Laman

Rabu, 12 Juni 2019

Anak Band Ngehitz VS Mesin Sampink


Mesin Sampink

Sejak kecil, saya sudah akrab dengan musik. Banyak hal dalam hidup saya berubah karena musik. Di sekolah dasar, saya dikenal sebagai pencinta lagu-lagu Malaysia. Hampir setiap hari, buruh pabrik yang kos di belakang rumah tak pernah absen memutar lagu Malaysia keras-keras hingga terdengar sampai ke meja belajar saya. Berjam-jam membuka buku pelajaran, tak ada satu pun yang masuk. Pikiran saya melayang jauh dan batin pun hanyut meresapi luka sang penyanyi.
Lagu Malaysia mengajarkan saya arti patah hati dan merana ditinggal kekasih. Alunan musiknya yang mendayu-dayu membuat saya yang saat itu belum cukup umur diam-diam menyimpan obsesi patah hati. Saya ingin merasakan rasa sakit ditinggal kekasih. Karena, saya pikir, kalau sudah patah hati akan dapat lebih khusyuk menyanyi. Syukur Alhamdulillah cita-cita saya merasakan patah hati bisa kesampaian di masa SMA. Meski ketika patah hati saya justru lupa pada lagu Malaysia, tapi malah jadi brandalan.
Menginjak SMP, televisi mengisi waktu makan siang saya sepulang sekolah dengan sajian musik dari Boomerang. Saat itu, mau tidak mau, lagu-lagu Malaysia merelakan diri berbagi sebagaian ruang di hati saya untuk diisi Boomerang. Karena Boomerang membuat pikiran saya jauh lebih rileks dari sebelumnya.
Kehadiran Boomerang di kehidupan saya ibarat Wahyu Makutoromo yang membisiki batin saya dengan kata-kata motivasi yang keramat: ”kamu harus jadi anak band”. Ya, saya benar-benar meyakini bisikan itu. Saya sugesti diri saya tiap hari. Saya masukkan Boomerang dalam diri saya agar kelak bisa sangar seperti rambut John Paul Ivan; cadas seperti Farid Martin Badjeber; suram tapi asik seperti Hubert Henry Limahelu; lantang seperti Roy Jeconiah.
Dan Subhanallah sekali, akhirnya saya jadi anak Band.

Bahkan guru fisika dan guru seni di SMP, selalu manggut-manggut dan bertanya pada saya tentang perkembangan skill saya. Mereka benar-benar mensuport saya dan tidak peduli bila ketika di kelas saya adalah kebo kopok’en yang tolah-toleh. Karena, bagi saya, keyakinan dan usaha keras akan membuat saya bisa seterkenal Boomerang. Ya, seng penting yakin!
Sebelum meninggalkan masa keemasan musik, Metallica meracuni pikiran saya. Mas Minto, anak almarhum Pakde yang setiap hari main ke rumah, memutar VCD bajakan Metallica berulang-ulang. Saya menghormatinya karena dia jauh lebih anak band ketimbang saya. Dia sempat kursus gitar, sering diundang manggung di Surabaya dan konon hendak rekaman. Jadi rekomendasinya soal musik patut saya dengarkan.
Pada awalnya, gebukan drum Lars Ulrich di lagu St. Anger terdengar seperti kaleng kerupuk yang dipukul bertalu-talu. Setiap Mas Minto datang, tak enak rasanya mendiamkan VCD bajakan tergeletak percuma dan saya putar hampir seharian. Namun, pikiran saya berubah sejak mendengar melodi di akhir lagu Nothing Else Matters. Saya dibuat ngowoh dan akhirnya serius untuk mendengarkan lagu-lagu Metallica yang lain, termasuk St. Anger.
Syukur Alhamdulillah rasanya Gusti Allah memeluk mimpi saya untuk masuk di SMA negeri berbekal jalur prestasi olahraga. Rekomendasi Diknas Sidoarjo membebaskan saya untuk memilih SMA negeri tanpa tes dan nilai UAN. Tanpa jalur prestasi, insyaallah saya hanya akan berakhir di STM swasta. Dulu, kebentoan saya membuat saya berpikir bila SMA negeri adalah tempat berkumpulnya anak band yang keren, gaul dan asik. Sedangkan STM adalah tempat mangkal anak band ndeso yang berteriak-teriak kampungan di depan gerbang SMA negeri.

Fortune, fame
Mirror vain
Gone insane
But the memory remains

Akhirnya dengan iringan lagu The Memory Remains dari Metallica dan tangis kawan-kawan satu kelas yang tak masuk sekolah negeri, saya masuki gerbang SMA dengan kepala tegak dan angan-angan melangit.
Saya memang ceroboh. Tujuan saya sekolah bukan menjadi juara di bidang akademik, tapi mimpi akan kekayaan, ketenaran, dan kesuksesan sebagai anak band. Dengan beberapa kali coba-coba, akhirnya saya menemukan rekan yang tepat. Saya semakin serius bermusik, ikut festival, manggung dan tidak lupa nggaya. Selamat tinggal lagu Malaysia dan Boomerang. Hallo Metallica. Selamat datang Nirvana, Audioslave, Queen, Scorpions dan GNR.
Singkat cerita, hidup saya berubah di suatu hari yang melankolik. Saya tiba di belokan hidup saat merasakan patahan hati. Ya, jatuh cinta dan satu bulan kemudian patah hati. Saya hancur! Menyaksikan bagaimana arus hidup berputar sedemikian cepat dan membawa cita-cita saya sewaktu di sekolah dasar: patah hati. Saya hanya bisa meringis sambil merokok di WC sekolah.
Di tengah keterpurukan, Mas Hendra, anak bungsu Pakde mengajak saya jalan-jalan. Ia mengajak saya jalan-jalan menemui teman-temannya. Saya dibawa mampir ke rumah Mas Hendrik, mantan drumer Boomerang, sebelum Farid Martin.
The best drumer Surabaya itu banyak menasihati saya soal cita-cita bermusik bukan ketika saya fresh. Ia membeberkan kenyataan pahit di musik ketika saya sedang patah hati. Sambil setengah mabuk ia mengkuliahi saya soal arti kenyataan hidup dan mimpi manis menjadi musisi.
”Lihat aku sekarang, tidak ada yang peduli lagi dengan saya yang hanya jualan pot kembang,” kata Mas Hendrik dengan bahasa Surabaya yang terdengar kasar.
Saya pulang dengan kaki lemas. Pandangan kuyu dan tak punya semangat hidup. Persetan dengan band, ketenaran dan panggung. Mungkin Mas Hendrik adalah Gatholoco pertama yang merobohkan puncak ”iman” saya di musik.
Saya terperosok semakin dalam. Hidup saya jadi kian lebam waktu itu lantaran gelombang hidup membawa saya ke jalanan. Saya masuk ke terminal dan membagi waktu antara sekolah dan mengamen. Tak ada lagi lagu-lagu Boomerang. VCD bajakan Metallica hilang entah kemana. Dalam waktu singkat, saya lupa bau AC studio musik dan digantikan bau apak keringat di atas laju bis Sumber Kencono, Restu dan Mira. Bahkan, saya lupa apa itu musik meski hampir setiap hari saya bermain gitar. 
Musik adalah ingar-bingar yang sunyi
Setelah kuliah saya rampung, saya tak percaya lagi dengan musik. Meski diam-diam saya mengakui bila saya jadi orang yang sangat kering waktu itu. Tapi lagi-lagi Gusti Allah berbaik hati mempertemukan saya dengan musik di Mojokerto. Persentuhan saya dengan musik dimulai ketika saya kenal dengan Sumik (Oki Saputra), gitaris Mesin Sampink. Mungkin saya jadi cepat akrab dengannya karena sama-sama tipe orang yang gampang sungkan.
Perjumpaan saya dengan musik tidak lantas membuat saya berniat kembali jadi anak band. Jangankan untuk jadi anak band, lha wong sekarang saya sudah kethul dengan alat musik. Jadi saya memutuskan untuk menghormati dan angkat topi saja pada orang-orang yang memiliki kualitas dan kaliber di musik. Dibandingkan Sumik, saya hanya setahi upil alias tidak ada apa-apanya.
Mungkin saya dan Sumik sama-sama pernah goyah dan punya mimpi-mimpi manis di musik. Bedanya, Sumik bertahan dan saya tidak. Bahkan, pria yang konon paling ganteng di Mojokerto ini sempat mengambil kuliah jurusan musik di Unesa, Surabaya. Meski kuliahnya tidak selesai, tapi dengan kualitasnya bermusik, saya tetap angkat topi.
Setelah semakin dalam saya mengenal Sumik dan Mesin Sampink, semakin saya kecele. Kekaguman saya pada Mesin Sampink bukan lantaran kualitas musik mereka, atau tentang pemahaman mereka soal reagae. Kekaguman saya pada Mesin Sampink justru ketika tahu personil Mesin Sampink adalah orang-orang biasa; orang yang bersahaja dan cerdas dalam urusan guyon. Tapi di sisi lain, mereka memiliki lagu yang tidak biasa.
Poin penting yang saya catat dari Mesin Sampink adalah kesadaran untuk tahu diri. Band asli Mojokerto ini membuat saya mengerti, apa yang mereka lakukan lebih dari sekedar fame. Musik lebih dari sekedar kecerdasan akan nada, tapi pemahaman akan hidup; penghayatan dan proses penyatuan antara hidup dengan bunyi, nada, notasi, kepekaan, kata dan sebuah niat baik. Penilaian ini mungkin sangat subjektif, tapi yang jelas: saya tidak pernah kagum dengan orang hebat, saya kagum dengan orang baik dan yang punya niat baik.
Mesin Sampink membantu saya meredakan sakit kepala soal hidup, terutama untuk menertawai kedegilan masa lalu. Karena saya hanya bagian dari generasi yang mempersempit makna musik yang sebenarnya merupakan simfoni agung alam semesta menjadi sekedar cita-cita uang dan ketenaran. Apakah masa lalu saya hanya pantulan sorot lampu senter industri musik, cita-cita kolektif sebuah generasi, atau memang saya sudah mblunat sejak dilahirkan? Anda semua yang berhak menilai, sebagaimana saya yang juga berhak menilai Mesin Sampink dari sudut pandang saya.
 Sisipan-sisipan guyon di lagu-lagu Mesin Sampink membuat saya sadar bila sebagai manusia, kita perlu srawung, menertawai kebodohan-kebodohan kecil. Sisipan-sisipan itu kembali menyambung ”saraf tawa” dalam diri saya yang sebelumnya telah diputuskan oleh lagu-lagu yang mengajak orang ”bunuh diri” dan ”turu sore-sore”. 
Bagi saya, lagu-lagu Mesin Samping adalah observasi ”tingkat lanjut”. Sebuah potret buram remaja Mojokerto yang nampak terburu-buru dan tergagap ”ingin ke kota”; ”menjadi kota” dan ”mengantuk” di usia muda. Mungkin di luar sana banyak musik-musik yang ”memberontak” dan marah-marah pada negara; pada kesewenang-wenangan pemerintah.
Ya, saya tidak akan menutup mata dengan band atau kelompok musik semacam ini. Meski, saya juga tak bisa menutup mata pula pada ideologi-ideologi ”kosmetik” yang mereka anut. Karena konon menjual image sebagai aktivis akan meningkatkan panggilan manggung. Karena, mungkin yang dipahami orang-orang saat ini adalah panggung sebagai inggar-binggar, uang dan popularitas. Atau mungkin musisi semacam itu berpikir dengan cara lain: menolak makan di tempat yang mapan, agar dapat makan (dengan porsi yang sama) di tempat yang tak mapan.
Saya tak tahu persis apa yang terkandung di kedalaman Mesin Sampink ketika berada di atas panggung. Apakah inggar-binggar itu mereka rasakan dengan sejumput megalomaniak, atau justru ”menundukkan hati” untuk senantiasa tetap eling bila panggung adalah washilah, bukan ghoyah; adalah jalan, bukan tujuan. Lalu, saya melihat di dalam Mesin Sampink ada washilah dan ghoyah yang bertemu di ruang sunyi. Dan di ruangan itu mereka istiqamah pada niat baik.
Menurut saya, musisi boleh saya ”bising” di atas panggung, tapi ia harus kembali ”sepi” usai turun panggung. Untuk Mesin Sampink, jangankan menikmati waktu untuk sekedar nyeleb, menikmati ekslusifitas dan merasa besar kepala saja mereka tak sempat. Sebenarnya mereka bisa saja menikmati privilege untuk bercengkrama dengan cabe-cabe liar Mojokerto. Tapi kalau saya kebetulan ke Mojokerto, Sumik pasti dengan senang hati menemani saya nyempil di rumbuk-rumbuk petilasan atau warung kopi murah. Bagaimana mungkin, musisi kekinian kok berurusan dengan pawang hujan; dupa kemenyan? Bagaimana mungkin musisi cukup kondang kok ngeplong sandal? Bagaimana mungkin ada musisi yang aktif ngudek kopi dan melayani penggemarnya. Mungkin band semacam Mesin Samping ini adalah rumah untuk berteduh orang-orang rendah hati, sehingga yang masih silau ketenaran, tak akan betah berlama-lama di sana.
Nunut ngiyup nang oma’e Mesin Sampink
Setahu saya, personil-personil Mesin Sampink adalah ”pembaca” yang serius, terutama membaca seseorang. Berkaca dari pengalaman saya bertemu dengan personilnya yang lain, mereka masuk dengan guyon. Sebuah metode yang cukup kreatif untuk menyamarkan inverioritas yang jadi penyakit khas remaja Mojokerto.
Saya kenal Sumik sebagai pembaca karena dia adalah tipe orang yang terbuka pada wacana-wacana baru di luar genre musik yang ia tekuni. Ia mau menerima itu semua sebagai sesuatu yang melengkapi untuk mencari benang merah dari simfoni agung Gusti Kang Murbeng Dumadi. Semua hal yang didengarnya disimpan dan dierami dalam dirinya untuk kemudian diidentifikasi; dicari kemungkinan lainnya; dicari positif-negatifnya agar menjadi cahaya. Dan hasil dari pembacaan-pembacaan itu, mereka gunakan mambangun keyakinan dalam bermusik.
Mesin Sampink adalah salah satu generasi Mojokerto. Sebuah desa dari kampung yang kita beri nama Indonesia. Tentu akan sangat mustahil bila generasi mudanya bebas dari kenakalan-kenakalan. Dari pengembaraan mereka bermusik, mereka dikejutkan pengalaman baru bersinggungan dengan ”hantu” masa silam: komunis. Saya tidak menyalahkan PKI, karena saya menganggap hal itu adalah sesuatu yang harus terjadi. Tapi kekuasaan telah mengambil sikap untuk menganggap PKI sebagai haram-jadah yang harus dibrantas sak sempak-sempak’e. Sehingga lagu Genjer-genjer mengantar personil Mesin Sampink untuk wajib lapor.
Saat kasus mereka ramai, terus terang saya hanya menunggu sambil ngopi dan senyum-senyum. Saya ingin melihat apakah polisi yang berperan sebagai Gatholoco, berhasil merobohkan komitmen mereka di musik. Apakah dingin dan kakunya kantor polisi membuat mereka menangis di kamar dan meninggalkan panggung. Tapi lagi-lagi saya kecele dan membuat skor sementara Mesin Samping dengan saya 2 : 0. Mesin Sampink unggul dari saya karena mereka dua kali mampu bertahan dari ujian kesungguhan.
Setidaknya malam ini saya sadar bila Mesin Sampink adalah pil pahit untuk membangunkan saya dari kedunguan masa silam. Menyadari bila ketenaran, kebanggaan, dan ideologi hitz yang saya yakini waktu muda adalah pasir pantai yang saya tumpuk untuk menghadang ombak. Ketika ombak itu datang, benteng saya jebol dan saya keluncum. Itu sebabnya dulu saya nunut ngiyup di Mojokerto yang menjadi rumahnya Mesin Sampink, sembari mengeringkan baju lalu melanjutkan perjalanan ke kota lain.

Citra D. Vresti Trisna
*Pernah dimuat di Kabar Mojokerto

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.