(Perihal Mendengarkan)
Foto'e Bung Dalbo |
Mereka bukan sekedar bertamu dan minta ditemani diskusi. Lebih jauh dari itu, mereka menjadikan tubuh saya sebagai tempat diskusi. Selama di tubuh saya, mereka bebas melakukan apa saja. Mereka bisa seenaknya memekikkan kata merdeka dan setelah itu buang ludah bacin dengan cara paling bengis di hidung saya. Sambil diskusi, mereka boleh buang air tepat di mata saya meski nantinya saya tak bisa melihat apapun kecuali kotoran. Saya pasrah! Entahlah, saya merasa terlalu cepat menjadi jompo di umur saya yang sebenarnya masih muda. Sesakit itukah rasanya mendengarkan?
Ada sesuatu yang tidak beres di
dalam tubuh saya! Mungkin ini gara-gara tiga hari lalu tubuh saya didatangi sekumpulan
pemuda bermata merah. Mereka ingin menumpang diskusi sambil mabok; membicarakan
puluhan tema diskusi tentang persoalan yang aneh-aneh.
Terus terang, saya sedikit kurang
suka dengan cara mereka berdiskusi. Mereka memperlakukan tubuh saya (tempat
mereka berdiskusi) layaknya warung kopi di pinggiran jalan Pantura yang gaduh.
Beraneka chaos di dalam perdiskusian mereka membuat hidung saya terasa
gatal. Padahal sebelum mereka datang, saya bisa bernapas lega. Jujur saja,
keributan yang mereka ciptakan melahirkan berbagai ketidakseimbangan di tubuh
saya.
Pernahkah Anda mengalami bersin
tertahan? Ingin bersin, tapi tidak jadi. Sumpah, tidak enak sekali rasanya. Hal
ini sering terjadi ketika diskusi para pemuda sontoloyo ini mulai menyentuh
tema-tema nasionalisme, golput, pembisik (sebut saja) Jokowi dan Megawati yang
mengantuk. Tapi mendadak saya akan bersin sejadi-jadinya ketika mereka mulai
bicara soal penanggalan Jawa dan mengaitkannya dengan pengumuman sejumlah
kebijakan Jokowi ke publik.
Entahlah, para pemuda ini datang
dari dunia mana. Flu yang saya rasakan sekarang ini bukan seperti sakit flu
pada umumnya.
Yang paling membuat saya pusing
adalah ketika sekelompok sarjana muda sinting lagi pemabuk itu berorasi di atas
rambut saya yang uwel-uwelan. Di atas
kepala saya, mereka bicara keras-keras dan mengimbau rakyat Indonesia untuk
senantiasa sadar dan berpikir jernih. Mereka berharap, kejernihan itu
memudahkan rakyat mencerna-menganalisis berbagai gejala yang terjadi di dalam
kehidupan berbangsa-bernegara.
Dan berengseknya, usai orasi,
mereka muntah-muntah karena terlalu mabuk.
***
Belum selesai dengan rasa tidak nyaman
di dalam tubuh saya, seorang kawan lama menelpon.
Selain basa-basi menanyakan kabar,
kami membicarakan banyak hal: masa lalu, cinta sontoloyo dan terutama soal
profesinya sebagai tenaga pengajar di salah satu universitas negeri di
Surabaya.
Obrolan via telepon ini membuat
saya dikembalikan ke masa lalu. Suatu ketika, di mana kami sama-sama muda dan
naif. Tapi yang paling saya ingat dari kawan saya ini adalah bentuk tubuh dan
jari-jari tangannya yang mirip Marx. Saya juga ingat sebuah momen ngopi bertiga
dengan pacarnya. Kawan saya ini senang menceramahiku soal beraneka teori sosial
di sebuah warung kopi dekat Terminal Purabaya.
Hanya bermodal otak encer dan
mulut selicin sales, kawan saya ini mampu mengejawantahkan beraneka teori
sosial. Ia juga mampu menelanjangi teori itu, mencari titik lemah dan
membuktikan bahwa teori-teori sosial yang dipelajari hari ini bukan hanya tidak
relevan, tapi juga sudah jadi gombal amoh.
Dan tentu saja, saya yang tak cemerlang ini hanya mampu manggut-manggut. Dan
pacarnya yang kini jadi istrinya juga melihat kawan saya dengan mata berbinar.
Terlebih ketika ia dibiayai penuh
oleh keluarganya untuk studi lanjut. Ah, ya, kawan saya satu ini memang luar
biasa. Otomatis, saya pun semakin ketinggalan.
Kalau dulu saya hanya dibuat
manggut-manggut, usai studi lanjut, saya hanya bisa ngowoh, ndomblong, penuh,
terkadang mengantuk mendengar nasihat dan kata-katanya. Terus terang saja, cara
saya menghormatinya adalah dengan bersabar tidak mendebat, terus mengajaknya
ngopi karena dia selalu memaksa membayari kopi-rokok saya adalah teman
baik. Dan yang terpenting selama diskusi berdua, saya berupaya sebisa mungkin
tidak memberinya pertanyaan tak bermutu yang dapat melukai kecerdasannya.
Yang mengherankan dari pria asal
Lumajang ini adalah ketika ia berubah jadi pria pendiam ketika sedang ngopi
beramai-ramai. Padahal kawan-kawan yang lain juga sama nol besarnya dengan
saya; siap didongengi teori-teori. Kalau sudah begitu, tidak ada lagi bahasan
soal teori dan berganti guyonan maha receh. Ya, ia lebih suka ngopi bertiga:
dia, saya dan pacarnya.
Terus terang saya tidak tahu
persis, apakah waktu itu saya hanya dijadikan bahan praktik mengajar,
demonstrasi kemapanan, atau sekedar pembuktian kaliber intelektualitas di depan
pacarnya. Maka jadilah kalau kami sedang ngopi bertiga, saya hanya jadi kambing
congek, bedes kurap, atau monyet yang
sabar mendengar beraneka kuliah gratis dengan bonus kopi, rokok, camilan yang
ditutup penyetan Wonokromo yang pedas.
Hidangan penyetan pedas, teh
tawar, ditutup sebatang rokok sudah cukup mampu menghilangkan kelelahan
lantaran berjam-jam menjadi monyet yang patuh. Kehangatan teh tawar agak panas
meredakan sakitnya represi tekstual yang saya alami. Tapi sungguh, ada kalanya,
di satu situasi dan kondisi yang tepat manusia memang butuh menerima represi
tekstual; butuh merobek lidah sendiri sampai bisu dan menyiapkan telinga untuk
bersabar mendengar.
Sudah lama sekali saya menghapus
kata represi tekstual dari kamus hidup saya. Penghapusan ini memang sedikit
mengkhawatirkan, tapi yang jelas upaya ini hanya sebagai pagar dan cambuk diri
agar mau mendengar yang orang lain katakan; sesuatu yang Allah kehendaki untuk
saya dengar.
Dan ketika kami saling
berpamitan, dia akan langsung membuat janji pertemuan di kemudian hari. Mungkin
dia tak sabar dengan pertemuan selanjutnya. Saya merasa datar sambil senyum
(yang krik-krik) di atas motor menuju rumah.
Demikian sekelumit kisah soal
masa lalu pak dosen asal Lumajang ini.
Dan pria yang menelpon saya hari
ini memang jelas berbeda dengan orang yang pernah saya kenal bertahun-tahun
silam.
Ia mengeluhkan perubahan yang
terjadi di dalam dirinya. Jurang gelap dan dalam yang terdekat bagi para orator
adalah menjilat ludah sendiri. Ia sampaikan ketergerusan jiwanya; keyakinannya
yang dibuat keropos dan diganti dengan kembang-kembang kertas baru di mana ia
mau tidak mau harus terus hidup di sana.
Ironi terbesar dalam hidupnya
adalah hidup, makan, tidur, berak dan mengajar sesuatu yang pernah ia bantah
mati-matian. Ia pernah mencoba keluar pakem; menyatakan apa yang dianggapnya
paling benar dan itu semua berakhir dengan teguran. Menyebarkan apati di dunia
pendidikan itu dosa besar bagi tuhan kecil universitas. Cita-citanya dibuat
gembos tanpa sanggup melawan. Kondisi internal keluarganya yang tak dapat
dibahas di sini, membuatnya mau tidak mau bertahan.
Seperti biasa, sebelum saya
menanggapi curhatannya dia sudah skak saya dulu, “aku mung pengen dirungokno, Cit (aku hanya ingin didengarkan,
Cit).” Maka bhaaaeklah kuping saya
masih tetap siap seperti dulu.
(satu jam
pertama)
Teman saya: Selamanya pendidikan di Indonesia adalah sampah bila tak mampu jadi mata bor penggali jati diri. Dan output pendidikan hanya serangkaian seremonial yang menunjukkan betapa kita adalah bekas pelecehan seksual dan akal sehat oleh kolonial. Cok… Jancok…
Saya: manggut-manggut.
(hampir dua jam)
Teman saya: Menjadi pembimbing skripsi juga gitu. Apalagi jadi penguji, ndak meluluskan disindir dan dikatai kalau saya ini terlalu keras. Saya ndak peduli dan tak toleran lantas ditegur agar bisa lebih lunak. Taek!
Saya: Hahahaha… Masak gitu?
Teman saya: Di universitas saya tak bisa mendidik, maka saya hanya mengajar dengan benar, disiplin, dan keras. Leluhur kita bukan orang lembek; mereka ditempa dengan keras dari pengajaran langsung dan langsung praktik di kehidupan nyata. Mahasiswa sekarang hanya belajar di kelas, sementara pelajaran dari kenyataan hidup dihindari karena sibuk PUBG, ML, dan senang-senang.
Saya: hahahaha.
Teman saya: “Iya cok-cook! Ancene asu (memang anjing).”
Saya:
“Hahaha…” *lagi
Tiba-tiba telepon mati. Kawan saya mengabari, kalau dia kedatangan tamu.
***
Berhari-hari muntahan sekelompok
pemuda tadi belum kubersihkan. Saya sengaja tidak membersihkan dulu karena para
bromocorah ini muntah satu jam sekali. Saya pun tak menunggu para pemuda ini
berusaha membersihkan muntahan mereka sendiri. Karena setiap kali mereka
muntah, beberapa di antara mereka semakin terpacu untuk minum. Berbotol-botol
minuman didatangkan, bahkan lebih banyak dari sebelumnya.
Para sontoloyo ini yakin: semakin
banyak dan sering minum, semakin rendah itensitas muntah.
Kalau mereka yakin dengan
anggapan mereka soal ini, saya bisa apa?
Leleran muntahan bercampur dengan
bekas bungkus camilan teman minum berceceran di dada saya. Sementara obrolan
mereka semakin tinggi dan terasa sulit kugapai. Saya dibuat geleng-geleng
kepala dengan situasi ini. Ini zaman model apa? Atas tulah dan dosa yang mana
sehingga mereka hadir dalam hidup saya.
Saya bongkar-bongkar kembali
catatan harian saya. Dosa-dosa saya yang segunung itu tercatat semua dengan
rapi.
”Ayoh, silahkan berbuat onar
semampu kalian di tubuh saya. Atau hanya segini saja chaos yang bisa kalian ciptakan di tubuh ini?”
Di antara upaya saya takabur atas
penderitaan, saya tak bisa menafikan tumpukan sampah itu makin menggunung.
Bebauan busuk di tubuh saya pada akhirnya melahirkan sesak napas yang panjang.
Omong tinggi soal zaman di telinga saya seperti memberi sensasi menghirup abu
vulkanik: terasa tajam di paru-paru. Sudah sesak ditimpa omong kosong. Lengkap
sudah.
Apa ini yang namanya corona?
Ya, baik sangka dan mendengar
adalah jalan panjang yang harus ditempuh; sebuah upaya bertahan dari rasa
sesak.
Ketika paru-paru eksistensi
dihimpit dan tak bisa napas, saat itu manusia meronta-ronta ingin bebas, ingin
bicara. Dan upaya menghayati mengapa manusia punya dua mata, dua telinga dan
satu mulut itu susah.
Kelapa
Dua, Rabu Pahing, 1 April 2020
Citra D.
Vresti Trisna
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.