Citra D. Vresti Trisna
>>sebelumnya<<
Lama-lama warga Dudakarta gerah
juga kalau setiap hari harus mengurusi rambut, gaya berpakaian atau yang
lainnya. Sebagai tukang kepo cara
hidup di Jakarta, warga Dudakarta tidak mau ketinggalan soal politik. Karena
bagaimanapun juga nasionalisme warga Dudakarta tergolong tinggi.
Setelah cukup lama observasi
tentang perpolitikan di Jakarta-Indonesia, warga Dudakarta kembali dibikin ngowoh dan terkagum-kagum. Terutama pada
sistem demokrasi di Indonesia. Titik pusat kekaguman warga Dudakarta ada pada
ketahanan rakyat dalam menerima ”aniaya” dan cara mereka memaafkan pihak-pihak
yang menganiaya mereka.
Di mata warga Dudakarta, rakyat
Indonesia memiliki kecenderungan masokis. Bila berkaca dari sejarah pergantian
pemimpin, baik di sekala kelurahan sampai presiden, rakyat Indonesia tidak
kapok untuk datang ke kotak suara guna memilih siapa yang jadi the next algojo ”penjagal” leher rakyat.
Awalnya warga Dudakarta berpikir bila berlimpah-limpah panas matahari khatulistiwa
mengkonsletkan otak rakyat Indonesia. Akibatnya, rakyat Indonesia menghapus
kata trauma di pikiran mereka dan cenderung memiliki keluasan hati untuk
memaafkan para penyiksanya.
Dibandingkan dengan Jerman, ketakutan
negara pada pelarangan kelompok antidemokrasi membuat Hitler pada akhirnya
justru terpilih dalam sistem pemilu yang demokratis. Pada awalnya Hitler
dibiarkan berkuasa dengan tujuan untuk membuat rakyat sadar siapa Hitler yang
sebenarnya. Tapi memang saat itu warga Jerman sedang apes, karena ternyata
Hitler mampu berkuasa hingga belasan tahun sambil membawa kengerian: perang.
Pascaperang, rakyat Jerman
sudah kapok-lombok dengan pemimpin
anti demokrasi. Mereka sangat trauma dengan tipikal orang macam Hitler. Yang
membuat heran warga Dudakarta adalah: mengapa rakyat Jerman baru dipimpin
Hitler selama 12 tahun saja sudah kapok dan punya trauma berkepanjangan,
sedangkan rakyat Indonesia dipimpin Soeharto yang sama ”sangar-nya” dengan
hitler kok tidak kunjung kapok? Bahkan, akhir-akhir ini Soeharto ”dirindukan”
lagi.
”Piye kabare, le? Isih penak jamanku toh?” Celetuk Mas Rombong
disambut riuh tawa pengunjung warung Mang Alim. ”Prediksi saya, kegemaran
rakyat Indonesia untuk golek molo
sangat berbanding lurus dengan jumlah produksi micin yang meningkat dari tahun
ke tahun,” kata Mas Rombong dengan suara yang dibuat berwibawa.
Menurut analisa Mas Rombong,
eksistensi Partai Golkar (meski dengan wajah baru) setidaknya menunjukkan dua
hal: pertama, politisi Indonesia
memang rai gedhek. Kedua, rakyat kita mampu mengelola rasa
marah menjadi cinta. Bahkan raja nangis pun bisa terpilih hingga dua periode.
Rakyat mampu memaafkan
kesalahan pemerintah dan parpol meski kesalahan mereka sudah terlampau besar,
tanpa sedikit pun trauma. Ditambah lagi dengan era media seperti sekarang.
Meski orang-orang parpol di DPR terlibat korupsi, masyarakat akan tetap
percaya. Pengulangan penayangan 24 jam secara terus menerus membuat masyarakat
jengah lalu akhirnya memaafkan dan kemudian melupakan. Ada kalanya kesalahan
memang sengaja ditunjukkan agar orang-orang cepat terbakar, dan cepat pula
redanya.
”Lha terus, bagaimana dengan
Jokowi, Mbong?” Potong Wak Ebol.
”O, lain. Kalau diibaratkan
kalender, Jokowi itu tanggal merah. Ia adalah musim liburan dan waktunya untuk
eksperimen. Iseng-iseng nyobain model baru dari tipe pemimpin Indonesia pada
umumnya. Kalau biasanya presiden kita sedikit punya potongan priyayi, tapi kali
ini rakyat pengen membesarkan hati dukun tiban yang tampangnya merakyat,” potong
Mbah Ripul yang sedari tadi ndempis
di pojokan warung.
”Kok bisa dukun tiban?” kejar
Wak Ebol lagi.
”Di planet lain, untuk diakui
sebagai seorang pemimpin sejati, seseorang harus membuktikan sepakterjangnya di
beberapa level. Sepak terjangnya pun harus terekam dengan baik. Jadi tidak ada
yang ujug-ujug seperti Ponari,
seperti dukun tiban,” kata Mbah Ripul. ”Cinderella
Complex ala SBY butuh sedikit inovasi dengan cara blusukan, masuk got, naik
Bajaj, dan kebijakan yang kayaknya berpihak kepada rakyat....” lanjutnya.
”Sampeyan sinis dengan Jokowi,
Mbah?” kali ini Rombong yang memotong.
”Ya, ndak toh. Justru saya ini cinta mati dengan Jokowi. Tipikal
pemimpin seperti Jokowi itu harus ada untuk menambah jam terbang dan memperkaya
pengalaman rakyat akan berbagai tipe pemimpin. Karena jadi bangsa besar itu
tidak gratis, butuh pengalaman nangis darah beberapa kali agar tidak lagi
main-main memilih pemimpin,” bantah Mbah Ripul. ”Jelek atau baik itu sangat
subjektif. Negara ini diobral murah atau masih berdaulat itu juga bergantung
dari cara kita melihat. Terlepas dari itu semua, masih banyak yang kagum meski
buat makan besok saja masih mikir. Masih ada saja yang memaafkan. Dan saya
sepakat dengan kata-kata Mas Rombong bila rakyat Indonesia itu sakti.”
Hal inilah yang membuat warga
Dudakarta semakin khusyuk bertapa di Jakarta. Karena Jakarta adalah tempat
”terpanas” yang membuat cobaan puasa warga Dudakarta jadi kian berat. Selain
harus menghadapi kepongahan Jakarta, warga Dudakarta juga ikut aktif merasakan
pengalaman liburan dengan hidup bersama kabinet ajaib dukun tiban.
Minggu
Pahing, Mei 2017
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.