Citra D. Vresti Trisna
Mbah Ripul
semakin nggaya. Bahkan kini urusan beli kolor pun harus ke Jakarta.
Ia ingin merasakan naik taxi dan terjebak macet seperti warga Jakarta lainnya.
Awalnya ia merem melek bangga merasakan kenikmatan menjadi kota, meski matanya
sesekali melirik argo yang terus bertambah.
Satu-dua jam Mbah Ripul
masih tahan. Setelah hampir tiga jam, Mbah Ripul resah karena sudah menjelang
magrib tapi belum juga sampai tujuan. Padahal ia ingin sholat magrib dan isya
berjamaah lalu menghadiri kenduri di rumah Wakebol.
Ketika pikirannya sudah
berlarian kesana-kemari, diam-diam Mbah Ripul melihat wajah sopir taxi yang
nampak tenang dan kalem. Meski sejak awal naik hingga hampir tiga jam lamanya,
Mbah Ripul tidak diajak bicara. Ia pun tidak keberatan didiamkan. Mungkin saat
sopir taxi berpikir bila potongan penumpangnya ini tidak mungkin memberikan
tips lebih. Atau paling parah hanya memberikan uang recehan yang sudah bau
balsem.
Untuk meredakan
resahnya, Mbah Ripul melihat ke luar jendela. Ia mendapati mobil berjajar ruwet
tak karuan. Di kaca depan mobil pun terlihat kemacetan di sepanjang Jalan
Thamrin nampak tak kelihatan ujungnya dan membuatnya semakin resah.
Setelah beberapa kali
melihat keluar jendela, ia mendapati wajah sopir di balik kaca mobil juga
nampak tenang. Berbeda dengan dirinya yang sudah berkali-kali menggeser tempat
duduk. Sejurus kemudian ia mendapati dirinya malu setengah mati. Ia tak sanggup
hidup tenang sebagaimana warga Jakarta lainnya yang juga terjebak macet. Kalau
pun diantara mereka juga punya urusan yang mendesak, tapi paling tidak warga
Jakarta lebih dapat menyembunyikan keresahan mereka di balik air muka yang
tenang, kaku dan dingin.
AC taxi tak mampu
menepis rasa panas yang keluar dari dalam dirinya lantaran sudah mendengar
adzan Maghrib berkumandang dari corong mesjid di pinggir jalan
raya. Karena sudah tak tahan, ia keluarkan uang seperti yang tertera di
argo taxi dan keluar dari mobil.
”Lho mau kemana, pak?
Ini kan belum sampai ke tujuan bapak,” tanya sopir.
"Saya turun di
sini saja," kata Mbah Ripul.
Setelah membuka pintu
mobil. Mbah Ripul keluar mobil dan berlari di
antara rapatnya mobil-mobil yang berjajar rapi untuk menuju mesjid
secepatnya. Ia berlari cukup lincah meski usianya sudah tidak lagi muda. Rasa
malu lantaran tak sanggup bersabar menghadapi kemacetan membuatnya malu kepada
semua warga Jakarta.
Mbah Ripul mencoba
menghibur dirinya sendiri dengan berpikir bila upaya keluar dari taxi adalah
hal yang benar: segera lari ke mesjid karena sudah masuk waktu sholat. Tapi
dalam hal kesabaran, ia merasa ditelanjangi karena tak mampu untuk bersikap
tenang seperti warga Jakarta lainnya yang juga mengalami kemacetan yang sama. Ia
juga sadar bila yang yang dikejar waktu sholat bukan dirinya saja; yang ingin
dekat dengan Tuhan bukan dirinya saja.
Usai sholat, Mbah Ripul
menangis sesenggukan tanpa jelas sebabnya. Sebelum meninggalkan mesjid, ia
mengirim Al Fatihah kepada seluruh warga Jakarta. Dan Mbah Ripul memutuskan
pulang dengan jalan kaki ke kotanya yang bersahaja.
Dudakarta, Kamis Wage 4 Mei 2017
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.