Selasa, 12 November 2024
Penerbangan Rüppell dan Kematian Azawakh
Rabu, 29 November 2023
Quote
“Kematian satu orang adalah tragedi dan kematian jutaan orang adalah statistik.”
Bukan Joseph Stalin yang menulis kata-kata itu. Lalu siapa? Quote bengis itu sudah ada jauh sebelum tangan diktator berjuluk Koba itu mulai lanyah menandatangani surat eksekusi mati semua lawan partai.
Ada yang bilang Washington Post sudah menulis quote itu sejak 1947.
Tak jelas siapa yang mengatakan atau menulisnya. Yang jelas, quote itu tidak mungkin lahir di kedai kopi yang tenang. Quote itu mungkin lahir dari orang, kerumunan dan masyarakat yang punya refren soal pembantaian.
Ya, pada suatu masa ketika pembunuhan di Soviet bukan lagi soal kualitas, tapi kuantitas; mengeliminasi jutaan orang “berbeda” yang masuk kategori “derajat satu” (tembak mati). Saat itu negara komunis perlu tumbal dari orang yang masih punya cita-cita dipimpin kerajaan. Tumpukan mayat para tuan tanah, keluarga Tsar, mantan aparat yang loyal dengan kerajaan masa silam dan setiap orang yang dianggap bersebrangan adalah fondasi yang kuat untuk memastikan kemenangan revolusi benar-benar mutlak.
Washington Post juga tak bersih-bersih amat imajinasinya soal “penyembelihan” atas nama minyak. Dan kita bisa terang-terangan atau malu-malu menyebut “penyembelihan cepat” itu dengan kata Amerika. Gelandangan Eropa yang terlahir sebagai koboi itu bisa dengan santai menembaki bangsa kulit merah sembari berkuda. Penduduk asli Amerika itu terus ditipu, diburu, disiksa. Mereka dibantai dan bahkan tanpa sempat tercatat angka statistik.
Mencari siapa pengarang kata-kata mengerikan itu dengan memilih negara yang punya pengalaman soal pembantaian, Jerman bisa jadi pilihan.
Jerman pernah menghasilkan pegawai rendahan bermental raja tega. Ada orang-orang yang bersedia bekerja lembur dengan upah murah untuk pekerjaan menggiring puluhan Yahudi, penderita gangguan cacat mental dan para gipsi ke kamar gas untuk dibantai. Konon, Yahudi yang telah jadi mayat itu pada akhirnya dicatat dalam daftar dan angka statistik yang dingin.
Negara mana yang tak punya sejarah pembantaian? Sejarah Soviet dan Amerika sama-sama berdarah. Yang membedakan adalah dalih yang dibuat dan seberapa jantan untuk mengakuinya.
Lalu, siapa yang menulis quote itu? Tentu siapa saja bisa jadi penulisnya. Zionis Israel juga boleh-boleh saja merevisi quote itu setelah tak bosan-bosannya mengusir warga Palestina dan membantai mereka seperti binatang.
Atau bisa jadi kata-kata itu justru ditulis atau direvisi oleh Pemerintah Indonesia. Siapa? Apakah orang-orang di balik Jokowi? Ah, sudah jelas tidak mungkin. Kita semua tahu, tukang mebel asal solo itu jelas tak punya perangai Firaun atau Namrud.
Citra D. Vresti Trisna
29 November 2023
Senin, 14 Desember 2020
Peradaban Mesin dan “Kematian Tuhan”
Apa tugas semua pendidikan tinggi? Mengubah manusia menjadi mesin. Dengan cara apa? Dia harus belajar bagaimana merasa bosan. ’Bagaimana itu dicapai?’ Melalui konsep tugas.” Tulis Nietzsche dalam Twilight of the Idols and the Anti-Christ.
Nietzsche memang sinis! Mungkin pada segala hal.
Juga pada dunia pendidikan yang pernah ia geluti: menjadi tenaga pengajar di
Universitas Basel, Swiss pada 1869. Sebelum ia bergelar doktor, ia telah diberi
rekomendasi oleh dosennya di Leipzig untuk mengajar di Basel. Ia pun mendapat
gelar doktor dari Leipzig tanpa melalui formalitas ujian. Dan ini adalah
sesuatu yang hampir mustahil terjadi di hari ini.
Melihat riwayat pendidikan Nietzsche, mungkin
tak banyak yang meragukan kecerdasan dan kecemerlangannya. Untuk itu, mustahil
ia tak menakar dan menghitung kembali aforisme yang ia tulis mengenai
pendidikan tinggi; sesuatu yang ia sebut “pengubah manusia menjadi mesin”.
Sedangkan istilah “manusia”, “pendidikan”, dan “mesin (robot)” memang begitu
dekat, klasik, meski tidak cukup mengherankan.
Di dalam lagu-lagu (progresif), pendidikan—apapun
jenjangnya—dikritik, dianggap sebagai cikal-bakal pembodohan terstruktur;
kemunduran yang gagal menjawab pertanyaan zaman. Bila dalam arus-arus perlawanan,
pendidikan dikritik; dipermasalahkan outputnya. Tapi, saya melihat kritik atas
pendidikan berangkat dari ketidakmampuan alumnus dunia pendidikan menentang
ketidakadilan, praktik perburuhan dan kapitalisme. Meski di sisi lain,
ketidakadilan perburuhan dan kapitalisme—jurang yang memperlebar jarak antara
kaya-miskin—justru diciptakan oleh alumnus dunia pendidikan itu sendiri.
Di hari ini, kritik itu telah lumrah. Bahkan
hampir di semua lapisan masyarakat pun tahu pendidikan telah dibabat dengan
kritik. Ia disebut-sebut sebagai bagian dari salah satu sektor kapitalisme yang
paling berbahaya. Dan kritik tetaplah kritik. Dan sekolah (baca: pabrik
pendirikan) tetap dibuka dan diserbu seperti biasanya sebagaimana tempat makan
McDonald’s yang baru dibuka di negara komunis yang bangkrut.
Ketika materialisme mencapai puncaknya dan
manusia kian dipisahkan dengan apa yang “sejati”, saat itu manusia bergerak
sebagaimana yang Nietzsche sebut: mesin. Manusia bergerak menjauhi dirinya
sendiri dan semakin tidak mengenal dirinya. Tapi, dalam jaring kejamnya dunia
perburuhan, sekolah sebagai pabrik buruh dituntut untuk merubah wajahnya. Bila
pada awalnya pendidikan tinggi mencetak manusia menjadi makhluk “universal”,
kini berubah menjadi makhluk “fakultatif”.
Apa ada perbedaan output pendidikan ini jadi
penting? Tentu tidak! Di mata masyarakat modern, manusia universal hanya akan
jadi penerus filsuf: cepat tua, tidak menarik dan banyak omong. Berbeda dengan
manusia fakultatif. Manusia jenis ini sangat baik dan efektif sebagai sekrup
kecil dalam mesin besar industri yang harganya murah bisa cepat diganti bila
membangkang dan aus.
Ketabahan sekrup-skrup kecil keluaran pendidikan
tinggi memang tidak lagi diragukan loyalitasnya. Kalau pada awalnya output
pendidikan tinggi “manusia universal” dipaksa menjadi sekrup, di mana mau tidak
mau mereka harus bertahan agar bisa melanjutkan hidup. Sekarang peminat
pendidikan tinggi sudah sejak mula-mula mendedikasikan dirinya untuk menjadi
sekrup, hidup sebagai sekrup sampai mati. Tidak jadi soal bila di tengah
perjalanan, nurani mereka bicara, lalu timbul pertentangan dalam dirinya dan
berakhir bunuh diri. Ini hanya nol koma nol sekian persen dari output
pendidikan tinggi yang ada.
Pilihan kata “mesin” pada aforisme Nietzsche,
bagi saya terbilang cukup tepat karena hanya mesin yang berjalan tanpa nurani. Agar
tak cepat-cepat tak tergantikan, buruh hari ini harus bisa lebih tabah, dingin
dan bisu melebihi mesin. Dan pelumas sekaligus pendingin mesin adalah upah
murah serta omong kosong yang manis tentang masa depan. Pelarian diri untuk
“buang hajat” ketika mesin telah dipanaskan jam kerja yang tidak masuk akal
juga telah disiapkan.
Hanya di lubang-lubang konsumerisme ini manusia
modern boleh bergulir. Keterikatan manusia dengan pola hidup konsumtif inilah
yang membuat para buruh ini selamanya terikat; selamanya menjadi mesin yang
kelak mati dalam kebosanan. Pendidikan tinggi jadi punya arti penting bagi para
industrialis yang sedang mencari buruh murah. Karena kurikulum yang ada saat
ini seolah tak punya urusan selain mencetak buruh-buruh murah.
Tidak heran bila pendidikan tinggi adalah sebaik-baik pemberhentian manusia untuk menghancurkan martabat—derajat manusia yang punya kaitan langsung dengan konsep Tuhan—sampai ke titik nadir. Alhasil mesin-mesin yang lupa martabat ini dihilangkan kemandiriannya dan mengalami ketergantungan serta hanya menginginkan dirinya untuk terus menjadi mesin industri di segala level. Setelah martabat dan kemandirian punah, barulah budaya baru “manusia modern” terbentuk. Dan setelah menjadi budaya, barulah peradaban baru terbentuk.
Titik berat dari moncong bedil atas kritik
pendidikan tinggi terletak pada output. Tapi, kritik ini bukan lahir tanpa
serangan balik yang lebih nampak seperti olok-olok. Output pendidikan tinggi
yang melahirkan sistem canggih perbudakan manusia di balik sistem perburuhan
dianggap sebagai kecemerlangan berpikir, buah dari universitas. Kalau memang
olok-olok itu benar, tentu saya akan balik bertanya: pendidikan macam apa yang
sanggup menciptakan manusia pencetus sistem perbudakan yang sistematis?
Ziarah ke Sungai Besor
Catatan: pernah dimuat di Koran Tempo 28 November 2020
Ziarah
:
penyihir hex
Kurang lebih seperti itu, di masa
depan aku akan melihat
diriku menangis sejak tiga ratus
tahun lalu
Di bawah pohon mahoni, sore itu,
dadaku remuk
mengetahui hari itu adalah akhir
kisah. Aku benci caramu
yang dengan jemari lentik menyelipkan
kembang
kamboja di telingamu-telingaku.
Lalu kata tak lagi saling silang
dan di jalanan buntu, rindu diketuk
bertalu-talu
Aku tetap menangis sekali lagi
ketika tiga ratus tahun lalu
Kota jadi bentangan deret makam
ngelangut. Hari berjalan
di antara sisa bau kamboja
bercampur wangi skincare
rambutmu yang setengah mati
kuingat. Apa kita telah selesai
ketika perjalanan hanya sakit
kepala dan doa ziarah dibacakan
lalu di sudut mana aku harus
bersembunyi dari kenang
yang senang membicarakanmu?
“Pergi saja dari kota ini agar
tiada bekas diriku di sini,” jawabmu
Mungkin yang belum kujelaskan
padamu hanya tentang aku
dan kota ini sama-sama dibikin
dari debu kotor; deras alir sungai
otomotif yang kucintai melebihi
dirimu; sekumpulan mayat
di kotak kardus, jalan-jalan
tikus dan bisik pengantar jenazah
atau tentang mayat yang membeku
di mesin ATM
Kasih, apa yang harus kulakukan
bila semua mayat ini busuk,
menyatu dengan refren yang
telanjang? Apa mungkin kelak ada
cinta yang bahagia meski sudah
tidak lagi perawan?
Sekarang mengapa kau diam tanpa
penjelasan, dan aku
tetap menangis seperti tiga ratus
tahun lalu
Jakarta, 2020
Kamis, 03 Desember 2020
Hikayat Pemburu Kijang
Tubuhku sekaku batang pohon rubuh. Rambutku jadi daun
Aku menempel pada batu berlumut lalu mengunci mulutku
Raja jin pun tak kuasa mengacaukan tapa diamku
apalagi cucup lintah, sengat kelabang dan nyamuk hutan
Punggungku dijahit rajah penangkal macan, ular dan teluh
Air dari seribu sungai telah kuminum agar tubuhku setenang
batu; agar hatiku sejuk; darahku setenang air kali
Kupastikan senapanku di posisi sempurna agar mesiu tak basah
Hanya ujung jemari kubiarkan lentur. Agar bedil meletus sempurna
menyembur timah dan ciprat api ke pelipis kijang air
Aku tetap bisu sampai ia tersentak kaget dan tersungkur
mencium tanah. Sebelum itu terjadi, aku pendamping
kembang hutan yang mekar dan menguncup
Aku temani kayu-kayu melapuk lalu hancur di tanah basah
Biar tonggeret menjerit-jerit, aku diam. Biar seribu hantu hutan
meniup leherku yang terbuka, aku tetap batang pohon rubuh
Aku menunggu ledakan batin bersama senapan lantak
Selebihnya diam. Membayar hutang dari segala yang terburu-buru
dengan mematung-bisu. Tak ada rumah, tubuh kekasih
dan gelak tawa di warung tuak. Hanya bisu! Bisu! Dan bisu!
Seperti hidup yang hanya perihal menunggu
Setelah segalanya (mungkin) telah sempurna: jejak kaki,
kotoran segar dan bekas rumput yang tak habis dimakan
telah kusimpan di kepalaku, maka aku pun menunggu
Aku tak ingin gagal di pertapaan singkat ini. Segala gerakan
adalah penghianatan atas laku. Ketidaksetiaan yang harus
dibayar dengan rasa malu yang panjang di warung-warung tuak
Mataku kobar! Urat leher mengencang, tapi kukendalikan
Mata itu kubidik, tepat. Pelatuk kuremas: senapan meletus
Seekor kijang menjerit, sekarat dan tersungkur. Aku berlari
mencabut parang siap menyembelih. Tak jadi kulakukan
Ternyata aku lebih sekarat dan mati dari seekor buruan
2020
* Pernah dimuat di Koran Tempo edisi 6 Juni 2020
Kamis, 09 Juli 2020
Jejak
Senin, 11 Mei 2020
Revolusi
Bila revolusi itu omong kosong, rebahan saja sambil ngeteh |