Laman

Minggu, 12 April 2020

Kenangan Kuliah & Tanda Bedes Om Hujok Dodojaitan

(Perihal Mendengarkan 2)


Sudah sejak lama saya mempersilakan sekelompok pemabuk itu bertamu di tubuh saya. Membiarkan mereka berbuat apa saja seenak udel—adalah keputusan yang bulat. Bisik-bisik dalam batin saya berkata: ini adalah sebagian dari “tirakat”. Meski saya curiga dengan bisikan itu, maka saya pungkas semua dengan istighfar agar sabar.
Tapi, ya, kalau sempat ada rasa kesal yang merambat di sela batin lantaran ulah mereka itu hanya sebuah penanda bila saya ini masih manusia. Mahluk yang GR dan merasa mampu menyensor hal-hal yang perlu saya dengar dan yang tidak.
Perihal “mendengar”, saya yakin ini bukan tema baru. Segala yang berkaitan dengan mendengar telah dikupas tuntas di berbagai disiplin ilmu, terlebih filsafat, jauh sebelum saya lahir.
Di dalam filsafat sudah sering disebut: semua mahluk yang memiliki alat (indra) pendengaran dan tidak tuli pasti dapat mendengar.
Tapi lebih jauh dari itu, ada perbedaan mendasar di sini: “mendengar” dan “mendengarkan”, dua hal yang nampak sama namun berlainan. Dan setiap orang yang mendengar belum tentu mendengarkan.
Bagi saya, mendengarkan itu lebih dari proses alamiah ketika telinga (bagian tubuh manusia untuk mendengar) menerima getaran gelombang suara.
“Mendengarkan” adalah jalan panjang setelah seseorang mampu mendengar. Di dalam mendengarkan, ada proses mencerna, mengingat, berpikir (menganalisis), kemudian berlanjut pada respon.
Kalau si Heraclitos, filsuf sombong, itu mampu berkata, ”mendengar adalah sikap bijaksana untuk setuju-menyetujui,” mengapa saya—yang menganggap diri saya tak sombong—tak mampu mendengarkan dengan lebih baik darinya; lebih ekstrem.
Meski di sebalik hati saya yang lain, saya tak yakin-yakin banget kalau si Heraclitos benar-benar mampu untuk mendengarkan, tapi, ya, baik sangka sajalah.
Soal mendengar, kebetulan sekali, jelek-jelek begini saya adalah mantan mahasiswa komunikasi. Meski saya tak bangga untuk hal itu, yang jelas, saya yakin bila tema utama komunikasi adalah mendengarkan, bukan bicara.
Dan seingat saya, di lingkar universitas tempat saya dulu belajar, mendengarkan bukan jadi tema sentral. Bahkan, di momentum akhir sebelum saya benar-benar meninggalkan kampus itu, seorang dosen yang saya pikir sangat mampu mendengar, ternyata tak lebih dari pria rewel bertelinga ekslusif.
Saya tinggalkan kampus itu dengan tawa terkekeh yang panjang.

Rasa cinta yang gagal saya kelola dengan baik itu berubah jadi perasaan geli. Mungkin hanya kampus ini yang memberikan saya banyak pengalaman ajaib.
Saya masih ingat, sewaktu masih kuliah, ada beberapa dosen yang ingin mengubah kami menjadi “modern”. Entah setan apa yang merasukinya? Mungkin waktu itu ia berpikir, dengan menyuruh kami berjas dan berdasi, maka simsalabim jadilah manusia modern.
Tapi, kembali lagi kalau hari ini saya harus berbaik sangka, ya, bagaimana, ya. Mungkin waktu itu ia ingin mengubah kami sekumpulan orang-orang udik yang gagap ini jadi sedikit punya nyali untuk “bicara”.
Trunojoyo Madura, “peradaban” kecil yang nanggung, di dalamnya ada sekumpulan mahasiswa yang ingin tampil dan bicara. Dan setelah mereka keluar dari pentas teater kecil di kampus sunyi; mereka menjalani hidup dan melihat kenyataan: mereka tetap saja udik dan minder. Sebagai bentuk protes, di hari pertama diinstruksikan masuk kelas harus berdasi, saya dan seorang kakak kelas mencoba melawan: saya pakai jeans robek dengan kaus dan jaket warna hijau.
Waktu itu pak dosen bertanya, “mengapa tidak pakai baju seperti yang lain?”
“Tidak ada gunanya, Pak.” Jawab saya, ketus.
Saya lupa bagaimana awalnya, yang jelas dia bertanya mengenai fungsi dasi. Saat itu juga saya katakan dengan tegas: pencekik leher!
Dosen itu tak melawan, ia membenahkan. Waktu itu ia bercerita tentang apa guna dasi. Entah dari mana ia ambil cerita itu, tapi saya tidak peduli. Dosen itu kembali melanjutkan kuliah dan membiarkan saya duduk di bangku paling depan dengan kakak kelas di antara seluruh kelas yang menggunakan stelan jas rapi.
Menjadi modern atau tidak itu pilihan. Dan paling tidak, saran saya, kalau hendak menjadi modern dan ingin menjadi kebutuhan dunia kerja, paling tidak, ya, mbok “mendengarkan” dulu bagaimana manusia yang dianggap modern itu; “mendengarkan” sembari melihat langsung seperti apa perubahan sarjana-sarjana siap saji itu setelah masuk di dunia kerja.
Seandainya mereka diajar mendengar terlebih dulu seperti apa jerit sarjana-sarjana disembelih nuraninya oleh dunia kerja, mungkin kami semua ini menjerit, minta pulang dan ganti jurusan tata boga.
Bila saya katakan bahwasannya, mendengar adalah tema utama komunikasi, itu tidak lantas “mendengarkan” benar-benar jadi “kebutuhan sejati” seorang manusia. Mungkin Stephen R. Covey ada benarnya. Menurut dia, kebanyakan orang tidak mendengarkan dengan tujuan untuk memahami; mereka mendengarkan dengan intensi membalas ucapan pihak lawan bicara.
Kalau demikian adanya, bajingan dan maling uang rakyat pun mendengarkan. Pikiran mereka berjalan, menganalisis, mencari celah untuk dapat memuluskan niatnya. Bila apa yang dikatakan Covey benar, tentu saja “mendengarkan” bukan lagi urusan subjek; urusan baik-buruk komunikator. Mendengarkan hanya jembatan interaksi terjadi dengan wajar, tanpa noise, dan tujuan dari pihak yang berkomunikasi tersebut sama-sama terakomodasi.
 Saya tetap yakin bila mendengarkan itu jauh lebih kompleks dibanding mendengarkan seperti yang Covey katakan; sesuatu yang sifatnya masih bergantung pada untung-rugi. Dan saya tak yakin, Covey bakal mentolelir bila perkara mendengarkan bukan sekedar membalas lawan bicara. Misalnya, mendengarkan dengan baik apa yang alam katakan lewat tanda-tandanya, lewat sapuan angin di deras hujan, suara burung-burung ketika pamit meninggalkan rumahnya di kedalaman hutan yang mulai gundul.
Bahkan, mungkin ia akan menganggap mendengar sekumpulan pemabuk yang sedang berdiskusi di tubuh kita. Ya, saya tetap yakin, bila mendengar bukan seperti pekerjaan jurnalis yang mendengar, merekam omongan narasumber untuk disampaikan kembali dalam bentuk berita. Lalu yang menyebalkan, tiba-tiba perusahaan media tersebut mengklaim bila dirinya sudah mampu mendengarkan amanat yang terkandung dalam hati nurani rakyat.
Mendengarkan itu proses yang “ramai” di dalam “sunyi”—yang kalau diteruskan—melahirkan sesuatu yang “suci”. Kalau memang perusahaan media itu melahirkan sesuatu yang suci, lalu untuk apa mereka repot-repot menggaji redakturnya untuk mengolah berita yang mereka dapatkan agar sesuai dengan kepentingan sang bos.
Mendengar juga bukan sebagaimana yang humas perusahaan lakukan ketika ada sekumpulan warga yang berdemo di depan kantor; di mana kata-kata yang mereka dengarkan itu diolah sedemikian rupa agar dapat melihat peluang perusahaannya bebas dari kesalahan dan nama perusahaan tetap bersih.
Ya, mungkin ini sudah jadi sesuatu yang saya jalani. Karena semasa kuliah saya tak mampu benar-benar mendengar, maka jadilah saat ini saya dipaksa mendengarkan sekumpulan pemabuk dengan omong besar. Dan sembari menemani mereka terus mabuk dan mengoceh, sesuatu di dalam diri saya terus bertanya dan mengejar: ”apa yang mereka sampaikan tidak berguna hingga kau begitu jengkel dengan mereka?”
”Kau sendiri yang memutuskan untuk berhenti mendengar omong kosong televisi dan beralih untuk mendengar dan menghikmahi apa yang Al Qur’an sampaikan. Kau sendiri yang menceritakan padaku kalau kau sudah pusing dikepung berita-berita di televisi, yang bagimu, tak lebih dari kotoran kambing. Dulu, berita politik di televisi itu kau sebut s infotaimen badut; rombongan bodor merangkap tanda bedes (komedi topeng monyet) binaan Om HuJok Dodojaitan.”
”Sekarang, kalau ada sekumpulan orang yang datang bertamu, bisakah kau pastikan bila bukan gusti Allah yang mengirim mereka padamu? Atau bahkan mungkin Gusti Allah sendiri yang sedang bertamu? Dan kembali lagi soal Al Qur’an, apa kau tahu di dalamnya juga teramat sering menyinggung soal “mendengar” dan “mengetahui”. Dalam hal ini mendengar selalu disebut lebih dulu ketimbang mengetahui. Bila kau anggap penting hal ini, bukankah semestinya kau mulai mendengarkan dulu apa yang mereka katakan. Soal ke mana arah omong kosong mereka, kau akan tahu kemudian; akan dihikmahi kemudian. Dan bila Allah yang mendatangkan mereka padamu, tentu saja Ia ingin memaksamu mendengar sesuatu yang tak kau ingin. Sesuatu yang kau nilai buruk menurutmu. Sesuatu yang sejak dulu selalu berusaha kau hindari.”
”Kalau saya lihat, kau hanya sedikit tak bisa bersabar mendengar apa yang pemabuk itu katakan. Kau juga kurang santuy mendengar tanda bedes Om Hujok Dodojaitan. Kalau maqam kau kurang kuat, saksikan tanda bedes itu usai sholat agar batinmu senantiasa dikuatkan. Agar tak membuat konslet jutaan syaraf di otakmu. Ndak masalah kok aslinya menyaksikan tanda bedes itu, asal di momen yang pas; wirid penguatan batin yang tak putus-putus kau baca. Kasian juga kalau Om Hujok gak ada yang menonton. Ya, meski (mungkin) si doi lebih seneng kalian ndak usah nonton tv, nurut, ndak nyangkem, RUU Cilaka tetap jalan.”
”Baiklah, ampun! Ampun! Ya, sudah. Sekarang saya akan berfokus mendengarkan mereka. Sudah, sudah… Kau diam. Agar saya bisa memusatkan perhatian pada apa yang mereka katakan.” Protes saya pada suara itu.
”Ah, kau. Memutuskan mendengarkan mereka tapi sekarang berusaha jadi new orba yang hendak menghalangi kebebasan bicara.”
”Ampun Om Hujok Dodojaitan!”

Citra D. Vresti Trisna      
Kelapa Dua, Jakarta
Minggu Pon, April 2020

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.