#DUDAKARTAdanJAKARTA 2
Dudakarta adalah puncak
kesunyian kota. Sesuatu yang lebih sunyi dari sunyi hingga apapun yang dilihat
penghuninya selalu mengingatkan kepada Allah; bernapas dengan menyebut nama
Allah; beraktifitas sambil berdzikir; mengambil segala keputusan dengan meminta
pertimbangan Allah.
Kesunyian yang tanpa tanding
membuat warga Dudakarta sangat peka dan tahu diri. Mereka merasa nikmat yang
didapatkannya tak sebanding dengan datangnya ujian dari Allah. Bukan
pemandangan aneh bila di tengah jalan, ada orang meraung-raung berdoa minta
miskin, meski dari hari ke hari mereka malah bertambah jadi kaya. Warga
Dudakarta merasa iba dengan warga miskin Jakarta yang meski setiap hari berdoa
minta kaya tapi justru malah tambah miskin.
Konon warga Dudakarta adalah
warga pelarian dari masa silam yang berdemo dan ngambek ketika di-SMS Gusti Allah dan diberitahu bila suatu saat
bakal ada negara yang bernama Indonesia. Ketajaman mripat batin mereka mengerti bila hampir semua jalannya napas
kehidupan penghuninya menyebut nama berhala mereka: materi, materi, materi.
Meski sebagian penghuninya beragama Islam.
Ada yang bilang warga Dudakarta
adalah hantu dari para duda kapiran yang melarikan diri di zaman romusha
Jepang. Ada juga yang bilang warga Dudakarta adalah pelarian para pekerja tanam paksa di masa
Gubernur Jendral Johannes Van Den Bosch. Tapi bagi warga Dudakarta itu tak jadi
soal. Mereka hanya tahu Allah adalah
”awal dan akhir” segala sesuatu.
Warga Dudakarta seolah tak
peduli dengan anggapan warga Jakarta soal spekulasi darimana warga Dudakarta
berasal, karena disibukkan dengan proyek baru untuk ”menjadi kota”.
Usai Mas Rombong berdiskusi
dengan mbambung tua yang akrab disapa
Mbah Ripul, warga Dudakarta memutuskan mengadopsi gaya warga Jakarta untuk
saling menguji keimanan antar warga. Mereka ingin ”menjadi kota” dan menghayati
peran mereka. Bahkan tidak jarang waga Dudakarta mendapati Mas Rombong dan Mbah
Ripul ngudut dan ngopi sambil pethingkrangan krukupan sarung di Journal Coffee, Grand Indonesia hanya untuk membicarakan jadwal ronda.
Warga Jakarta yang tak siap
dengan pemandangan nyeleneh itu menatap dua orang udik Dudakarta dengan sorot mata tak suka. Mereka belum siap berbagi ”kelas” dengan coro dan kecoak desa.
Ekslusifitas mereka sebagai warga kelas atas ibu kota terluka lantaran cara
Mbah Ripul methingkrang. Para eksmud dan sosialita Jakarta tak siap bila ada dua orang berpakaian kumal mengantre di kasir
Zara sambil garuk-garuk pantat.
Satpam penjaga toko juga sudah bersiap-siap dengan pentungan bila sewaktu-waktu mereka berbuat onar atau tidak punya uang saat membayar belanjaan.
Satpam penjaga toko juga sudah bersiap-siap dengan pentungan bila sewaktu-waktu mereka berbuat onar atau tidak punya uang saat membayar belanjaan.
”Mbong, Rombong. Coba lihat
tatapan warga Jakarta ke arah kita,” kata Mbah Ripul sambil sesekali menengok ke
antrean di belakangnya.
”Memangnya kenapa, mbah?” tanya
Mas Rombong. Setelah Rombong menoleh ke beberapa orang ia menyimpulkan sesuatu.
”Tentu mereka sangat benci dengan kita, ya, mbah? Dipikirnya kita ini adalah
dua kuman kotor di Mall mereka yang bersih. Dipikirnya kita ini ndak punya duit.”
”Hussy... Guru ngaji mana yang
mengajarimu berburuk sangka dengan orang lain? Mereka yang menatap kita dengan
tatapan tak suka adalah cara Gusti Allah mencintai kita; jalan cinta Gusti Allah untuk membuat kita bersabar
dalam hidup.” Bantah Mbah Ripul. ”Bayangkan, ya. Kita ngantre beli baju saja
diberi Allah nikmat yang luar biasa dengan diberikan tatapan benci seperti ini.
Di Dudakarta mana ada yang seperti ini. Pasti sambil ngantre beli korek kuping, mereka akan
berbincang satu sama lain meski tak kenal dan tanpa perlu rikuh,” sambung Mbah
Ripul.
”Rombong, bisakah kebencian
yang kita terima ini berada di luar cinta Allah pada kita?”
Sesampai di Dudakarta, Mas
Rombong langsung sujud syukur dan menikmati pengalaman barunya dibenci eksmud dan sosialita Jakarta.
1 komentar:
Menarik ya penggambaran ttg clashnya kelas/kasta/level di masyarakat jakarta. Gimanapun jg, perbedaan perlakuan berdasarkan level itu ada di masyarakat. Bisa dr asal clan, komunitas, manners, dress dan lokasi kita berada. Mungkin klo lbh banyak dibahas ttg respon mas rombong dan mbah ripulnya.. Atau self talk mbah ripul atau mas rombong atau penulis terhadap sikap orang2 ke mereka (bisa diselipin pertanyaan yg retorik atau pesan moral), atau jg self talk dr org2 yg sinis ke mereka.. Atau bs jg ditambah ucapan orang2 yg ngeliat mereka berdua.. Biar lbh dramatis.. Atau frontal.. Kayanya bakal lebih menarik. Semoga bs jadi masukan yg bermanfaat yaa
Posting Komentar
Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.