Dukun Manggrok dan Dukun Keliling |
Di Tiongkok, orang-orang punya dongeng Pak
Tua Sinting. Sebuah alasan dan motivasi yang mengajak seseorang terus bekerja,
tidak menyerah. Apa yang sesungguhnya kita percaya, hingga begitu banyak orang
di Nusantara hidup bermalas-malasan dan menunggu nasib baik? Dongeng-dongeng macam
apa yang mengilhami kita?
Pak Tua Sinting adalah dongeng tentang
seorang tua yang pelan-pelan memindahkan gunung karang setiap hari. Dia
melakukan sesuatu yang dianggap orang-orang bijak Tiongkok sebagai perbuatan yang
mustahil. Tapi, Pak Tua Sinting tetap memindahkan batu karang sedikit demi
sedikit. Esoknya ia akan melakukan hal yang sama. Jika ia mati, anak dan
cucunya yang akan meneruskan.
Orang Tiongkok tidak mencatat kegilaan yang
dilakukan Pak Tua Sinting. Mereka mencatat etos kerja dan semangat untuk tidak
menyerah dalam menjalani kehidupan yang serba sulit. Seandainya hidup selalu
berangkat dari sejarah; dari kisah-kisah yang kita anggap teladan, tentulah
begitu suwung dan ngerinya manusia di bumi Nusantara.
Ya, warga Nusantara adalah orang-orang yang
lahir dari semangat dan kisah-kisah heroik lagi mistis. Kita tentu mengenal
dongeng Bandung Bondowoso dan Roro Jongrang. Semangat (yang kita sebut cinta)
membuatnya terpaksa menerima syarat Roro Jonggrang untuk membuat seribu candi dalam
satu malam agar Roro Jonggrang mau dinikahi.
Terlepas benar atau tidak kisah Pak Tua
Sinting dan Bandung Bondowoso, keduanya sama-sama melakukan hal besar yang
dianggap mustahil oleh banyak orang. Tapi, keduanya menempuh jalan berbeda
untuk mewujudkan keinginan mereka. Pak Sinting memindah gunung karang dengan
tangan setiap harinya. Bandung Bondowoso membangun candi dalam semalam dengan
bantuan jin.
Mungkin yang membedakan keduanya adalah Pak
Tua Sinting tidak berhasrat untuk bisa berhasil memindahkan gunung karang dalam
sekali kerja. Ada kontinyuitas yang dilakukan Pak Tua Sinting yang kemudian
menjadi teladan etos kerja setiap harinya.
Sedangkan kisah Bandung Bondowoso yang
membangun candi dalam satu malam (mungkin) diartikan dan diteladani warga Nusantara
sebagai keajaiban yang penuh mistisme. Kalau kata konservatif Jawa, apa yang
diakukan Bandung Bondowoso tidak lepas dari bantuan dedemit untuk merampungkan
seribu candi dalam waktu semalam, meski akhirnya Bandung Bondowoso gagal karena
dicurangi Roro Jongrang.
Apa kemalasan orang-orang di bumi nusantara adalah
karena mereka percaya ada keajaiban dan mistisme yang wingit yang mampu
menolong mengatasi persoalan hidup mereka? Mungkin karena itu dukun-dukun masih
tetap laris-manis dikunjungi. Bayangkan saja, dari kelas paling bawah-menengah
dan ke atas tidak luput dari klenik dan perdukunan.
Seandainya para dukun itu hanya menipu setiap
orang yang datang kepadanya, tapi kenapa banyak orang tetap percaya dukun dan pekerjaan
dukun tak pernah mati? Meski orang-orang di bumi Nusantara adalah orang yang
paling rajin meneriakkan modernisme dengan pinggang penuh dengan ajimat dan
rapal mantra.
Saya masih ingat, gerakan remaja Islam yang bermaksud
memberatntas mistisme, bidah dan tahayul. Mereka menganggap segala tahayul
adalah penyebab kemalasan sosial karena hanya menunggu nasib baik tanpa bekerja.
Meski gerakan ini sedikit overdosis karena mereka lupa lahir di bumi mana.
Mereka lupa bila masyarakat dibesarkan dengan dongeng-dongeng penuh keajaiban
yang diwariskan turun temurun. Mereka juga lupa untuk merubah nasib satu orang
tidak cukup dengan bismillah. Apalagi
dalam kelompok masyarakat yang lebih luas. Belum lagi yang dirubah bukanlah
sesuatu yang terlihat, tapi kasat mata.
Menghakimi dan menyalahkan adalah satu hal.
Tapi, melakukan sesuatu adalah sebaik-baik hal bila dalam konteks membantu
masyarakat yang lebih mengenal mistisme ketimbang dirinya. Maka tidak salah
kalau seorang kawan berujar, ”Saya lebih simpatik dengan dukun, ketimbang
orang-orang sok yang ingin menghakimi tahayul. Meski dukun itu menipu, paling
tidak sepulang dari dukun, seseorang bisa kembali menemukan kepercayaan
dirinya. Dan dari situ aku lihat dukun melakukan sesuatu,” ujar kawanku. Dan
rupanya kata-kata kawanku cukup masuk akal. Karena harga kepercayaan diri di
tengah situasi yang menghimpit, kepercayaan diri adalah barang mahal.
Sebagaimana Bandung Bondowoso yang hanya
bermodal nekat. Sebagaimana Bandung Bondowoso yang hanya bermodal amuck ketika
ia ditipu Roro Jonggrang. Masyarakat juga mewarisi hal yang sama. Masyarakat
juga memiliki kenekatan dan keberanian yang sama dalam menempuh banyak
ketidakpastian. Kalau dalam logika ekonomi, Indoneia adalah negara miskin, tapi
kita bisa saksikan mobil-mobil mewah laris manis di Indonesia. Kalau ekonom
kita mengatakan bila masyarakat kita memperihatinkan, maka tunggu dulu. Rupanya
kita juga perlu melihat daya beli masyarakat kita sangat tinggi. Terlepas budaya
konsumtif itu buruk, tapi yang jelas hal mendasar yang perlu kita catat adalah:
mereka mampu memenuhi kebutuhan mereka apapun caranya, dalam waktu
sesingkat-singkatnya. Dan sepertinya kita harus bertanya: apa yang tidak laku dijual
di Indonesia?
Bukankah apa yang masyarakat beli dan nikmati
adalah sebentuk candi yang mudah saja terbangun dalam satu malam? Bukankah
hanya amuck yang mampu membuat rakyat kecil mengamuk dan menjarah untuk
memenuhi kebutuhan mereka dalam sekejap? Apa yang membuat seseorang berani
berleha-leha ditengah kepahitan? Atau sanggup mengkredit motor meski anak
mereka banyak dan kredit motor sebelumnya tak lunas. Bukankah orang di Tiongkok
harus berpayah-payah sebelum menikmati mobil dan kemewahan, sebagaimana Pak Tua
Sinting yang memindahkan batu karang perlahan-lahan?
Aku
bersyukur menjadi warga Nusantara.
Citra D. Vresti
Trisna
Yakobus, 23
April 2014
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.