Burung Keblek |
Kampung saya sedang
ramai! Soal apa? Ah, bukan hal yang penting. Tapi, ya, lumayan perlu sih untuk
diceritakan.
Jadi begini. Ribut di kampung saya
itu soal pemilihan ketua RT. Dua orang calon mempersoalkan hasil
penghitungan suara. Beda tipis sih, tapi salah pemilihnya juga, kenapa
pemilihannya harus tertutup. Itu lo, nganu,
sok-sokan meniru pemilu di Indonesia: bebas dan rahasia.
Ini kan koplo. Bebas kok
rahasia. Kalau sudah bebas milih, ya, tidak perlu rahasia. Ndak perlu ngomong
kebebasan-kemerdekaan dalam memilih kalau pake rahasia rahasia segala. Warga diajari
gak jentelmen. Pemilihan sebelumnya, ya tetap voting. Tapi, masing-masing tahu
siapa pilih siapa.
Nanti
kalau tahu bisa ribut?
Kalau gitu kenapa gak musyawarah
saja; dibicarakan baik-baik antar warga dan dirembukkan siapa yang pantas dipilih.
Menurut saya, salah
satu sumber keributan ini adalah karena anak-anak muda lulusan universitas yang
dianggap pintar itu disuruh cawe-cawe
urusan pemilihan RT. Eh, ndak taunya kok malah ndlahom. Seharusnya mereka lebih belajar dan menundukkan kepala di
hadapan orang-orang kampung, bukannya keminter. Orang kampung disuruh belajar
berdemokrasi, votang-voting-votang-voting. Matane
amblek!
Bawawuk, pihak yang
kalah tipis itu merasa dicurangi oleh Jopukon, RT periode
sebelumnya. Jopukon dianggap melakukan kecurangan yang terstruktur, sistematis
dan masif. Memang sih panitia pemilihan itu memang dekat dengan Jopukon. Dan orang
ini pula yang sebelum pemilihan paling banyak ikut riwa-riwi.
”Panitia kok ndak
netral. Jopukon jancuk!” umpat
Bawawuk. ”Kalau gak diulang, tak laporin MK loh panitia-panitia taek ini.”
”MK itu apa?” tanya
Mbah Min.
”Itu loh, Mahkamah
Konstitusi. Di Jakarta… jauh sono!” Jelas
salah seorang pemuda.
”Ngawur! MK itu markas keblek!” Protes Mbah Min.
”Keblek? What?”
”Wot ndasmu! Keblek itu hewan jadi jadian yang kaya kelelawar. Kalau terbang
bunyi blek-blek-blek. Kerjaannya nyolong beras. Kalau gak gitu ya kerjanya
ngasih kabar kalau bakal ada yang mampus. Itu aslinya hewan jadi-jadian yang
hanya bisa dibikin oleh dukun tiban. Kemarin saya lihat di rumah Parjono
dindingnya ditulisi ’Markas Keblek’ besar-besar.”
Bawawuk yang nampaknya tidak paham dengan apa
yang disampaikan Mbah Min, mengangguk-angguk saja.
”Sampean jadi melapor
Nak Wawuk?” Ditanya begitu, oleh Mbah Min. Bawawuk kembali mengangguk. ”Sampean
itu keliatannya gagah, tapi ternyata ndlahom
juga. Mempercayakan nasib dan hal gawat begini ke barang jelmaan itu bodoh, syirik. Ngerti sampean?”
Merasa dituduh curang,
Jopukon tak bergeming. Mukanya diam dengan seribu ke-ndlahom-an yang terstruktur sistematis dan masif.
Mbah Min masih coba
menengahi keduanya. ”Kalau sampean bagaimana Nak Pukon?”
”Maaf ya mbah. Ini si
Wawuk memang asu! Kamu jangan sebar
hoax, Wawuk! Tak serut mukamu pakai serutan kayu tau rasa loh. Kalau ada kecurangan, laporkan! Jangan
main tuduh!”
”Aneh-anak saja
orang-orang di sini. Karena panggil-panggil keblek,
liat saja pasti nanti ada yang mati. Kamu siap mati, Wawuk? Kamu itu sudah tua, mbok ya mikir, Wuk-Wawuk. Ini si Pukon
juga sama. Ndlahom kok dulu bisa
kepilih… ”
Karena konfilik tak
kunjung selesai, Mbah Min pergi berlalu sambil terus ngomel.
Kurang lebih begitu! Kalau
menurut saya, salah sendiri sekarang ketua RT pakai acara dibayar. Ya, jadinya
pada rebutan. Seandainya, jadi ketua RT ndak dibayar tapi masing-masing yang
terpilih sadar bakal dapat pahala luar biasa, pasti ndak jadi rebutan. Tapi,
hari gini sapa juga yang lebih pilih pahala ketimbang uang?
Kelopo
ten,
16 Juni 2019
Citra
D. Versti Trisna
1 komentar:
sangat menghibur, bung.
Posting Komentar
Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.