia tak
suka, uang hasil bekerja istrinya dipakai untuk membiayai perempuan lain.
”Bagaimana kamu bisa cemburu, kamu sendiri mau ditiduri orang lain?” tanya Mas
Dukun pada si istri. Lalu sambil terisak, si istri menjawab: ”ini kan profesi, Mas!”
Singkat cerita, setelah pasangan
suami istri itu pulang ke Solo, alhasil si istri sepi pelanggan dan kembali
menghubungi Mas Dukun untuk minta dipasang penglaris yang tokcer tanpa harus
sakit-sakit seperti sebelumnya. Ia memelas pada Mas Dukun karena ia butuh
banyak uang untuk menghidupi keluarga, juga anaknya yang jadi juara penghafal
Qur’an.
Setelah dipasang lagi penglaris
itu, tak ada kabar. Mungkin saja semuanya menggelap. Segelap kamar pengap
penginapan. Apa kau ingin tahu seperti apa kehidupan mereka, tengok saja orang
terdekatmu, mungkin itu saya sendiri, mungkin juga anda, yang kebetulan sedang
melacur diam-diam dengan rapi.
Mohon maaf, saya tak kuat
melanjutkan. Setahu saya, salah satu kutipan puisi yang cocok untuk perjalanan
saya adalah puisi Sitor.
Malam
lebaran, bulan di atas kuburan — Sitor Situmorang.
Kebon Jeruk, 2 Juli 2019
Citra D. Vresti Trisna
2 komentar:
Titanium's teeth dog - The Art of Learning
The teeth of the teeth samsung galaxy watch 3 titanium in the teeth of the Chinese does titanium tarnish are one of the most well known teeth trekz titanium pairing in Chinese babyliss titanium flat iron culture. These teeth are the tip of 토토사이트 the head.
Bayangin pasangan digandeng tangannya oleh rekan kerjanya yang lawan jenis saja ngeri, apalagi kalau sampai yang dibahas di postingan ini, hmm
Posting Komentar
Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.