#Perihal bunuh diri 2#
Esoknya…
Saya masih terngiang dengan kata-katanya soal bunuh
diri. Apa benar ia mati karena bunuh diri? Tapi, yang jadi persoalan adalah ia
mengatakan padaku tidak sedang ingin mati. Ia hanya pasrah dan mencoba
membuktikan pada sesuatu yang dia yakini. Dan dia menyebut itu Tuhan.
Aku menyeruput kopi yang tinggal seperempat dan
menyalakan rokok yang tinggal beberapa batang. Ah, tanggal tua adalah mimpi
buruk. Seandainya Tuhan tau aku lapar, mestinya ia tak menyuruhku bekerja. Ia
hanya akan menyuapiku.
Saat ini, mengambil pisang goring pun aku tak
berani. Uangku sudah pas untuk sekedar kopi dan sebungkus rokok.
Kulihat jam di ponsel, baru pukul sepuluh malam.
Tapi aku sudah sangat mengantuk. Meski pikiran-pikiran tentang bunuh diri itu
masih jadi hantu di kepalaku. Di bawa alam bawah sadarku jauh…
”Halo… Apa kabar?” Rori menepuk bahuku. Dia membawa
orang yang sama. ”Aku ini teman lamamu, tentu kau tak keberatan bila aku dan
kawanku menumpang ngopi denganmu,” ujarnya sembari memberi sebuah senyum lebar.
”Gila orang ini lagi.” Gumamku. ”Kau selalu tau
kabar keuanganku, tapi kau tidak pernah malu untuk membebaniku,” keluhku.
Rori dan kawannya langsung duduk dan mengambil rokok
milikku tanpa permisi. ”Orang mati itu tak perlu malu dengan apapun. Beda dengan
orang hidup. Kau masih dipusingkan urusan malu, sedangkan aku tidak. Mungkin
ini sudah jalan syahadatku…”
”Apa maksudmu?” sergahku.
”Bahkan seseorang yang hidup dan mengaku bertuhan.
Memperistri Islam tapi tak kunjung bersyahadat. Kau masih malu-malu dan takut
kalau harus berhutang. Mestinya, kau tak terlalu sayang dengan uangmu.”
”Enak saja mulutmu itu. Setiap orang harus bekerja
agar bisa hidup dan tidak merepotkan orang lain.”
Sambil mengunyak pisang goreng ia berkata, ”Ikrar
itu kepasrahan yang serius. Total dan tidak bergantung pada untung rugi.
Mungkin syahadat adalah kontrak seseorang sebelum dia menjadi kaffah. Dan
menolong seseorang yang lapar adalah bagian dari kaffah.”
Aku mencoba merenungkan kata-katanya. Tapi, menurutku Tuhan menciptakan kita dengan
sebuah kesadaran bila kita nantinya akan membelot dari ajaran-ajarannya. Kalau
kita tidak mampu kaffah, bukan berarti saya tidak Islam. Ngawur dia.
”Kau boleh menolak kata-kataku. Itulah sebabnya ada
tingkatan-tingkatan kasat mata dimana hanya tuhan yang tau kita berada di
tempat yang mana. Kau boleh Islam sejak lahir, terlepas sekedar KTP atau
bagaimana saya tak tau. Beda dengan saya. Saya percaya Islam itu baik, jalan
selamat, dan benar. Sehingga karena itu pula saya memilih untuk memeluk Islam
ketika aku merasa benar-benar mantap untuk memeluknya; mengikuti aturannya.”
Kini Rori mulai bicara banyak.
”Saya merasa kotor, sehingga saya tidak mendatangi
Tuhan. Saya takut kekotoran saya menodai Islam. Saya takut nanti barbarnya
kelakuan saya menodai islam. Sehingga saya memilih untuk tidak masuk islam. Dan
masuk di akhir-akhir hidup saya dengan syahadat yang saya pilih.
Mungkin tuhan menghukumku karena saya terlambat.
Saya merasa ingin membuktikan keseriusan dalam menikahi islam. Dan berkomitmen
untuk melawan banyak kekuranganku, kemiskinanku dengan pasrah. Tidak takut
tidak punya uang, tidak takut ditinggal kekasih, tidak takut tidak bisa makan
dll. Dan puncak semua itu aku ikrarkan dengan syahadat sambil minum racun.
’kalau saya mati, ya, tuhan, berarti ini kehendakmu.’ Bukan karena racun.” Rori
mulai terengah-engah.
”Bertuhan dan iman itu letaknya di hati. Bukan
hitungan matematis seperti kau yang takut miskin. Ketakutanmu secara tidak
langsung meniadakan tuhan, menepikannya seolah-olah kau takut ia gagal
memberimu makan esok. Bukankah saya lebih beruntung dari kamu.”
Dan lagi. Kata-katanya menderu. Lebih menyakitkan
ketimbang mati minum racun. Saat itu juga saya meninggalkannya dan berkata pada
penjaga warung, ”Dua orang ini tanggungan saya.” Saya tinggalkan keduanya di
warung untuk beli obat sakit kepala.
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.