Citra D. Vresti Trisna
Ada dua hal yang
membuat Dudakarta sepi: demo bela islam dan aksi bakar lilin. Dudakarta juga
akan sepi menjelang ramadhan tiba. Tentu hal semacam ini tidak lepas dari
pengamatan Mas Bule selaku aktivis muda Islam yang progresif. Ia gemas dengan
sikap para orang tua di Dudakarta yang terkesan dingin dan acuh dengan
datangnya bulan suci. Tentu saja, pihak yang pantas digugat atas sepinya
Dudakarta dari perayaan ramadhan adalah Mas Rombong. Karena berdasarkan
musyawarah warga, Mas Rombong ditunjuk menjadi lurah. Dan tugas meramaikan
datangnya bulan suci adalah Tugasnya sebagai lurah.
”Allah pun mengatakan
bila puasa adalah ibadah khusus untukNya, kok bisa-bisanya kita
tidak menyambut kedatangan ramadhan? Apa ndak sinting
orang-orang ini? Kalau Rombong tidak didamprat, tentu dia akan terus-terusan sembrono
dan tidak mengingatkan warganya!” kata Mas Bule, yang meluapkan protesnya di
depan rumah Mas Rombong.
Meski Mas Bule
memutuskan berdemo sendirian, tapi suaranya yang cempreng mengundang
orang-orang keluar rumah dan menengok apa yang terjadi.
”Nuwunsewu nggeh,
Mas Rombong. Apa sampean ndak nonton televisi. Jakarta yang konon
sekulernya naudzubilah saja menyambut
ramadhan dengan gegap gempita, kok kita yang dielu-elukan
keimanannya ini tidak menyambut ramadhan lebih hebat dibandingkan Jakarta?”
kata Mas Bule.
”Iman saya biasa-biasa
saja kok,” kata Mas Rombong. ”Ada apa ini? Sebentar lagi mau
puasa, kok saya dimarah-marahi?” lanjutnya.
Mas Rombong
mempersilahkan Mas Bule duduk di bale-bale. Lalu warga lainnya ikut-ikutan
nimbrung. Karena tamu sudah cukup banyak, istri Mas Rombong keluar dan
menghidangkan kopi dan singkong rebus.
Sambil nguntal singkong,
Mas Bule ngomel soal ketidakpedulian Warga Dudakarta atas datangnya bulan
ramadhan.
”Lha
gimana toh le-bule. Lha saya ini aslinya ndak seneng
puasa. Karena ndak seneng saya jadi ndak antusias menyambut. Bagaimana saya
bisa menyambut sesuatu yang tidak saya suka? Mungkin masyarakat sedang sedih
karena Allah harus ’turun’ sendiri untuk mewajibkan orang-orang berpuasa.
Menggugah ketidaksukaan orang sekarang dengan berbagai cara yang teramat halus
dan diplomatis.”
Rombong kembali
melanjutkan, ”lha kalau manusia, yang punya kecenderungan mbalelo tidak
suka puasa, itu wajar karena manusia bukan malaikat yang diciptakan patuh.”
”Kapan sampean bisa
dapat pahala yang begitu besar kalau tidak di bulan Ramadhan? Kok bisa
sampean sedih? Kok bisa tidak
suka? Nyuwun sewu, sampean ini gendeng, ya?” kata Bule, yang sedang
tak paham dengan jalan pikiran tetua Dudakarta.
”Saya ndak pernah
sepakat njenengan-njenengan ini mencontoh Jakarta. Kalau
sekarang mau mencontoh orang Jakarta dalam menyambut ramadhan, ya, silahkan.
Karena memang sudah selayaknya menyambut ramadhan,” lanjut Bule.
Mas Rombong terkekeh
dengan obrolan Mbah Ripul dan Mas Bule. Mas Rombong menepuk pundak Mas Bule
dengan penuh kasih sayang sembari mengingatkan. ”Kalau misal puasa itu ndak ada
pahalanya apa, ya, puasa masih disambut sedemikian megah? Gusti Allah ini sudah
sangat santun mengingatkan kita. Ia mengingatkan sekaligus memberikan anugrah
yang besar karena Gusti Allah ingin mengingatkan manusia dengan jalan cinta
pada tabiat manusia yang punya budaya melampiaskan segalanya dengan jalan
memberikan pahala berlipat-lipat. Gusti Allah tahu manusia itu kemaruk, tidak mau melakukan sesuatu
meski puasa, sholat dan ibadah lainnya itu untuk manusia sendiri. Tapi Ia
berbaik hati memberikan banyak pahala pada puasa manusia dimana puasa itu
sebenarnya jelas-jelas untuk dirinya sendiri; untuk latihan mereka setelah
ramadhan usai,” kata Mas Rombong.
Mas Rombong bercerita
banyak hal tentang ramadhan. Ia mengaku sedih lantaran harus dibangunkan Gusti
Allah karena menyadari betapa manusia adalah mahluk lemah dan kemaruk dan
penuh pamrih. Mengapa sholat ramai-ramai ditinggalkan justru ketika ia
diperintahkan lima hari sekali selama manusia hidup? Di sisi lain, sikap menahan
diri yang justru untuk kebaikan manusia sendiri, justru dirayakan besar-besaran
karena jadi ajang memborong pahala. Puasa sejati dan terberat itu harusnya
setelah ramadhan.
”Untung pahala itu
bukan barang yang kelihatan. Kalau kelihatan, mungkin bakal ada pemain
kapitalisme pahala. Ada juga bank pahala, ada MLM, ada koperasi simpan pinjam
pahala, ada penasihat pahala, ada tengkulak pahala, ada toko pahala, ada
makelar pahala, ada istilah inflasi pahala. Popularitas pahala akan melebihi
uang ketika Gusti Allah menunjukkan sorga langsung di depan manusia. Semua hal
yang berkaitan dengan pahala akan dibuat, tapi sejurus kemudian kita tidak lagi
menemukan Allah hadir. Manusia disibukkan dengan pahala. Jangan-jangan kalau
sorga sudah bisa didatangi manusia, pasti sudah ada kontraktor yang
mengkapling-kapling sorga,” kata Mbah Ripul.
”Apa maksudnya semua
ini?” Mas Bule mulai gerah dan merasa disudutkan.
”Kamu ini sebagai
pemuda, ya, mbok bisa berbaiksangka sedikit dengan orang tua di sini. Mungkin
orang-orang sedang mengutuki dirinya sendiri karena setelah ramadhan Warga
Dudakarta kembali kelepasan dan khilaf untuk kembali ke budaya melampiaskan;
lupa bila pada hakikatnya hidup adalah serangkaian puasa agar tidak hancur
lantaran kebanyakan melampiaskan....” kata Mas Rombong.
”Sinting... Gila...
Majnun sampean-sampean di sini... ” Mas Bule mulai memaki. Sebelum ia
benar-benar pergi, ia mendekat ke piring ketela, mengambil dua potong dan
kemudian pergi sambil mengumpat.
Dudakarta,
Sabtu Pahing, Mei 2017
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.