Situasi sedang
gawat. Saya melihat tahun 2017 adalah
waktu di mana semua persoalan sampai di titik klimaks; baik urusan di sekala
nasional, daerah, kecamatan dan bahkan sampai
ke bilik kamar. Tentu saja sebagai seorang penulis, saya ingin menulis semua
kerumitan itu. Memetakan persoalan yang ada lantas menawarkan solusi. Meski
kaliber saya di bidang penulisan hanya sekelas coro, tapi sebagai seseorang yang berupaya baik, saya ingin
memberikan kontribusi positif bagi anda semua. Terutama bagi pembaca Kabar
Mojokerto yang budiman. Namun, apalah daya saya. Nafsu besar tenaga kurang.
Maafkan saya.
Ketika hendak
merenungi lebih dalam bahan yang akan saya tulis, mendadak tangan saya jadi
kaku. Tidak biasanya saya jadi seperti ini. Terlebih ketika menyadari dampak
tulisan-tulisan saya ibarat sebutir pasir di Gurun Sahara. Hal ini sangat
menyiksa batin saya. Duh, Gusti, betapa sombong dan angkuhnya manusia macam
saya ini karena tidak mau belajar dari pengalaman.
Sudah
jelas-jelas tahu bila masalah-masalah di segala lapisan tidak mungkin diselesaikan
tanpa bantuan Allah, tetapi masih saja ngeyel
dan sok ikut-ikut menyelesaikan. Saya ini tidak punya modal kewaskitaan dan
kejelian mripat untuk melihat dan memetakan persoalan-persoalan
yang ada. Punggawa pemerintah di segala lapisan pun bisa dipastikan akan gagal
membenahi situasi saat ini. Bahkan teori-teori sosial paling canggih yang
dipercaya jadi obat mujarab membenahi Indonesia tidak akan mempan mengatasi
persoalan yang sedemikian kompleks ini. Kalau presiden, gubernur, bupati,
akademisi, dan budayawan saja tak mampu, apalagi saya.
Batin saya
sebagai seorang yang sok jadi penulis ini masih harus disiksa dengan permintaan
orang-orang terdekat untuk tidak usah bikin tulisan yang berat-berat. Itu kan menyiksa eksistensi saya sebagai
seseorang yang sok ngilmiah. Tujuan
saya diminta membuat tulisan yang ringan dan mudah dicerna ini dikarenakan
pembaca Kabar Mojokerto umumnya adalah generasi muda. Big bos Kabar Mojokerto
kerap mengeluhkan kemalasan muda-mudinya untuk mencerna sesuatu yang berat.
Waktu muda-mudi Mojokerto sangat mahal harganya, sehingga kalau sempat mampir,
ya, minimal baca satu tulisan sampai rampung.
Permintaan itu
diam-diam saya sanggupi sambil sedikit ngedumel.
Dalam hati, saya membatin, betapa kempong
gigi generasi muda hari ini. Sehingga untuk memahami sesuatu pun mereka butuh
dibantu mengunyah. Betapa lembek calon garda depan penerus bangsa di semua
daerah, terutama Mojokerto. Bahkan untuk sedikit mau tahu dan mengidentifikasi
persoalan di kampung mereka sendiri pun enggan.
Namun porsi kejengkelan
yang menyala di kedalaman saya ini lebih banyak untuk diri saya sendiri. Saya
menyadari bila sudah setua ini masih saja bodoh untuk menyusun kata-kata.
Betapa saya masih kurang mampu “mengerem” diri saya sendiri untuk tidak
terlampau meledak dalam menyusun argumen. Rasa eman saya pada gen-gen unggul muda-mudi Mojokerto begitu besar
sehingga membuat saya gagal mengambil jarak pandang yang tepat untuk memahami,
menuangkan gagasan saya di dalam tulisan.
Mungkin saya
terlalu tegang dengan gejala-gejala; terlalu lebay dalam melihat persoalan. Padahal generasi muda yang jadi
sasaran saya pun tidak mau ambil pusing. Lalu untuk apa saya terlalu
bersemangat. Bukankah hari ini generasi muda Mojokerto tetap tak bergeming meski
badai persoalan sudah nempel di depan hidungnya. Mungkin saya butuh piknik agar
kembali normal. Kembali menjadi manusia Indonesia yang mampu menertawai
masalah-masalah yang ada dan menyikapinya dengan santai. Dan bahkan mungkin mampu menertawakan
masalah-masalah tersebut. Ya, saya butuh guyon
agar tetap menginjak bumi dan tidak GR untuk merasa menjadi sesuatu.
Guru
Besar Ilmu Guyon
Ngomong-ngomong
soal guyonan, saya jadi ingat seorang
kawan dari Mojokerto yang sudah S3 dalam hal guyon. Sebut saja dia Mbah Jenggot. Kekhusyukannya menertawai hidup
sudah sampai ke tingkat nabi. Kalau kebetulan anda sedang putus asa dalam
hidup, temuilah Mbah Jenggot dan ajak dia ngopi. Kalau kebetulan anda ingin
menemui Nabi Khidir, konon kita bisa menjumpainya di pertemuan dua arus air, di
tempat ikan-ikan berkumpul.
Mbah Jenggot
Mojokerto relatif lebih mudah ditemui ketimbang Nabi Khidir. Kita bisa
menemukannya di pertemuan dua arus hidup: pertemuan antara warung elit dan
warung murah. Ia juga biasa terlihat di tempat bertemunya ibu-ibu muda, para
janda muda, dan ABG. Terkadang ia kerap terlihat di tempat-tempat ngopi yang
jadi pertemuan antara sekumpulan pekerja keras dan penganggur; juga di
pertemuan arus masa silam dan masa kini; di pertemuan intelektual kampus dan
pengagum budaya atau dupa-kemenyan.
Mbah Jenggot
adalah sosok yang unik. Tubuhnya pendek dengan jenggot lebat macam Gatholoco. Konon usia jenggotnya lebih tua dari Gunung Arjuna.
Hidup Mbah Jenggot bisa dibilang tak
teratur. Di tengah orang-orang sibuk mencari uang, dia tetap bisa santai. Jelas-jelas ia punya banyak beban hidup yang harus dibayar
dengan uang, tapi ia bisa tetap santai. Dalam soal hidup, ia
adalah sosok yang cukup lungit, terutama dalam hal gembelengan. Sudah jelas-jelas tidak
bisa dagang, tapi ngotot berdagang hingga sangat akrab dengan kebangkrutan.
Cobalah dekat
dengannya barang sehari, lalu pinjamlah modal dagang usahanya, tentu ia akan
dengan suka rela memberikan modal dagangnya padamu. Apa ndak lungit kalau bisa seperti itu? Atau kalau kebetulan sedang
jenuh di rumah, anda bisa mengajak Mbah Jenggot jalan-jalan meski ia akan
berangkat berdagang. Kalau perlu, anda bisa mengajaknya mbambung dan bersenang-senang seminggu lamanya ke luar kota, pasti
akan ia turuti dengan sepenuh hati.
Kalau pada
umumnya seseorang bersedia menjadi contoh yang baik bagi orang lain, Mbah
Jenggot menempuh jalan sunyi yang berbeda. Ia rela berlagak seperti orang
kurang waras, berlagak seperti penganggur, untuk dijadikan contoh dan teladan
buruk agar orang lain bisa lebih baik dan tidak meniru dirinya. Kalau kebetulan
anda adalah tipe pria yang kerap ditolak perempuan, maka ajaklah Mbah Jenggot
main bertiga ke rumah calon pasangan
anda, insyaallah
ia bersedia menjadi “monyet” agar perempuan yang anda taksir merasa jijik, lalu
melihat anda seperti malaikat.
Hidup Mbah
Jenggot itu kelewat guyon, hingga bisa kalian sewa untuk mendongkrak kebanggaan
orang tua anda kepada anda. Dengan mengajaknya ke rumah anda, otomatis akan
membuat dia berperan untuk menjadi badut bebodoran yang tidak berguna. Sehingga
saking rendah Mbah Jenggot di mata orang tua anda, maka semakin bersyukur
mereka punya anak seperti anda.
Tapi awas saja,
jangan berpikir bila dia adalah orang bodoh. Ia mengerti betul apa yang
dilakukannya. Ia mampu menakar seberapa kadar akting, guyon dan cara
menginjak-injak dirinya sendiri.
Jurus
Mabuk
Hidup manusia
modern hari ini sedang didikte keinginan-keinginan yang tak prinsipil. Hal ini
membuat mereka setengah mati mengejar hidup, kebanggaan, pencapaian dan
kemapanan untuk memenangkan persaingan hidup. Tapi, hal ini tidak berlaku di
mata Mbah Jenggot, karena segunung beban hidup hanya sebesar bulatan upilnya
yang hitam. Kerumitan dunia tak serumit jenggotnya.
Kalau anda tidak
percaya, cobalah sekali waktu mendatanginya ketika ia sedang bangkrut dan
perhatikan air mukanya. Mata anda akan dikejutkan dengan air danau yang luas,
tenang, dalam dan tanpa riak air. Begitu tenang dan bening air danau di
wajahnya sehingga kita dapat berkaca dari sana. Kita akan dikejutkan karena di
wajahnya kita menemukan diri kita menangis meraung-raung karena urusan kelas
tempe goreng. Atau mungkin sekali waktu lihatlah wajah Mbah Jenggot ketika
sedang tidur, ia akan nampak seperti bayi yang tak punya beban. Tidurnya yang
pulas akan mengingatkan kita semua yang kerap tergagap-gagap bangun karena
mimpi buruk dan masalah yang belum terselesaikan.
Kadang saya
merasa miris dengan hidup Mbah Jenggot. Saya tahu persis bila selama ini
kawan-kawan yang mengaku teman baik juga kerap menjegal Mbah Jenggot baik
secara terang-terangan atau pun secara licik. Namun ia kerap melarang saya
membenci orang yang sudah menyakitinya. Ini adalah jurus mabuk Mbah Jenggot.
Ini adalah laku sabar yang ia tempuh.
Dari delapan
tahun lebih mengenalnya, saya bisa mengambil kesimpulan bila Mbah Jenggot
adalah tetenger. Ia adalah salah satu
bagian dari “alam” yang menunjukkan kepada kita sebuah kebaikan, setia kawan
dan rela berkorban di titik ekstrim. Umumnya, sebelum anda menolong orang lain,
maka tolonglah diri anda dulu, terutama mereka yang masih berpegang ditataran
syariat. Kalau ada lebihnya, baru kita bisa menolong orang. Saya tahu persis,
Mbah Jenggot bukan orang sembarangan. Mbah Jenggot bisa saja kaya kalau dia
mau, tapi ia menolak halus semua itu. Atau mungkin ada saatnya ia mengambil
kesempatan itu di lain hari.
Mbah Jenggot
hanya manusia biasa sebagaimana kita semua. Mustahil apabila ia tidak
kelimpungan mengembalikan modal dagang dan bangkit setiap kali jatuh. Ia pun
juga bisa pusing sebagaimana kita semua. Kalau pada umumnya orang, keterpurukan
akan membuatnya berubah lebih baik, atau setidaknya punya keinginan berubah.
Tapi yang dilakukan Mbah Jenggot adalah istiqomah
dengna kerumitan-kerumitan itu. Ia begitu akrab dengan kerumitan,
masalah-masalah, baik di dalam atau di luar dirinya. Ya, Gusti, betapa beraneka
ragam dan teramat guyon ciptaanMu yang satu ini.
Kalau pada suatu
hari, karena terlampau kesal dengan sikap Mbah Jenggot yang terkesan masokis,
kita akan mudah terjebak untuk menceramahinya soal tata cara hidup rasional. Meski
ketika ditanya, apakah ia mau gagal lagi dalam usaha, tentu saja ia akan menjawab
bila ia akan menggeleng tanda tak mau. Tapi percayalah, itu hanya upayanya
untuk menyenangkan dan membuat anda tidak mengasihaninya. Setelah anda usai
menceramahinya, dia akan mengangguk penuh kesungguhan dan berkali-kali
mengucapkan terimakasih pada anda. Sebenarnya apa yang dia lakukan adalah
caranya menyenangkan anda karena sejatinya nasihat untuk orang lain itu seribu
kali lebih relevan untuk diri sendiri. Karena ia tahu persis, bila nasihat dan
tudingan yang kau lakukan itu lebih pantas untuk anda sendiri ketimbang
untuknya.
Kalau pun ada
yang menuduhnya tidak rasional dalam hidup, ia akan dengan sabar bahkan
mendoakan dengan baik orang yang mencercanya. Sebab, ia sendiri memahami bila
rasionalitas suatu hal itu sangat subjektif. Matematika hidup manusia yang
masih terkait dengan untung rugi tidak dapat disamakan dengan matematika Allah
yang maha teliti. Dan Mbah Jenggot tentu punya matematika sendiri dalam
mengkalkulasi hidupnya. Percayalah, Mbah Jenggot adalah indikator cukup tepat
untuk menilai apakah hidup anda masih bergantung pada prinsip untung-rugi.
Karena, umumnya orang yang terlalu berorientasi pada untung rugi kerap tak
cocok dengannya.
Hadirnya Mbah
Jenggot adalah ayat dari Allah agar kita sadar betapa rapuh hidup manusia hari
ini. Temui, temani dan sapalah ia dengan cinta agar anda segera sadar bila
ternyata masih terlalu cengeng menjalani hidup. Ia adalah obat mujarab
penghilang rasa sakit karena, selain dia akan menghiburmu dan mengajakmu
tertawa dengan tingkah lucunya, ia akan membuatmu sadar bila derita adalah
mahluk yang bisa terus hidup bila anda beri ruang di kepala dan hati. Karena di
mata saya, Mbah Jenggot adalah kutub yang ekstrem yang membantumu lebih paham
siapa diri anda; peran anda di dalam drama hidup; memahami kebahagiaan dan
nikmat yang sebelumnya anda dustakan.
Sebenarnya,
ditengah kebutuan-kejengkelan saya atas situasi terkini, ada perasaan rindu
dengannya. Kalau dulu, saya sedang suntuk menulis, saya akan mendatanginya dan
menyanyi tengah malam di karaoke murahan, menikmati kopi pahit di rolak songo,
atau sekedar nyelempit ke petilasan
sambil guyon akan hidup atau sekedar suit-suit-kampungan ke cewek-cewek
kampung. Ya, karena saya sekarang sudah jarang ke Mojokerto, saya hanya
mendoakannya saja dari jauh agar batinnya tentram. Sebenarnya banyak sekali
yang akan saya tulis mengenai sosok Mbah Jenggot. Namun saya membatasinya
sampai saya kembali menemukan kekuatan dalam diri saya sendiri untuk terus
semangat menjalani hari. Mungkin bagi saya, menghayati kehidupannya membuat
saya sadar akan keterbatasan saya mengelola tekanan hidup.
Dan di akhir
tulisan ini saya sadar bila hidup itu bukan untuk berhasil, tapi berjuang
sebisa mungkin tanpa mengeluh. Sebagaimana upaya semut yang berusaha membawa
setetes air untuk memadamkan api yang membakar Nabi Ibrahim. Memang nampak
tidak berguna, tapi bukan itu yang penting. Karena yang penting adalah niat
kita akan sesuatu.
Mungkin dalam
hidup kalian, sebenarnya terdapat Mbah Jenggot lainnya yang akan diam-diam
menyapamu dan mengajakmu tertawa dan bangkit lagi.
Mbah Jenggot
sedunia, Al Fatihah.
Citra
D. Vresti Trisna
*Pernah dimuat di Kabar Mojokerto
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.