Mimpi main
perang-perangan dengan Hitler membuat saya jadi pakewuh dengan pimpinan Jerman yang memiliki kumis unik dan rambut
klimis ini. Pikiran saya jadi kemana-mana. Terutama soal kebencian masyarakat
dan pemuda kita pada Nazi.
Sebenarnya saya agak
tidak sreg dengan ramai-ramai soal
aksi beberapa aktivis dan masyarakat yang mempermasalahkan
berdirinya sebuah kafe di Bandung — kalau tidak salah namanya Soldantenkaffe — yang kebetulan di
dalamnya berisikan segala pernak pernik pada masa Nazi pada perang dunia II.
Menurut mereka, keberadaan kafe tersebut dianggap mengganggu ketentraman;
mengagumi kekejaman dll. Selain itu, keberadaan kafe tersebut dianggap ”aneh”
karena kagum dengan simbol-simbol yang pernah memerahkan dunia dengan perang
dan kekejaman seperti suastika, pakaian serdadu Jerman.
Mungkin hingga kini
Hitler masih dianggap iblis yang mencemaskan. Tapi, bukankah ini Indonesia? Apa
urusan Indonesia dengan Hitler; dengan Jerman? Pernahkah Hitler menginjakkan
kakinya di Indonesia, atau menyakiti dan bikin onar di Indonesia?
Akan lain ceritanya
kalau yang dulu dimusnahkan Hitler di kamar gas dan dikurung dalam kamp
konsentrasi saat holoclaust itu bukan orang Yahudi, tapi Indonesia. Tiba-tiba saja kita lupa
diri bila (sebenarnya) Indonesia adalah bangsa pemaaf.
Kalau iseng-iseng kita
mau berpikir: apa yang tidak dimaafkan dan ditolelir di indonesia? Kalau
seandainya kita ingin belajar jadi bangsa pendendam yang serius, mengapa tidak
kita tolak ekspor rongsokan-rongsokan Jepang yang sekarang bikin kemacetan di
jalan? Cobalah sekali waktu kita baca, ”Perawan dalam cengkraman mileter,”
milik Pram. Mungkin dalam buku itu kita akan menemukan potongan sejarah nenek
kita yang tiba-tiba raib karena jadi budak seks militer Jepang? Mungkin juga
kau akan tau bila sebenarnya kalian juga keturunan Jepang, atau punya saudara
lain kakek di pulau-pulau pembuangan sana. Dan mungkin yang lebih
ekstrim lagi, kita ramai-ramai bikin gerakan tolak produksi Jepang di
Indonesia. Menarik, bukan?
Agar lebih serius dalam
menuntaskan dendam, saya pikir tidak ada salahnya bila kita berhenti
bermanis-manis muka dengan Walanda?
Atau kita perlu menempeleng remaja-remaja kita yang ingin belajar sejarah di Leiden.
Coba kita ingat kembali, berapa ratus tahun Belanda melakukan penghisapan di
sini? Atau mungkin agar dendam kita bisa sedikit lebih puitik, perlu kiranya kita hancurkan bendungan dan
segala konstruksi bangunan peninggalan Belanda di sekitar kita? Atau bangunan
di Belanda yang dibangun dengan kekayaan yang mereka rampok dari kita dihancukan lewat invasi?
Kalau tidak puas,
bagaimana kalau sekarang pecinta bola kita berhenti mengidolakan Ronaldo si
pemain bola dari Portugal karena ingat VOC.
Bisakah kita jadi
bangsa yang sanggup dewasa dengan melakukan permusuhan dan pertentangan yang
sedikit mendongkrak harga diri? Bisakah kita ini tidak jadi seorang yang puritan? Mengapa kita perlu memusingkan segerombolan
anak-anak muda yang mengidolakan Nazi beserta simbol-simbolnya? Mengapa kita harus
kesal dengan hal-hal yang berada di kulit luar tanpa berpikir bila ada
peperangan yang lebih prinsipil: membunuh macan dan ketololan kita dengan
belajar sebanyak-banyaknya pada sejarah. Atau berbuat sesuatu yang real untuk menyangkal statement sejarah pasti berulang.
Bukankah sebaiknya kita
menunjukkan totalitas kita dalam sesuatu. Apapun itu. Kalau kita merasa masih
perlu menuntaskan dendam, maka tuntaskan dengan serius. Kalau mau menolak, ya,
saya harap jangan tanggung-tanggung. Jangan hanya menolak, membenci, dendam,
tapi masih membeli barang-barang buatannya. Kalau kita serius anti Amerika,
kesal dengan Amerika, atau mentasbihkan diri menjadi kaum kiri, mengapa tidak
rame-rame menolak demokrasi yang jelas-jelas bikin penyakit akhir-akhir ini.
Kalau kita mengaku gagah, mengapa kita harus berperang dengan sesuatu yang
remeh-temeh. Kecuali kelamin kita sudah tak berfungsi, dan itu lain soal.
Kalau ada ribut-ribut
soal pro kontra Hitler pernah meninggalkan jejak di Indonesia — kabur dan
melarikan diri ke Indonesia, menikahi gadis Sunda dan dimakamkan di Ngagel,
Surabaya atas nama dr. Eco — itu lain soal. Tetap saja kita tidak menemukan
bukti penguat agar kita bisa sah menaruh dendam pada Hitler.
Dosa apa Hitler pada
orang Indonesia? Kita riuh rendah memamerkan semangat perdamaian dan anti
pembersihan etnis tapi mendiamkan Nederland berada di puncak kejayaan menduduki
nusantara pondasi mayat-mayat pejuang yang mati dalam perjuangan. Apa kebencian
kita pada Hitler merupakan imbas dari kebencian global sehingga kita turut
memeriahkan dengan ikut memusuhi Hitler atas nama solidaritas?
Berapa banyak waktu
kita habis karena gerogoti dendam dan mengurusi persoalan yang sama sekali jauh
dari kata prinsipil. Kalau diantara kita takut kecintaan berlebih pada sesuatu
yang jahat akan mempengaruhi sendi-sendi kehidupan berbangsa kita, maka
pertanyaan saya sederhana: apakah selama ini kita tidur dan melupakan bila baik
sebelum dan sesudah demokrasi dibuka, kita telah menjadi pelanggan dan
pengonsumsi macam-macam ideologi dari dunia antahbrantah.
Pemikiran mana yang
tidak masuk dan dicintai di sini? Produk asing mana yang tidak diberi tempat
untuk dicintai secara serius di sini? Kita tentu tak bisa melupakan berapa
banyak pemuda-pemuda bikin wadah organisasi dengan pakaian berupa-rupa: pemuda
demokrasi, new komunis, anarkit, dll. Kita juga jangan tidur bila berapa banyak
pemuda pecinta vespa dan klub-klub motor Jepang yang mangkal setiap malam
minggunya.
Apa kita lupa bila kita
terlampau banyak memaafkan banyak hal menyakitkan? Bisakah itu kita sebut
sebagai kemuliaan? Bila ada banyak cinta dalam hidup kita, mengapa pula harus
di isi dendam?
Sampang,
4 Februari 2014
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.