Mesin Sampink |
Sejak kecil, saya sudah akrab dengan musik. Banyak hal dalam hidup saya berubah karena musik. Di sekolah dasar, saya dikenal sebagai pencinta lagu-lagu Malaysia. Hampir setiap hari, buruh pabrik yang kos di belakang rumah tak pernah absen memutar lagu Malaysia keras-keras hingga terdengar sampai ke meja belajar saya. Berjam-jam membuka buku pelajaran, tak ada satu pun yang masuk. Pikiran saya melayang jauh dan batin pun hanyut meresapi luka sang penyanyi.
Lagu Malaysia
mengajarkan saya arti patah hati dan merana ditinggal kekasih. Alunan musiknya
yang mendayu-dayu membuat saya — yang saat itu belum cukup umur — diam-diam menyimpan obsesi patah hati. Saya
ingin merasakan rasa sakit ditinggal kekasih. Karena, saya pikir, kalau sudah
patah hati akan dapat lebih khusyuk menyanyi. Syukur Alhamdulillah cita-cita saya merasakan
patah hati bisa kesampaian di masa SMA. Meski ketika patah hati saya justru
lupa pada lagu Malaysia, tapi malah jadi brandalan.
Menginjak SMP, televisi mengisi waktu
makan siang saya sepulang sekolah
dengan sajian musik dari Boomerang. Saat itu, mau tidak
mau, lagu-lagu Malaysia merelakan
diri berbagi sebagaian ruang
di hati saya untuk diisi Boomerang. Karena Boomerang membuat pikiran saya jauh
lebih rileks dari sebelumnya.
Kehadiran
Boomerang di kehidupan saya ibarat Wahyu
Makutoromo yang membisiki batin saya dengan kata-kata motivasi yang
keramat: ”kamu harus jadi anak band”. Ya, saya benar-benar meyakini bisikan
itu. Saya sugesti diri saya tiap hari. Saya masukkan Boomerang dalam diri saya
agar kelak bisa sangar seperti rambut John Paul Ivan; cadas seperti Farid
Martin Badjeber; suram tapi asik seperti Hubert Henry Limahelu; lantang seperti
Roy Jeconiah.
Dan Subhanallah sekali, akhirnya saya jadi
anak Band.
Bahkan guru
fisika dan guru seni di SMP, selalu manggut-manggut dan bertanya pada saya
tentang perkembangan skill saya.
Mereka benar-benar mensuport saya dan tidak peduli bila ketika di kelas saya
adalah kebo kopok’en yang tolah-toleh. Karena, bagi saya,
keyakinan dan usaha keras akan membuat saya bisa seterkenal Boomerang. Ya, seng penting yakin!
Sebelum
meninggalkan masa keemasan musik, Metallica meracuni pikiran saya. Mas Minto,
anak almarhum Pakde yang setiap hari main ke rumah, memutar VCD bajakan
Metallica berulang-ulang. Saya menghormatinya karena dia jauh lebih anak band
ketimbang saya. Dia sempat kursus gitar, sering diundang manggung di Surabaya
dan konon hendak rekaman. Jadi rekomendasinya soal musik patut saya dengarkan.
Pada awalnya,
gebukan drum Lars Ulrich di lagu St.
Anger terdengar seperti kaleng kerupuk yang dipukul bertalu-talu. Setiap
Mas Minto datang, tak enak rasanya mendiamkan VCD bajakan tergeletak percuma
dan saya putar hampir seharian. Namun,
pikiran saya berubah sejak mendengar melodi di akhir
lagu Nothing Else Matters. Saya dibuat ngowoh
dan akhirnya serius untuk mendengarkan lagu-lagu Metallica yang lain, termasuk St. Anger.
Syukur Alhamdulillah rasanya Gusti Allah
memeluk mimpi saya untuk masuk di SMA negeri berbekal jalur prestasi olahraga.
Rekomendasi Diknas Sidoarjo membebaskan saya untuk memilih SMA negeri tanpa tes
dan nilai UAN. Tanpa jalur prestasi, insyaallah
saya hanya akan berakhir di STM swasta. Dulu, kebentoan saya membuat saya berpikir bila SMA negeri adalah tempat
berkumpulnya anak band yang keren, gaul dan asik. Sedangkan STM adalah tempat
mangkal anak band ndeso yang
berteriak-teriak kampungan di depan gerbang SMA negeri.
Fortune, fame
Mirror vain
Gone insane
But the memory
remains
Akhirnya
dengan iringan lagu The Memory Remains
dari Metallica dan tangis kawan-kawan satu kelas yang tak masuk sekolah negeri,
saya masuki gerbang SMA dengan kepala tegak dan angan-angan melangit.
Saya memang
ceroboh. Tujuan saya sekolah bukan menjadi juara di bidang akademik, tapi mimpi
akan kekayaan, ketenaran, dan kesuksesan sebagai anak band. Dengan beberapa
kali coba-coba, akhirnya saya menemukan rekan yang tepat. Saya semakin serius
bermusik, ikut festival, manggung dan tidak lupa nggaya. Selamat tinggal lagu Malaysia dan Boomerang. Hallo
Metallica. Selamat datang Nirvana, Audioslave, Queen, Scorpions dan GNR.
Singkat
cerita, hidup saya berubah di suatu hari yang
melankolik. Saya tiba di belokan hidup saat merasakan patahan hati. Ya, jatuh
cinta dan satu bulan kemudian patah hati. Saya hancur! Menyaksikan bagaimana
arus hidup berputar sedemikian cepat dan membawa cita-cita saya sewaktu di
sekolah dasar: patah hati. Saya hanya bisa meringis sambil merokok di WC
sekolah.
Di tengah
keterpurukan, Mas Hendra, anak bungsu Pakde mengajak saya jalan-jalan. Ia
mengajak saya jalan-jalan menemui teman-temannya. Saya dibawa mampir ke rumah
Mas Hendrik, mantan drumer Boomerang, sebelum Farid Martin.
The best drumer
Surabaya itu banyak menasihati saya soal cita-cita bermusik bukan ketika saya fresh. Ia membeberkan kenyataan pahit di
musik ketika saya sedang patah hati. Sambil setengah mabuk ia mengkuliahi saya
soal arti kenyataan hidup dan mimpi manis menjadi musisi.
”Lihat aku
sekarang, tidak ada yang peduli lagi dengan saya yang hanya jualan pot
kembang,” kata Mas Hendrik dengan bahasa Surabaya yang terdengar kasar.
Saya pulang
dengan kaki lemas. Pandangan kuyu dan tak punya semangat hidup. Persetan dengan
band, ketenaran dan panggung. Mungkin Mas Hendrik adalah Gatholoco pertama yang
merobohkan puncak ”iman” saya di musik.
Saya terperosok
semakin dalam. Hidup saya jadi kian lebam waktu itu lantaran gelombang hidup
membawa saya ke jalanan. Saya masuk ke terminal dan membagi waktu antara
sekolah dan mengamen. Tak ada lagi lagu-lagu Boomerang. VCD bajakan Metallica
hilang entah kemana. Dalam waktu singkat, saya lupa bau AC studio musik dan digantikan
bau apak keringat di atas laju bis Sumber Kencono, Restu dan Mira. Bahkan, saya
lupa apa itu musik meski hampir setiap hari saya bermain gitar.
Musik
adalah ingar-bingar yang sunyi
Setelah kuliah
saya rampung, saya tak percaya lagi dengan musik. Meski diam-diam saya mengakui
bila saya jadi orang yang sangat kering waktu itu. Tapi lagi-lagi Gusti Allah
berbaik hati mempertemukan saya dengan musik di Mojokerto. Persentuhan saya
dengan musik dimulai ketika saya kenal dengan Sumik (Oki Saputra), gitaris
Mesin Sampink. Mungkin saya jadi cepat akrab dengannya karena sama-sama tipe
orang yang gampang sungkan.
Perjumpaan saya
dengan musik tidak lantas membuat saya berniat kembali jadi anak band.
Jangankan untuk jadi anak band, lha wong
sekarang saya sudah kethul dengan
alat musik. Jadi saya memutuskan untuk menghormati dan angkat topi saja pada
orang-orang yang memiliki kualitas dan kaliber di musik. Dibandingkan Sumik,
saya hanya setahi upil alias tidak ada apa-apanya.
Mungkin saya dan
Sumik sama-sama pernah goyah dan punya mimpi-mimpi manis di musik. Bedanya,
Sumik bertahan dan saya tidak. Bahkan, pria yang konon paling ganteng di
Mojokerto ini sempat mengambil kuliah jurusan musik di Unesa, Surabaya. Meski
kuliahnya tidak selesai, tapi dengan kualitasnya bermusik, saya tetap angkat
topi.
Setelah semakin
dalam saya mengenal Sumik dan Mesin Sampink, semakin saya kecele. Kekaguman saya pada Mesin Sampink bukan lantaran kualitas
musik mereka, atau tentang pemahaman mereka soal reagae. Kekaguman saya pada Mesin
Sampink justru ketika tahu personil Mesin Sampink adalah orang-orang biasa;
orang yang bersahaja dan cerdas dalam urusan guyon. Tapi di sisi lain, mereka memiliki lagu yang tidak biasa.
Poin penting
yang saya catat dari Mesin Sampink adalah kesadaran untuk tahu diri. Band asli
Mojokerto ini membuat saya mengerti, apa yang mereka lakukan lebih dari sekedar
fame. Musik lebih dari sekedar
kecerdasan akan nada, tapi pemahaman akan hidup; penghayatan dan proses
penyatuan antara hidup dengan bunyi, nada, notasi, kepekaan, kata dan sebuah
niat baik. Penilaian ini mungkin sangat subjektif, tapi yang jelas: saya tidak
pernah kagum dengan orang hebat, saya kagum dengan orang baik dan yang punya
niat baik.
Mesin Sampink
membantu saya meredakan sakit kepala soal hidup, terutama untuk menertawai
kedegilan masa lalu. Karena saya hanya bagian dari generasi yang mempersempit
makna musik — yang sebenarnya
merupakan simfoni agung alam semesta — menjadi sekedar cita-cita
uang dan ketenaran. Apakah masa lalu saya hanya pantulan sorot lampu senter
industri musik, cita-cita kolektif sebuah generasi, atau memang saya sudah mblunat sejak dilahirkan? Anda semua
yang berhak menilai, sebagaimana saya yang juga berhak menilai Mesin Sampink
dari sudut pandang saya.
Sisipan-sisipan guyon di lagu-lagu Mesin Sampink membuat saya sadar bila sebagai
manusia, kita perlu srawung,
menertawai kebodohan-kebodohan kecil. Sisipan-sisipan itu kembali menyambung
”saraf tawa” dalam diri saya yang sebelumnya telah diputuskan oleh lagu-lagu
yang mengajak orang ”bunuh diri” dan ”turu
sore-sore”.
Bagi saya,
lagu-lagu Mesin Samping adalah observasi ”tingkat lanjut”. Sebuah potret buram
remaja Mojokerto yang nampak terburu-buru dan tergagap ”ingin ke kota”;
”menjadi kota” dan ”mengantuk” di usia muda. Mungkin di luar sana banyak
musik-musik yang ”memberontak” dan marah-marah pada negara; pada
kesewenang-wenangan pemerintah.
Ya, saya tidak
akan menutup mata dengan band atau kelompok musik semacam ini. Meski, saya juga
tak bisa menutup mata pula pada ideologi-ideologi ”kosmetik” yang mereka anut.
Karena konon menjual image sebagai aktivis akan meningkatkan panggilan
manggung. Karena, mungkin yang dipahami orang-orang saat ini adalah panggung
sebagai inggar-binggar, uang dan popularitas. Atau mungkin musisi semacam itu
berpikir dengan cara lain: menolak makan di tempat yang mapan, agar dapat makan
(dengan porsi yang sama) di tempat yang tak mapan.
Saya tak tahu
persis apa yang terkandung di kedalaman Mesin Sampink ketika berada di atas
panggung. Apakah inggar-binggar itu mereka rasakan dengan sejumput
megalomaniak, atau justru ”menundukkan hati” untuk senantiasa tetap eling bila panggung adalah washilah, bukan ghoyah; adalah jalan, bukan tujuan. Lalu, saya melihat di dalam
Mesin Sampink ada washilah dan ghoyah yang bertemu di ruang sunyi. Dan
di ruangan itu mereka istiqamah pada
niat baik.
Menurut saya,
musisi boleh saya ”bising” di atas panggung, tapi ia harus kembali ”sepi” usai
turun panggung. Untuk Mesin Sampink, jangankan menikmati waktu untuk sekedar nyeleb, menikmati ekslusifitas dan
merasa besar kepala saja mereka tak sempat. Sebenarnya mereka bisa saja
menikmati privilege untuk
bercengkrama dengan cabe-cabe liar
Mojokerto. Tapi kalau saya kebetulan ke Mojokerto, Sumik pasti dengan senang
hati menemani saya nyempil di
rumbuk-rumbuk petilasan atau warung kopi murah. Bagaimana mungkin, musisi
kekinian kok berurusan dengan pawang
hujan; dupa kemenyan? Bagaimana mungkin musisi cukup kondang kok ngeplong
sandal? Bagaimana mungkin ada musisi yang aktif ngudek kopi dan melayani penggemarnya. Mungkin band semacam Mesin
Samping ini adalah rumah untuk berteduh orang-orang rendah hati, sehingga yang
masih silau ketenaran, tak akan betah berlama-lama di sana.
Nunut ngiyup nang oma’e Mesin Sampink
Setahu saya, personil-personil
Mesin Sampink adalah ”pembaca” yang serius, terutama membaca seseorang. Berkaca
dari pengalaman saya bertemu dengan personilnya yang lain, mereka masuk dengan guyon. Sebuah metode yang cukup kreatif
untuk menyamarkan inverioritas yang jadi penyakit khas remaja Mojokerto.
Saya kenal Sumik
sebagai pembaca karena dia adalah tipe orang yang terbuka pada wacana-wacana
baru di luar genre musik yang ia tekuni. Ia mau menerima itu semua sebagai
sesuatu yang melengkapi untuk mencari benang merah dari simfoni agung Gusti Kang Murbeng Dumadi. Semua hal
yang didengarnya disimpan dan dierami dalam dirinya untuk kemudian
diidentifikasi; dicari kemungkinan lainnya; dicari positif-negatifnya agar
menjadi cahaya. Dan hasil dari pembacaan-pembacaan itu, mereka gunakan
mambangun keyakinan dalam bermusik.
Mesin Sampink
adalah salah satu generasi Mojokerto. Sebuah desa dari kampung yang kita beri
nama Indonesia. Tentu akan sangat mustahil bila generasi mudanya bebas dari
kenakalan-kenakalan. Dari pengembaraan mereka bermusik, mereka dikejutkan
pengalaman baru bersinggungan dengan ”hantu” masa silam: komunis. Saya tidak
menyalahkan PKI, karena saya menganggap hal itu adalah sesuatu yang harus
terjadi. Tapi kekuasaan telah mengambil sikap untuk menganggap PKI sebagai
haram-jadah yang harus dibrantas sak
sempak-sempak’e. Sehingga lagu Genjer-genjer
mengantar personil Mesin Sampink untuk wajib lapor.
Saat kasus
mereka ramai, terus terang saya hanya menunggu sambil ngopi dan senyum-senyum. Saya
ingin melihat apakah polisi yang berperan sebagai Gatholoco, berhasil
merobohkan komitmen mereka di musik. Apakah dingin dan kakunya kantor polisi
membuat mereka menangis di kamar dan meninggalkan panggung. Tapi lagi-lagi saya
kecele dan membuat skor sementara
Mesin Samping dengan saya 2 : 0. Mesin Sampink unggul dari saya karena mereka
dua kali mampu bertahan dari ujian kesungguhan.
Setidaknya malam
ini saya sadar bila Mesin Sampink adalah pil pahit untuk membangunkan saya dari
kedunguan masa silam. Menyadari bila ketenaran, kebanggaan, dan ideologi hitz yang saya yakini waktu muda adalah
pasir pantai yang saya tumpuk untuk menghadang ombak. Ketika ombak itu datang,
benteng saya jebol dan saya keluncum.
Itu sebabnya dulu saya nunut ngiyup
di Mojokerto yang menjadi rumahnya Mesin Sampink, sembari mengeringkan baju
lalu melanjutkan perjalanan ke kota lain.
Citra
D. Vresti Trisna
*Pernah dimuat di Kabar Mojokerto
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.