#Pentas di Perpus UB#
Apa
yang lebih menjengkelkan ketimbang melihat sebuah adegan telanjang di sebuah
kampus yang agak bersih dan gemar membangun gedung dan suka membuat ramai
malang dengan mahasiswa bermuka bersih setiap tahun ajaran baru. Dan yang
menyesakkan adalah ketika pelakunya temanmu sendiri. Siapa dia? Ya,tidak ada
yang berkelakuan seperti itu ketimbang kawan lama yang mengaku merdeka karena
berani onani di sembarang tempat. Dia adalah Rori.
Kalau
kamarin aku menjumpainya di warung, sekarang aku menjumpainya di perpustakaan
UB. Kali ini, dia mengundang perhatian dari setiap mahasiswa jomblo yang
kebetulan sedang goblok untuk menghabiskan waktunya dengan online. Tentunya ini
adalah tontonan menarik, meski wajah para ”mutan” di sini terlihat jijik dengan
kelakuan Rori, tapi aku percaya di sebalik muka sok jijik mereka, tersimpan
sesuatu yang purba: menganggap orang (gila) sebagai hiburan.
Yang
bikin aku kesal dengan manusia kemplo ini adalah ketika ia joget di depan
banyak orang hanya dengan selembar kancut bergambar kartun Digimon, sembari
tangannya memegang seplastik es marimas dan mulutnya kepul-kepul rokok utisan. Dia berjoget sambil berjalan ke
segala arah dan jogetnya melambat dan semakin pelan ketika berjalan ke arahku
sampai akhirnya ia berhenti dan duduk di hadapanku.
Kemudian
ia mengacungkan tangan ke atas sambil berkata cukup lantang, ”Salaman sek,
TuhanBro, biar gak salah paham dan tampak akur.” Setelah itu, ia mengajakku
bersalaman dan aku sambut tangannya dengan malu-malu. Seandainya kalian semua
menyaksikan senyumnya yang lebar, sudah pasti anda akan kem bali menemukan
harga diri anda sebagai manusia. Tapi, mungkin tidak bagiku, karena sekarang sorot-sorot
mata geli dari para intelektual UB tertuju ke mejaku. Disangkanya aku adalah
bagian dari kegilaan yang sangat tidak pantas di pabrik toga ini.
”Kapan
kau berhenti membikin aku malu?” kataku kesal.
Kini
dia kembali mengacung-acungkan tangannya ke langit. ”TuhanBro...! Aku ini
siapa? Ciptaanmu atau bukan, sih? Kenapa bandit dan sampah terminal yang telah
dicuci status ’bukan penganggur’ ini sombong padaku? Kalau aku adalah bagian
dari kehendakmu, sebagaimana daun-daun jatuh ketika sore mulai muram, mengapa kawan saya yang kini terlihat necis dengan sweater hijau dan sepatu boots warna
kebiru-biruan ini tidak suka aku mendatanginya?”
Nah,
sudah kuduga. Hal ini yang paling kuhindari. Ketika dia sudah mulai jadi
tontonan dan ngelantur seperti seorang alay yang kehilangan Bb-nya. Sekarang aku
tidak bisa berkutik. Kali ini sorot-sorot mata dari para penerus bangsa ini bergantian
pula ke Rori dan kepadaku.
”Dancuk...! kenapa tidak menemui saya di
warung saja. Kenapa kamu muncul di sini?”
Kini
Rori semakin menjadi-jadi karena kata-kataku. Kalau tadi ia hanya tiduran di
meja, kali ini ia berdiri di atas meja. Ia mengambil botol air mineralku untuk
dijadikannya mikrophone dan mulailah ia berorasi.
”Saudara-saudara
insan akademik sekalian. Lihatlah ini, manusia yang sekarang sudah berhenti
menyanyikan lagu jalanan dan beralih ke Payung Teduh. Sekarang, di matanya,
saya adalah sampah menjijikkan yang patut disingkirkan. Mungkin pria seperti
inilah yang patut dianiaya di gudang-gudang kosong oleh tentara merah. Kesalehan
intelektual macam inilah yang tidak dikehendaki di jaman Tunggulametung sunat sampai
jaman ke-sengkuni-an Arya Wiraraja. Ia sudah mengingkari suara alam. Ia tidak lagi
punya kemerdekaan sebagaimana bualan kosong Kontras dan konco-konconya soal HAM. Tapi, mungkin pria yang ada di bawah saya
ini yang mencoret daftar saya sebagai sesuatu yang layak dilindungi HAM. Mungkin,”
Ceramah
Rori terhenti. Kini ia berjongkok tepat di depanku, dan aku masih terpaku di
tempat yang sama. ”Ssst, aku minta rokokmu, ya, biar ceramahku lebih
bersemangat.”
Setelah
ia membakar rokoknya, ia menyeruput kopi pahit yang baru kupesan dan kembali
berdiri di atas meja untuk bersiap melanjutkan orasinya.
”Oya,
sampai mana tadi?” tanya Rori kepada para mahasiswa yang ada di sekitarnya.
”Sampai
di perlindungan HAM, mas” celetuk salah seorang mahasiswa sambil bibirnya
menahan senyum dikulum.
”Oya,
terimakasih. Baiklah....! Oportunisnya intelektualitas yang hanya tunduk pada baju
sebagai indikator derajat kemanusiaan paling rendah inilah yang membuat RSJ
tidak lagi pro aktif dalam menjaring orang macam saya ini. Mungkin mereka hanya
mau menerima pasien-pasien mantan pengusaha yang stress usahanyaa gulung tikar.
Dan untuk orang macam saya ini, tetap berkeliaran dan kedinginan menyusu pada
air comberan. Diselimuti oleh TuhanBro sang kekasih sejatiku dengan debu
jalanan. Tidakkah kalian lihat rambut saya ini sudah jadi gimbal karena tidak
pernah tersentuh shampo? Ngomong-ngomong ada yang bawa shampo sasetan? Saya minta satu.”
Kini
adegan gilanya mendapat perhatian dari para mahasiswa yang sekarang sudah
berkumpul untuk menyaksikan bualannya. Bahkan satpam pun yang hendak
menertibkannya pun juga turut berdesak-desakan dengan para mahasiswa untuk
menyaksikan hiburan langka ini.
Karena
merasa mendapat tontonan, kini si Rori sudrun ini semakin bersemangat. Ia menikmati
dan mengacuhkan pandangan-pandangan geli yang dialamatkan padanya. Mungkin ia
merasa terkenal sekarang. Lain halnya denganku yang membatu karena terjebak dan
menjadi bagian dari properti panggung bersama air mancur dan lampu kuning yang
berderet rapi.
”Hey,
bugil blank, katanya sampean gila, tapi kok sadar kalau gila? Berarti tidak
gila donk?” timpal salah seorang penonton diikuti oleh tawa panjang lebar dari
penonton.
”Huuuuuuuuu,
turuuuuun turuuuun. Teaternya gak logis,” keluh dari sorak sorai penonton.
”Baik.
Baik. Saya mengaku kalah. Saya mengaku dosa. Saya memang tidak gila, tapi
sedang berpura-pura gila. Sebenarnya tujuan saya ini sedang menolong kalian
menemukan kemanusiaan dan harga diri kalian. Ibaratkan saja saya ini munyuk, monyet yang kalian bawa-bawa
keliling mall, keliling taman seperti perempuan-perempuan eropa dulu.
Bukankah
dengan adanya saya tampil dengan celana dalam unyu ini agar kalian bisa tampil
gagah, ganteng di mata orang lain. Bukankah seharusnya anda bersyukur karena
ada yang mau berkorban untuk membuat anda berpikir bila masih ada orang yang
lebih memalukan dari anda, sehingga harga diri saya saja yang terkoyak. Kalian tidak
usah. Kalian tetap suci dalam kabut dan kotoran mata sebesar tong sampah dan
menutupi mata kalian yang sudah lama abai dengan urusan memuliakan sesama mahluk
Tuhan.”
Tak
terasa, rokokku sudah tandas dihisap jelmaan patung Suku Maya ini; demit pra
sejarah.
”Heh,
ketimbang kau membisu sejak tadi macam kuda kayu, sebaiknya kau belikan lagi
saya rokok. Biar semakin asik aku menggauli adek-adek agent of change ini,” perintahnya.
Rupanya
ia menggunakan jurus andalannya. Sepertinya kata-katanya mengandung mantra
kegelapan dari negeri antahbrantah. Hingga aku jadi menurut saja dan
tergopoh-gopoh menuruti keinginannya. Sial benar aku hari ini. Tapi, semoga dia
tidak dipukuli atlit-atlit silat kampus ini karena kata-katanya.
***
Setelah
rokok terhidang di meja, ia menyuruh penonton bertepuk tangan untuk memberi
apresiasi padaku. Dan hanya terlihat beberapa penonton pun mengikuti
kata-katanya. Dada dan mukaku semakin lebam dihajar malu.
”Anda
ini dari komunitas teater apa? Membawa ide apa? Penampilan anda payah. Berangkat
dari realitas mana dan menganut madzhab apa monolog anda ini? Tapi untuk
totalitas, okelah.” Tanya salah satu penonton yang dari penampialannya
sepertinya salah seorang penggiat teater.
Tapi,
bukan Rori namanya kalau ia tidak tersulut.
”Dengan
berat hati saya katakan. Sebagai orang teater dan sebagai penoton, anda ini
buruk. Mungkin anda bisa mencontoh Tuhan sebagai figure sekalugus dalang paling
ampuh. Ia tak berkomentar sejak tadi. Beda denganmu, kau banyak mulut.
Dari
bapakmu menjajah mamamu di malam pengantin sampai lahir pria dengan rambut
menjijikan macam kau adalah peristiwa teater. Adalah realitas panggung yang real, dan Tuhan bersama seluruh staff
malaikatnya untuk menonton kedunguan-kedunguan. Teater ala kadarnya ini.
Dan
yang paling menyesakkan adalah: ’tanpa KB pun usaha orang tuamu tetap lancar kan? Apa bapakmu
butuh dramaturgi sebelum resmi menikah?”
”Jangan
bicara seperti itu. Saya tidak suka diskusi ini dengan cara melecehkan orang
tua saya dengan kata-kata macam itu,”
Tiba-tiba
Rori diam sejenak lalu tertawa keras sekali.
”Bagaimana
kalau kau berkemas dan kita kabur dari obrolan ini.”
”Apa
maksudmu?”
”Tenang
saja, aku sebenarnya hanya ingin memancing mereka agar marah. Kan lucu kalau
seperti ini.”
Duh
Gusti kenapa mahluk satu ini bisa muncul dan menggangu hidup saya macam ini.
---dilanjutmene---
Malang, 1 Februari 2014
Cdv_t
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.