Di kota ini kita bisa saling melambai
seperti alien dihadapan sekumpulan orang asing. Kita juga bisa saling melempar
senyum lalu saling melupakan.
Di kota ini, tempat dimana uang bisa
membuatmu diperlakukan seperti raja. Uang juga bisa membuatmu lupa dan menganggap
orang yang melayanimu tak lebih dari handuk yang mudah di buang ke keranjang. Setelah
diantara kita merasa mampu membeli bulan madu dengan makan malam romantis dan
sedikit membeli hidup tapi sejurus kemudian kehilangan identitas. Kehilangan kepercayaan
dan tak menginjak tanah.
Di kota ini kita bisa saling membesarkan
dan merawat satu sama lain. Karena kota ini telah menjelma menjadi rumah sakit
jiwa raksasa. Dan kita semua adalah penghuninya.
Di rumah sakit jiwa raksasa ini,
bayi-bayi akan terus lahir. Mereka tumbuh menjadi orang asing, menjadi pot
bunga yang ditanami kembang-kembang ideologi, kemarahan, pertentangan, dan sperma
iblis. Mereka akan tumbuh jadi penghisap lem kertas atau bocah yang kehilangan
tempat dan waktu bermain lantaran menyuntuki sekolah-sekolah internasional
untuk mencari kunci mobil di bra molor janda-janda kota. Menyuntuki kursus
bahasa asing agar mampu menginjak kepala orang lain dan memaksa korbannya terus
menghisap lem kertas sampai mati. Lalu bocah itu beranak pinak pula.
Di rumah sakit ini kita akan sama-sama
tua di ranjang empuk bau obat-obatan. Menyadari begitu jauh kita melancong dan
meninggalkan rumah kemanusiaan. Lalu ingatan akan mati mengundang wajah bapak
ibu, kemanusiaan di pegadaian, welas asih di tali jemuran dan wajah sahabat
yang pernah kita sembelih dengan canggih.
Di rumah sakit ini, mainan-mainan modern
perlahan merubah kita menjadi pelacur berkaki satu dengan leher terjerat dan
mulut tersumpal kaus kaki baru. Semua demi liburan luar negeri, pesta ulang
tahun, bau porselen mall dan hotel penuh sperma yang kasat mata. Semua demi ketika membuka mata di pagi hari, tak ada porselen, selang infus, kemoterapi dan rambut yang berguguran. Padahal kita
tak pernah kemana-mana kecuali mengantre di kuburan.
Di kota ini, kita lupa cara mencumbui
kemanusiaan lantaran terlalu lelah dan bosan mencumbu bibir suami-istri. Kekasih-kekasih
kita terlampau cepat menjadi orang asing.
Di kota ini, sungguh... Terlampau indah
untuk bisa kita kencingi pojok ruangannya.
Di kota ini, sungguh... Terlampau indah
resto dan cafenya untuk kau lewatkan tanpa mentraktirku makan malam.
Jakarta,
mau tanggal tua Juli 2016
Citra
D. Vresti Trisna
2 komentar:
Dari beberapa karya puisi seseorang yang pernah berproses di Madura. Puisi ini (Rumah Sakit Jiwa Raksasa) saya tempatkan dalam posisi puisi terkuat selama tahun 2000-2016.
Saya mah apa dibandingkan master Deni. Lha pak Deni kan yg lebih lama tinggal di Madura, kan pak Deni warga asli, saya ngontrak. Hehehe
Posting Komentar
Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.