Bojomu My Adventure |
Konon, sesuatu yang
membuat ”manusia penjara” tetap hidup adalah membaca ulasan tentang destinasi
wisata. Mengapa itu perlu dilakukan? Tentu
saja, agar tetap hidup dan bermimpi.
Konon, mimpi ”mengawetkan”
harapan. Dan harapan membuat manusia sadar sesuatu: nyawa itu ulet. Kesadaran ini
membuat manusia lebih siap hidup dan menjalani berbagai kemungkinan.
Sudah, sudah, cukup! Saya
tak berniat meneruskan kalimat saya sebelumnya, karena nama saya bukan Mario.
*
Untuk petualangan luar
biasa di kemudian hari, mari ucapkan, ”bojomu
my adventure”. Eh, maaf, maksud saya, ”my
trip my adventure”.
Maafkan kebejatan congor saya barusan. Sekedar info, saya baru
saja nggliyeng membaca tulisan di kaus
seseorang yang kebetulan lewat: ”bojomu
my adventure”. Sebelumnya, maafkan saya yang gampang ”masuk angin” dan
sentimentil pada gejala-gejala. Tulisan di kaus itu membuat saya berpikir: saya
disapa ayat Tuhan model apa lagi kali ini? Duh, Gusti, ampun… Soal setuju dan
tidaknya saya pada kalimat itu, pikir
keri.
Rasa penasaran ini
membuat hasrat goyang saya tersentuh. Mungkin ini sedikit 4l4y, tapi
percayalah. Ingatan soal kalimat durjana itu terasa begitu dekat. Sedekat musik
dangdut yang menghentak-hentak kala saya menulis ini.
Tentu saja, spontanitas
yang muncul macam bojomu my adventure,
jelas muncul dari seorang begawan yang tingkat kesufian sekaligus kesuwungannya
pilih tanding. Saya ndak tahu pastinya, siapa begawan itu? Apakah ia hidup di lingkaran
pemerintah, jalanan, atau per-purel-karaokean. Meski latar sosiologis lahirnya
spontanitas itu penting—untuk menakar seberapa gawat kebangkrutan hidup yang
telah terjadi di lingkar-lingkar sosial—tapi, saya putuskan untuk berdamai dengan
ketidaktahuan. Kata seorang kawan, ”adakalanya kebejatan lebih nikmat dirasakan
dengan ’mata’ terpejam”.
Lalu entah bagaimana spontanitas sang begawan
ini terbang tak tentu arah dan sampai di kepala kang desain kaus yang jiwanya diliputi suwung kecil-kecilan. Alhasil,
spontanitas sang begawan dari antahbrantah ini menempel di kaus, disablon,
dijual dan dibeli bocah-bocah akhir zaman. Lalu dengan perkenan Gusti Allah, bocah itu
melintas di depan saya.
Kengerian Terstruktur, Sistematis dan Masif
My
trip my adventure dan bojomu
my adventure adalah sesuatu yang”dekat”. Ya, sama-sama petualangan,
sama-sama menantang. Tapi, sekotor-kotornya saya sebagai bujang tengik. Saya tetap tak
bisa membayangkan betapa mengerikan hidup macam itu: sebuah situasi yang mirip homo homini lupus. Atau jika dimodivikasi sedikit ngawur ngintelek menjadi:
bojo bojoni lupus.
Apa
iya situasi semacam bojo bojoni lupus itu mungkin?
Anda tentu ingat
kata-kata ini: rumput tetangga selalu lebih hijau. Silahkan kalau setelah ini
Anda membatin, ”karena terlalu sibuk memperhatikan rumput tetangga, rumput di
halaman rumah sendiri jadi tak terurus.” Silahkan saja! Ini adalah spontanitas
yang wajar dan menunjukkan mekanisme pertahanan diri Anda masih bagus. Dan yang
terpenting saraf takut anda masih greng
dan berfungsi.
Saya harap, Anda tidak
perlu merasa kesal dengan mata iseng orang lain pada kekasih, pacar, suami-istri.
Terlebih lagi sampai membejat-bejatkan mata itu. Simpan rasa kesal dan tuduhan
itu pada diri Anda sendiri. Sukur-sukur anda mau bertanya: mengapa mata orang
lain begitu nganggur lihat ke halaman Anda.
Bagi saya, mata-mata
iseng itu tidak sepenuhnya salah. Mata itu bisa sampai ke halaman anda pasti
bukan tanpa sebab. Bukan, bukan otak tetangga anda yang bejat, tapi mungkin
saja anda yang mempersilahkan mereka melihat ke halaman Anda.
Saya
ndak pernah mempersilahkan mata-mata bejat itu memelototi halaman rumah saya!
Apa iya budaya pamer
kehangatan keluarga dan hubungan percintaan di medsos tidak melukai orang lain?
Pernahkah Anda berpikir kemesraan yang terpublikasi itu punya kemungkinan bisa
sampai ke mata seseorang yang sedang bermasalah dengan halaman rumahnya? Bisakah
Anda pastikan orang yang melihat halaman rumah anda lewat medsos itu puas dan
sudah bahagia dengan halaman rumah mereka sendiri? Atau mungkin saja kemesraan itu sampai ke
mata gelandangan yang tidak punya halaman (baca keras-keras: jomblo)
Bisakah Anda bisa memastikan
penonton yang tidak bahagia itu bisa bijak menanggapi kemesraan anda dan tidak sampai terluka hatinya, tergetar kejomloannya,
terusik kesendiriannya, hingga pada akhirnya dada mereka tak dipenuhi iri, dengkiti?
Apa iya orang yang sedang tidak bahagia itu tidak berandai-andai memiliki
halaman sebagaimana di rumah anda? Ketika hasrat mata-mata yang terluka itu
tiba, bisakah Anda memastikan bukan gambar halaman rumah anda yang dibawa ke
kamar mandi?
Anda boleh tidak
percaya dengan omongan saya, tapi yang jelas lewat medsos, Anda telah membuka
”pintu rumah” lebar-lebar untuk tetangga, teman, dan para tuna asmara. Mereka menunggu meminta masuk dan numpang joget.
Kadar Haram Lima Persen di Tubuh Kekasih
Puas hanya dengan kamar
mandi? Belum tentu!
Kenapa
tidak cari halaman nganggur untuk ena-ena sendiri tanpa mengganggu milik orang
lain?
Di titik inilah
petualangan baru dimulai.
Bagi
saya, hasrat adalah salah satu hal yang mengembalikan manusia pada puaknya. Hasrat
menjadikan kedewasaan mundur di titik nol: balita. Mungkin perkiraan saya bisa
salah, tapi kurang lebih inilah perumpamaannya, anda jelas tahu maksud saya.
Kalau
ada bocah menangis minta mainan temannya, jangan anda pikir mereka bisa Anda redakan
tangisnya dengan memberi dengan mainan baru. Anda keliru. Bocah itu tetap ingin memiliki apa yang ada tangan temannya; bukan mainan baru. Kalau pun
bocah itu reda tangisnya, jangan dipikir ia bisa menerima begitu saja mainan
baru yang Anda berikan. Di sebalik hatinya tetap akan menyimpan gelo. Ia tetap menyimpan keinginan
memiliki mainan temannya. Dan mata-mata yang terluka penonton setia halaman
rumah Anda itulah yang bakal jadi bocah tua nakal.
Yang
menentukan apa yang bakal dilakukan bocah tua nakal kemudian, bergantung dari tingkat
kenekatan. Menginginkan kekasih orang itu haram bro? Anda tentu ingat dark jokes
ini: mengurangi kadar alkohol dari lima persen ke nol persen agar bir halal diminum
itu tidak menyelesaikan masalah. Karena justru kandungan alkohol yang lima
persen pada bir itulah yang membuat enak.
Ya
sudah, silahkan saja kalau masih ada orang sakit jiwa pencuri foto di medsos.
Selama dia tidak merealisasikannya di dunia nyata. Silahkan saja menggila.
Ah, ya ndak juga! Anda
harus ngerti, singa tua kelaparan justru makin buas dan lapar menjilati sisa
darah bekas buruan singa muda lainnya. Mengapa
singa tua? Ketidakmungkinan lantaran kadar haram lima persen di tubuh
kekasih anda membuat mata-mata yang terluka itu menjadi singa tua. Ya, singa
tua: begitu lapar, liurnya menetes, tapi mengendus dengan teramat perlahan
karena ia tak bisa begitu saja nekat menyongsong tubuh kekasih anda. Mereka berhati-hati,
menunggu, siap goyang, mempersiapkan bekal selama ngadven-Croot.
Para pemilik halaman
yang budiman, tak bosan-bosan saya ingatkan, foto kekasih Anda, hanya membuat
singa tua makin lapar dan kreatif. Ketika kamar mandi telah menjadi seremonial
belaka, singa-singa tua penikmat bir itu mendambakan sesuatu yang lebih real. Anda mesti eling lan waspodo serta memafhumi makna di balik ”kelaparan”;
potensi-potensinya. Ingat, kelaparan membuat Karl Marx menghasilkan sesuatu
yang mengguncang dunia di tiga per empat abad. Bukan tidak mungkin singa itu (tetangga,
teman, musuh dan orang yang anda kenal) sedang menyusun rencana berburu di
”musim yang baik”. Lalu, sejurus kemudian tiga per empat umur anda dibuat stres
oleh luka kehilangan.
O,
jadi kami dilarang bagi-bagi kebahagiaan dengan pasangan di medsos? Gitu? Lha medsos
diciptakan untuk apa?
Coba hitung berapa
jumlah teman Anda di media sosial. Apakah di antara ribuan teman itu terselip
satu-dua singa tua lapar yang siap ngadven-Crut
tubuh, hati dan pikiran bojomu? Anda tak
mungkin menanyai mereka satu-satu.
Tapi, kalau Anda orang
yang berpikir positif, baiklah. Itu bukan salah Anda. Memang lebih baik saya
renungi sendiri saja perjalanan hidup saya. Pernahkah selama ini, sengaja atau
tidak, saya pamer kemesraan dengan kekasih hingga melukai kejombloan seseorang?
Pernahkah di sekali waktu saya membangunkan rasa iri kaum pecinta kamar mandi?
Atau mungkin pamer kebahagiaan dengan kekasih di tengah carut-marut hubungan
percintaan kerabat atau rekan kerja? Dan bagi saya, betapa bojo bojoni lupus itu abadi meski sifatnya kasuistik.
Mungkin juga,
barangkali selama ini kekasih kita telah berubah menjadi lembar-lembar foto
bercaption; menjadi daftar destinasi wisata yang ingin dikunjungi singa tua (pelancong
sinting)? Mungkin juga pelancong sinting itu sudah menyiapkan bekal? Atau mungkin
juga (bisa jadi) pelancong itu sedang ber-ena’-ena’
dengan hikmat sementara anda lengah.
Waktu
Mundur, 17 Juni 2019
Citra
D. Vresti Trisna
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.