Kegelapan dan mimpi buruk
itu bernama ”deisme”. Pada abad 17-18 lalu, deisme datang bukan dari luar, tapi
dari dalam. Ia adalah antitesis dari puritanisme, yang waktu itu di wakilkan
oleh greja-gereja ortodok.
Saat itu deisme adalah mimpi
baru dalam kebosanan cara beragama yang emosionil serta labil. Deisme datang
dengan majunya intelektualitas kita. Semacam
upaya penyegaran masyarakat dengan mencoba mematerikan Tuhan agar tidak
ketinggalan jaman mencoba memaksa Tuhan berdamai dengan relativitas. Sehingga revealed religion berhasil dibuat tidak
lagi bermakna kecuali puing-puing barbarisme agama dalam sejarah pembantaian.
Maka saat itulah natural religion
lahir.
Deisme membuat pusat dari
segalanya adalah alam: sesuatu yang (seharusnya) ditaklukkan manusia. Karena,
menurut Ethan Allen, alam adalah sesuatu yang menjanjikan keteraturan ketimbang
Tuhan. Dan mungkin pemberontakannya pada moral lama dia wujudkan dengan menerbitkan
buku anti-Kristen. Dalam bukunya,
Allen mencoba menjelaskan bila keajaiban adalah sesuatu yang bertolak belakang
dengan alam. Meski ia kemudian gagal karena tak mampu menangkap
keajaiban-keajaiban dari alam. Dan yang paling tragis dari bukunya, ia telah
gagal untuk meramalkan kebutuhan manusia jaman sekarang: politik hijau. Karena
ia hanya berfokus pada singkronisasi manusia dengan alam bisa ditempuh lewat
penaklukan alam semesta.
Waktu itu di Amerika,
deisme menjelma dengan bentuk ketidak-pedulian antara satu dengan yang lain.
Tuhan kehilangan kedigdayaan dan berubah posisinya: dari yang tersudut dalam
sepi gereja, menjadi sekedar lembar-lembar mata uang. Di Soviet, deisme
(mungkin) berbentuk imbauan pada masyarakat agar lebih memilih untuk meninggalkan
Tuhan dan menyembah listrik.
Saat itu, deisme adalah
sebuah ajaran yang hendak mengatakan: bila diantara kita tidak sedang
”terpojok” sebaiknyaberhenti untuk menjadikan Tuhan sebagai prioritas. Kritik
bila Tuhan adalah bayangan dan bentuk ”kekalahan” manusia pada kesendirian
sehingga membutuhkan penenang: sorga-neraka.
Kemenangan deisme dalam
sendi-sendi kehidupan masyarakat Amerika waktu itu berada dalam rentang waktu
yang pas — ketika setiap orang mulai lelah dengan arogansi puritanisme yang
membuat dunia jadi banjir darah. Sehingga rasionalitas dan Tuhan muncul dengan
wajah baru: modal, tanah dan pemilikan alat-alat produksi. Tapi, lagi-lagi
warga Amerika kembali dikecewakan: iblis dari kapitalisme tidak bisa dipisahkan
dengan dahaga ekspansionistiknya pada kekuasaan modal. Dan pertumpahan darah
pun terjadi dengan dasar yang paling logis; realistis.
Kedatangan deisme adalah
sebuah babak baru dimana wahyu dan mistisme religi yang membuat agama jadi
wingit tidak lagi ada harganya. Logika adalah satu-satunya ”jalan menuju…” dan
upaya seseorang berdekat-dekatan dengan Tuhan. Tapi, bisakah agama bergerak
tanpa wahyu? Sedangkan agama dengan pondasi iman butuh sesuatu yang tak dapat
ditangkap dengan rasio. Dan tanpa rasio, seperti yang dijelaskan Thomas Paine,
tanpa logika Amerika tidak akan merdeka. Meski pada abad ke 18, kehadiran
deisme hanya sebagai sebuah ekslusifitas, tapi deisme mewarnai perjalanan
Amerika.
Sedangkan di negara-negara
lain, deisme hadir sebagai konsekwensi logis; tata urutan seseorang yang
termakan evoria dan kembang kertas filsafat — sesuatu yang oleh kaum anarkis
dianggap puncak dari tidak kongretnya hidup dan pembias semangat perlawanan.
Di satu sisi saya sepaham
bila deisme dan logika memang diharusnkan memiliki tempat yang pantas bagi
seseorang yang mentasbihkan dirinya sebagai manusia yang beragama. Meski,
mistisme adalah sesuatu yang mutlak dan harus. Karena mistisme adalah sesuatu
yang kemudian mendorong manusia untuk dapat membedakan dirinya dengan Tuhan.
Namun, yang menarik adalah
hari ini. Ketika dunia sibuk memploklamirkan diri sebagai bagian dari deisme,
yang ditandai dengan munculnya tukang kritik yang gemar membinatangkan kelompok-kelompok
moralis. Tapi, dunia adalah dunia yang bergerak dengan caranya sendiri. Ketika
kelompok-kelompok yang mengagungkan rasionalitas dalam agama, seperti JIL,
telah mendapat tempat di masyarakat, tetap saja keputusasaan dan rasa inverior
menghantui mereka. Karena hampir setiap rasionalis selalu mengatakan bila dunia
akan bergerak ke arah fundamentalisme.
Apa yang salah dengan
kelompok rasionalis hari ini? Seperti ada ketakutan dengan berulangnya sejarah
kelam berdarahnya agama-agama dunia. Bukankah praktik-praktik deisme sudah
masuk dalam kurikulum pendidikan anak-anak sekolah? Bukankah hari ini kita
telah berhasil ”membunuh” Tuhan dengan cara yang paling sadis: menukar
keyakinan dengan petunjuk dan segala prioritas dan ekspektasi kita.
Seperti di lingkungan
dimana aku tinggal sekarang, misalnya. Kebenaran hanya seharga Rp 2.5 juga. Ya,
sebuah harga yang begitu memerosotkan harga diri. Meletakkan apa yang
seharusnya; Tuhan; dan keyakinan dalam keranjang sampah. Tapi, lagi-lagi kita
(terpaksa) harus belajar berlapang dada dengan standar logika. Bila kebenaran
tidak sejalan dengan kepentingan modal, kepentingan pribadi, dan politik, maka kebenaran
(Tuhan) itu sah untuk dilenyapkan. Karena rasionalitas hari ini adalah 2.5
juta. Karena Tuhan dan segala mistismenya hari ini tidak lebih mahal dari ayam
kampus di Ibu kota. Dan hari ini, dengan bangga saya katakan: kita telah sukses
membunuh Tuhan.
Sby-Smp,
9 Februari 2014
cdv_t
1 komentar:
Saya kagum dgn cara berpikir anda salut. Pintar dan cerdas
Posting Komentar
Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.