(Perihal Mendengarkan 2)
Sudah sejak lama saya
mempersilakan sekelompok pemabuk itu bertamu di tubuh saya. Membiarkan mereka
berbuat apa saja seenak udel—adalah keputusan yang bulat. Bisik-bisik dalam
batin saya berkata: ini adalah sebagian dari “tirakat”. Meski saya curiga
dengan bisikan itu, maka saya pungkas semua dengan istighfar agar sabar.
Tapi, ya, kalau sempat ada rasa
kesal yang merambat di sela batin lantaran ulah mereka itu hanya sebuah penanda
bila saya ini masih manusia. Mahluk yang GR dan merasa mampu menyensor hal-hal yang
perlu saya dengar dan yang tidak.
Perihal “mendengar”, saya yakin
ini bukan tema baru. Segala yang berkaitan dengan mendengar telah dikupas
tuntas di berbagai disiplin ilmu, terlebih filsafat, jauh sebelum saya lahir.
Di dalam filsafat sudah sering
disebut: semua mahluk yang memiliki alat (indra) pendengaran dan tidak tuli
pasti dapat mendengar.
Tapi lebih jauh dari itu, ada
perbedaan mendasar di sini: “mendengar” dan “mendengarkan”, dua hal yang nampak
sama namun berlainan. Dan setiap orang yang mendengar belum tentu mendengarkan.
Bagi saya, mendengarkan itu lebih dari proses alamiah ketika telinga (bagian
tubuh manusia untuk mendengar) menerima getaran gelombang suara.
“Mendengarkan” adalah jalan
panjang setelah seseorang mampu mendengar. Di dalam mendengarkan, ada proses
mencerna, mengingat, berpikir (menganalisis), kemudian berlanjut pada respon.
Kalau si Heraclitos, filsuf
sombong, itu mampu berkata, ”mendengar adalah sikap bijaksana untuk
setuju-menyetujui,” mengapa saya—yang menganggap diri saya tak sombong—tak
mampu mendengarkan dengan lebih baik darinya; lebih ekstrem.
Meski di sebalik hati saya yang
lain, saya tak yakin-yakin banget
kalau si Heraclitos benar-benar mampu untuk mendengarkan,
tapi, ya, baik sangka sajalah.
Soal mendengar, kebetulan sekali,
jelek-jelek begini saya adalah mantan mahasiswa komunikasi. Meski saya tak
bangga untuk hal itu, yang jelas, saya yakin bila tema utama komunikasi adalah mendengarkan, bukan bicara.
Dan seingat saya, di lingkar
universitas tempat saya dulu belajar, mendengarkan
bukan jadi tema sentral. Bahkan, di momentum akhir sebelum saya benar-benar
meninggalkan kampus itu, seorang dosen yang saya pikir sangat mampu mendengar,
ternyata tak lebih dari pria rewel bertelinga ekslusif.
Saya tinggalkan kampus itu dengan
tawa terkekeh yang panjang.
Rasa cinta yang gagal saya kelola
dengan baik itu berubah jadi perasaan geli. Mungkin hanya kampus ini yang
memberikan saya banyak pengalaman ajaib.
Saya masih ingat, sewaktu masih
kuliah, ada beberapa dosen yang ingin mengubah kami menjadi “modern”. Entah
setan apa yang merasukinya? Mungkin waktu itu ia berpikir, dengan menyuruh kami
berjas dan berdasi, maka simsalabim jadilah manusia modern.
Tapi, kembali lagi kalau hari ini
saya harus berbaik sangka, ya, bagaimana, ya. Mungkin waktu itu ia ingin
mengubah kami sekumpulan orang-orang udik yang gagap ini jadi sedikit punya
nyali untuk “bicara”.
Trunojoyo Madura, “peradaban”
kecil yang nanggung, di dalamnya ada sekumpulan mahasiswa yang ingin tampil dan
bicara. Dan setelah mereka keluar dari pentas teater kecil di kampus sunyi;
mereka menjalani hidup dan melihat kenyataan: mereka tetap saja udik dan
minder. Sebagai bentuk protes, di hari pertama diinstruksikan masuk kelas harus
berdasi, saya dan seorang kakak kelas mencoba melawan: saya pakai jeans robek
dengan kaus dan jaket warna hijau.
Waktu itu pak dosen bertanya,
“mengapa tidak pakai baju seperti yang lain?”
“Tidak ada gunanya, Pak.” Jawab
saya, ketus.
Saya lupa bagaimana awalnya, yang
jelas dia bertanya mengenai fungsi dasi. Saat itu juga saya katakan dengan
tegas: pencekik leher!
Dosen itu tak melawan, ia
membenahkan. Waktu itu ia bercerita tentang apa guna dasi. Entah dari mana ia
ambil cerita itu, tapi saya tidak peduli. Dosen itu kembali melanjutkan kuliah
dan membiarkan saya duduk di bangku paling depan dengan kakak kelas di antara
seluruh kelas yang menggunakan stelan jas rapi.
Menjadi modern atau tidak itu
pilihan. Dan paling tidak, saran saya, kalau hendak menjadi modern dan ingin menjadi
kebutuhan dunia kerja, paling tidak, ya, mbok
“mendengarkan” dulu bagaimana manusia yang dianggap modern itu; “mendengarkan”
sembari melihat langsung seperti apa perubahan sarjana-sarjana siap saji itu
setelah masuk di dunia kerja.
Seandainya mereka diajar
mendengar terlebih dulu seperti apa jerit sarjana-sarjana disembelih nuraninya
oleh dunia kerja, mungkin kami semua ini menjerit, minta pulang dan ganti
jurusan tata boga.
Bila saya katakan bahwasannya,
mendengar adalah tema utama komunikasi, itu tidak lantas “mendengarkan”
benar-benar jadi “kebutuhan sejati” seorang manusia. Mungkin Stephen R. Covey
ada benarnya. Menurut dia, kebanyakan orang tidak mendengarkan dengan tujuan
untuk memahami; mereka mendengarkan dengan intensi membalas ucapan pihak lawan
bicara.
Kalau demikian adanya, bajingan
dan maling uang rakyat pun mendengarkan. Pikiran mereka berjalan, menganalisis,
mencari celah untuk dapat memuluskan niatnya. Bila apa yang dikatakan Covey
benar, tentu saja “mendengarkan” bukan lagi urusan subjek; urusan baik-buruk komunikator. Mendengarkan hanya jembatan
interaksi terjadi dengan wajar, tanpa noise, dan tujuan dari pihak yang
berkomunikasi tersebut sama-sama terakomodasi.
Saya tetap yakin bila mendengarkan itu jauh
lebih kompleks dibanding mendengarkan seperti yang Covey katakan; sesuatu yang
sifatnya masih bergantung pada untung-rugi. Dan saya tak yakin, Covey bakal
mentolelir bila perkara mendengarkan bukan sekedar membalas lawan bicara.
Misalnya, mendengarkan dengan baik apa yang alam katakan lewat tanda-tandanya,
lewat sapuan angin di deras hujan, suara burung-burung ketika pamit
meninggalkan rumahnya di kedalaman hutan yang mulai gundul.
Bahkan, mungkin ia akan
menganggap mendengar sekumpulan pemabuk yang sedang berdiskusi di tubuh kita.
Ya, saya tetap yakin, bila mendengar bukan seperti pekerjaan jurnalis yang
mendengar, merekam omongan narasumber untuk disampaikan kembali dalam bentuk
berita. Lalu yang menyebalkan, tiba-tiba perusahaan media tersebut mengklaim
bila dirinya sudah mampu mendengarkan amanat yang terkandung dalam hati nurani
rakyat.
Mendengarkan itu proses yang
“ramai” di dalam “sunyi”—yang kalau diteruskan—melahirkan sesuatu yang “suci”.
Kalau memang perusahaan media itu melahirkan sesuatu yang suci, lalu untuk apa
mereka repot-repot menggaji redakturnya untuk mengolah berita yang mereka
dapatkan agar sesuai dengan kepentingan sang bos.
Mendengar juga bukan sebagaimana
yang humas perusahaan lakukan ketika ada sekumpulan warga yang berdemo di depan
kantor; di mana kata-kata yang mereka dengarkan itu diolah sedemikian rupa agar
dapat melihat peluang perusahaannya bebas dari kesalahan dan nama perusahaan
tetap bersih.
Ya, mungkin ini sudah jadi
sesuatu yang saya jalani. Karena semasa kuliah saya tak mampu benar-benar
mendengar, maka jadilah saat ini saya dipaksa mendengarkan sekumpulan pemabuk
dengan omong besar. Dan sembari menemani mereka terus mabuk dan mengoceh, sesuatu
di dalam diri saya terus bertanya dan mengejar: ”apa yang mereka sampaikan
tidak berguna hingga kau begitu jengkel dengan mereka?”
”Kau sendiri yang memutuskan
untuk berhenti mendengar omong kosong televisi dan beralih untuk mendengar dan
menghikmahi apa yang Al Qur’an sampaikan. Kau sendiri yang menceritakan padaku
kalau kau sudah pusing dikepung berita-berita di televisi, yang bagimu, tak
lebih dari kotoran kambing. Dulu, berita politik di televisi itu kau sebut s
infotaimen badut; rombongan bodor merangkap tanda
bedes (komedi topeng monyet) binaan Om HuJok Dodojaitan.”
”Sekarang, kalau ada sekumpulan
orang yang datang bertamu, bisakah kau pastikan bila bukan gusti Allah yang
mengirim mereka padamu? Atau bahkan mungkin Gusti Allah sendiri yang sedang
bertamu? Dan kembali lagi soal Al Qur’an, apa kau tahu di dalamnya juga teramat
sering menyinggung soal “mendengar” dan “mengetahui”. Dalam hal ini mendengar selalu disebut lebih dulu
ketimbang mengetahui. Bila kau anggap
penting hal ini, bukankah semestinya kau mulai mendengarkan dulu apa yang
mereka katakan. Soal ke mana arah omong kosong mereka, kau akan tahu kemudian;
akan dihikmahi kemudian. Dan bila Allah yang mendatangkan mereka padamu, tentu
saja Ia ingin memaksamu mendengar sesuatu yang tak kau ingin. Sesuatu yang kau
nilai buruk menurutmu. Sesuatu yang sejak dulu selalu berusaha kau hindari.”
”Kalau saya lihat, kau hanya
sedikit tak bisa bersabar mendengar apa yang pemabuk itu katakan. Kau juga
kurang santuy mendengar tanda bedes Om Hujok Dodojaitan. Kalau maqam kau kurang kuat, saksikan tanda bedes itu usai sholat agar batinmu
senantiasa dikuatkan. Agar tak membuat konslet jutaan syaraf di otakmu. Ndak masalah kok aslinya menyaksikan tanda
bedes itu, asal di momen yang pas; wirid penguatan batin yang tak putus-putus
kau baca. Kasian juga kalau Om Hujok gak ada yang menonton. Ya, meski (mungkin)
si doi lebih seneng kalian ndak usah
nonton tv, nurut, ndak nyangkem, RUU Cilaka tetap jalan.”
”Baiklah, ampun! Ampun! Ya,
sudah. Sekarang saya akan berfokus mendengarkan mereka. Sudah, sudah… Kau diam.
Agar saya bisa memusatkan perhatian pada apa yang mereka katakan.” Protes saya
pada suara itu.
”Ah, kau. Memutuskan mendengarkan
mereka tapi sekarang berusaha jadi new
orba yang hendak menghalangi kebebasan bicara.”
”Ampun Om Hujok Dodojaitan!”
Citra
D. Vresti Trisna
Kelapa
Dua, Jakarta
Minggu
Pon, April 2020
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.