Konon, sesuatu yang
membuat ”manusia penjara” tetap hidup adalah membaca ulasan tentang destinasi
wisata. Mengapa itu perlu dilakukan? Tentu
saja, agar tetap hidup dan bermimpi.
Konon, mimpi ”mengawetkan”
harapan. Dan harapan membuat manusia sadar sesuatu: nyawa itu ulet. Kesadaran ini
membuat manusia lebih siap hidup dan menjalani berbagai kemungkinan.
Sudah, sudah, cukup! Saya
tak berniat meneruskan kalimat saya sebelumnya, karena nama saya bukan Mario.
*
Untuk petualangan luar
biasa di kemudian hari, mari ucapkan, ”bojomu
my adventure”. Eh, maaf, maksud saya, ”my
trip my adventure”.
Maafkan kebejatan congor saya barusan. Sekedar info, saya baru
saja nggliyeng membaca tulisan di kaus
seseorang yang kebetulan lewat: ”bojomu
my adventure”. Sebelumnya, maafkan saya yang gampang ”masuk angin” dan
sentimentil pada gejala-gejala. Tulisan di kaus itu membuat saya berpikir: saya
disapa ayat Tuhan model apa lagi kali ini? Duh, Gusti, ampun… Soal setuju dan
tidaknya saya pada kalimat itu, pikir
keri.
Rasa penasaran ini
membuat hasrat goyang saya tersentuh. Mungkin ini sedikit 4l4y, tapi
percayalah. Ingatan soal kalimat durjana itu terasa begitu dekat. Sedekat musik
dangdut yang menghentak-hentak kala saya menulis ini.
Tentu saja, spontanitas
yang muncul macam bojomu my adventure,
jelas muncul dari seorang begawan yang tingkat kesufian sekaligus kesuwungannya
pilih tanding. Saya ndak tahu pastinya, siapa begawan itu? Apakah ia hidup di lingkaran
pemerintah, jalanan, atau per-purel-karaokean. Meski latar sosiologis lahirnya
spontanitas itu penting—untuk menakar seberapa gawat kebangkrutan hidup yang
telah terjadi di lingkar-lingkar sosial—tapi, saya putuskan untuk berdamai dengan
ketidaktahuan. Kata seorang kawan, ”adakalanya kebejatan lebih nikmat dirasakan
dengan ’mata’ terpejam”.