(Perihal Mendengarkan 3)
Cafe, bar & Resto di Megapolitan Kletek |
Pemabuk-pemabuk sinting itu belum
pulang dari tubuh saya. Saya heran, batrai macam apa yang terpasang di punggung
mereka hingga sudah hampir sepuluh hari ini mereka belum tidur.
Tapi kali ini mereka tidak begitu
mengganggu saya. Mungkin itu sebabnya saya merasa hari ini cukup santuy, tenang, karena mereka tidak
seberisik biasanya. Tema-tema masa silam dan cinta yang menyayat di luka yang basah
itu membuat urat mereka kendor.
Sekumpulan pemabuk itu mungkin
sedang berupaya saling menguatkan satu sama lain. Kalau biasanya mata mereka nampak
semerah darah saat menggunjing soal Indonesia. Tapi, begitu tema obrolan mereka
beralih ke soal cinta, mata mereka jadi sekelam malam. Gelap! Segelap langit Jakarta; segelap nasib
Indonesia.
Lalu apa yang bisa mengendurkan
urat syaraf saya? Tentu saja ketragisan kisah cinta mereka.
Soal cinta, saya pun punya luka
yang sama. Luka yang perih dan dalam sebagaimana yang mereka rasakan. Mungkin kami
sama-sama tak berdaya: dipaksa pulang untuk mengunjungi salah satu petak kamar
di sebalik hati saya; sebuah ruangan gelap berisi kenangan, sekaligus rasa
sakit yang (brengseknya) beberapa menit sekali menusuk ulu hati saya.
Beberapa orang di antara mereka
yang enggan ikut bercerita memutar lagu-lagu sedih. Mungkin ia hanya ingin
bersimpati; menunjukkan rasa hormat. Dan sialnya lagi, lagu-lagu sedih itu
seperti jeruk nipis yang diperas di atas luka kami.
Bedebah! Tapi, sudahlah.
Saya termasuk orang yang enggan
menceritakan luka di kedalaman saya. Maka, saya hanya duduk, mencatat sembari menyaksikan
mereka bertangis-tangisan.
Mencatat? Ya! Saya catat luka
mereka: satu per satu kisah, tiap kalimat, kata, air muka mereka. Saya ingat
betul cara mereka menahan tangis. Juga bagaimana proses air mata itu jebol dan
membasahi wajah sepi mereka.
Kunyalakan rokok yang kesekian
juta. Mungkin sama seperti mereka, sejak dada saya dibikin lebam, saya jadi
banyak merokok. Dulu selalu ada yang mengontrol dan menasihati, tapi bukankah
lelaki ditakdirkan untuk menasihati dirinya sendiri; menghibur diri mereka
sendiri. Dan (kalau bisa) melupakan tangisnya sendiri.
Seksis!?
Persetan!
***
Kata orang di luar sana, mereka
yang sedang jatuh cinta itu lebay. Lebih nampak menjijikkan lagi ketika patah
hati. Tapi, ah, ndak usah orang lain,
saya sendiri pun pernah melihat sebelah mata orang-orang yang sedang patah
hati. Pernah terjebak mengolok-olok mereka.
”Bro, sudah dapat ‘jatah’ curhat
dari si A**x?”
Teman kuliah saya tertawa lepas,
tak menjawab.
”Ya, sudah! Kemarin satu kos saya
semua dapat jatah. Rata!”
”Kok bisa begitu, ya?”
Teman saya tak menjawab. Ia hanya
memegangi dagunya sambil melihat ke luar kantin. Usai rasan-rasan, kami tak
pernah bertemu lagi sekitar satu bulan lebih. Dan bulan berikutnya, di suatu
hari menjelang dini hari, teman saya datang ke rumah. Ia mengajak saya ngopi ke
daerah Kletek.
Di sepanjang perlajanan ia hanya
diam. Dan prediksi saya tak meleset: malam itu saya mendapat jatah dari teman saya ini.
Jatah berikutnya saya dapat dari
seorang yang sudah cukup umur. Di warung Kletek juga tempatnya. Ia mengeluhkan
istrinya yang pergi lantaran lebih tertarik dengan orang lain. Menurutnya, ia
sudah banyak berkorban untuk istrinya. Sudah banyak harta dihabiskan untuk
menuruti kemauan istrinya.
”Sampean kena lintrik, kang?”
”Ndak, Cit. Memang saya yang cinta
setengah mati (baca: bucin abiz) dengan
istri saya. Bahkan sampai sekarang ketika kami telah berpisah.” Jawabnya,
sedih.
”Sudah cerai?”
”Sudah! Dia pilih orang lain yang
lebih kaya dari saya.”
”Kok tahu?”
”Dia yang bilang sendiri.”
Menurutnya, apa yang ia berikan
pada istrinya sudah lebih dari cukup. Pria tua ini hanya mampu memberi,
memberi, memberi sebisanya. Meski pada akhirnya istrinya pergi juga.
Penghianatan yang ia terima tak
membuatnya membalas perlakuan istri dan selingkuhan istrinya. Ia doakan
keduanya bahagia. Tapi saya tahu peris, apa yang akan ”alam” lakukan pada kedua
pasangan selingkuh itu.
Dua tas besar barang bawaannya ia
bawa pergi sembari sebelumnya membayar semua makanan dan kopi yang aku pesan.
Ia pergi dengan sisa air mata yang tak terseka kemeja panjangnya.
Dari warung, saya lihat
punggungnya berlalu meninggalkan warung. Ia berjalan di antara gelap dan
ramainya kendaraan. Ia menolak saya antar pulang. Saya hanya menyaksikan ia
terus berjalan; mungkin ia menangis, mungkin tidak.
Waktu itu, saya hanya mampu
mendengar. Mendengar! Mungkin diam-diam saya mencatat seperti apa warna air
matanya; mencatat dan mengingat-ingat apa yang ia lakukan untuk menyelesaikan
masalahnya.
”Hasbunallah wani’mal wakil ni’mal maula wani’man nasir,” katanya.
Saya diam. Saya mengerti, tapi
tak tahu akan berbuat apa. Dan sekarang, saya tahu arti kata itu. Saya pun
akhirnya tahu mengapa ia ambil keputusan seperti itu.
***
Jatah lainnya terus datang.
Terlebih ketika saya memasrahkan diri untuk menjadi keranjang sampah.
Pada awalnya saya berpikir:
mendengar luka patah hati adalah cara saya membantu seseorang meringankan rasa
sesak ketidakmungkinan dan kenyataan. Waktu itu, bisa-bisanya saya mikir hidup
adalah soal “siapa yang butuh”. Jadi kalau saya tak pernah menolak dicurhati
dua hari dua malam, maka kelak bila saya terpuruk, akan ada orang yang mampu
mengerti saya; mendengar cerita-cerita saya.
Dan ketika saya benar-benar patah
hati, saya bisu. Tak mampu meredakan beban sendiri dengan bercerita. Saya
simpan sendiri luka itu. Saya keloni luka itu tiap malam. Saya elus rambut luka
itu dengan sepenuh sayang. Apa ini ketololan yang menyamar? Mungkin saja!
Di kota ini pun, ketika saya sedikit lupa bila
saya adalah keranjang sampah, Gusti Allah seperti menyapa saya. Mungkin sapaan
itu hadir dengan mulai banyak lagi orang-orang yang bagi-bagi jatah dengan
saya.
Yang paling tidak masuk akal,
teman saya semasa SMA pernah jauh-jauh datang ke Jakarta hanya untuk memberi
saya jatah. Padahal, saya hampir-hampir tak kenal dengan teman saya ini. Karena
dulunya hanya sekelas. Kami sama-sama tahu bila satu sekolah. Dan pertemanan
pun hanya di medsos.
Dan mengapa ia mau jauh-jauh
datang dari Gresik ke Jakarta hanya untuk membagi jatah: ia berpikir saya
mengerti apa itu cinta.
Saya tak keberatan menjadi
keranjang sampah semua orang yang patah hati. Mungkin sampai tua nanti saya
tetap bersedia. Tapi apa yang lebih sakit dari menjadi keranjang sampah orang
lain: melihat diri sendiri di dalam mata pemberi jatah. Dari matanya yang
berkaca-kaca, saya sadar, hanya soal waktu saya akan jadi seperti dia. Tapi,
sialnya saya bukan orang yang pandai membahasakan patah hati saya kepada orang
lain.
Di tengah kesombongan orang yang
merasa belum jatuh. Di antara kesombongan orang-orang yang telah bangkit dari
kejatuhan. Di antara ratap tangis para pen-jatah. Di antara keseriusan para
keranjang sampah.
Gusti Allah sedang mencatat dan
mengatur jadwal….
Citra D. Vresti Trisna
Kelapa Dua, Jakarta
Rabu Legi, 15 April 2020
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.