Ini sampahnya... |
(Perihal Mendengarkan
4)
Konon “tulah” bagi manusia yang
menghibahkan dirinya menjadi keranjang sampah bagi manusia lainnya adalah
dihantui gambaran masa depan seumur hidup.
Benarkah
demikian?
Kalau sekarang ada yang bertanya:
mengapa semasa “muda”, saya suka mendem?
Tentu saja akan saya jawab: mengendornya sedikit syaraf meredakan rasa takut
saya pada gambaran masa depan yang kelewat jauh dan nakal. Lalu, apakah saya
takut pada masa depan? Ya, tidak juga! Yang saya maksud dengan “takut” di sini
adalah gambaran masa depan yang datang lebih dulu ketimbang realitasnya. Dan
yang mengerikan, gambaran itu benar-benar terjadi.
Apakah saya menasbihkan diri
menjadi seorang futurolog? Tidak! Saya tidak punya potongan untuk itu.
Alanlisa saya amburadul, mata
saya terlalu minus untuk memelototi zaman. Hidung saya pun juga kerap
bermasalah dan akhir-akhir ini sering pilek dan terus meler. Jangankan untuk mengendus berbagai gejala di pikiran dan
hati lawan bicara, melacak bau bangkai tikus di departemen otak saya sendiri
saja susah. Lalu apa? Peramal? Nah ini apalagi! Kalau saya peramal tokcer dan
penebak angka buntutan berdarah dingin, tentu saja saya sudah sukses di berbagai
sekala perjudian hidup. Dan yang terpenting saya tidak harus menulis beraneka
catatan tidak penting ini.
Lalu apa yang sebenarnya saya
alami? Sekelumit cerita saya ini (semoga) bisa memberi Anda gambaran:
Duka si
Sudrun
Di suatu hari yang nggateli, seorang kawan mampir ke kos
dan membuat kebisingan di kuping saya dengan kutipan dari Mbah Tejo. ”Menikah
itu nasib dan mencintai itu takdir. Kau bisa menikahi siapapun tapi tak bisa
mentukan cintamu untuk siapa!” Ujar (sebut saja Sudrun) ini dengan gaya
teatrikal. Sepertinya si Sudrun ini sedang tergila-gila dengan kata Mbah Tejo.
Karena Sudrun sudah memberi saya
“jatah” cerita bahagia dengan kekasihnya, maka saya dengarkan ocehannya sembari
mengantuk.
”Pakde, di sekali hidup ini aku
adalah manusia yang hampir beruntung. Aku mendapat perempuan yang bisa aku
cintai. Setelah menikahninya, hidupku akan lengkap.” Katanya.
Saya hanya tertawa pendek
mendengar kata-katanya. Saat itu, di sela rasa kantuk dan kesadaran yang hampir 20 watt, saya lihat
sebuah gambaran si Sudrun sesegukan menangisi kekasihnya. Dan seketika itu juga
saya palingkan muka dan melihat ke lantai.
Tidak tega rasanya melihat
manusia cengengesan satu ini menangis seperti itu. Tapi, waktu itu saya diam,
meski sedikit terbersit keinginan menasihati si Sudrun agar jangan terlalu
cengengesan. Tapi, saya urungkan nasihat itu.
Usai kejadian itu, hubungan
Sudrun ini sudah semakin jauh. Sudrun pun sudah datang ke orang tua perempuan
yang ia cintai, dan disetujui. Ia hanya tinggal membawa orang tua di kampung
datang ke rumah kekasih dan urusan lamaran akan beres. Mendengar ini, saya ikut
senang. Dan apa yang saya lihat beberapa waktu lalu telah saya buang ke kali.
Tapi namanya juga nasib, kadang
kelewatan kalau bergurau. Dan lhadalah
Beberapa saat sebelum Sudrun membawa rombongan orang tuanya ke rumah si gadis.
Calon meretuanya itu mendadak bersikap keras dan menolak menikahkan anaknya
dengan si Sudrun.
Penolakan itu pun sunyi; hampir tak
berjawab mengapa bapak si gadis berubah pikiran. Berkali-kali si Sudrun datang
ke rumbah si gadis. Jangankan bisa ngomong dengan calon meretua, si gadis pun makin
susah dihubungi. Dan saya, lagi-lagi jadi pihak yang mesti ngemong; mengelus-elus bahunya. Memijitnya tengkuknya ketika si
Sudrun menangis sampai muntah-muntah, masuk angin dan demam.
Sepulang kerja, saya selalu
menyempatkan mampir ke indekos Sudrun di Jagakarsa. Meski tidak lama, paling
tidak saya tahu si Sudrun aman dan tidak berupaya untuk tapa moksa. Dan di
suatu sore, waktu saya berkunjung, saya lihat kondisi Sudrun memang sudah lebih
baik dibanding sebelum-sebelumnya. Dan saat itu saya ceritakan apa yang pernah
saya lihat waktu main ke kos saya.
Selama cerita, si Sudrun tak
menanggapi. Hanya matanya saja yang nampak tajam mengikuti saya yang mencari
tempat untuk duduk. Setelah membereskan beberapa botol-botol air mineral yang
berserakan, barulah saya bisa duduk dan melanjutkan cerita saya.
Sudrun masih tenggelam dalam
kebisuan. Ia nampak lebih tua dari biasanya. Terlebih ketika ia mengenakan
kemeja hitam dan sarung berwarna gelap. Dalam kebisuan ia urut kakinya yang
selonjoran di lantai. Mungkin ia lelah karena seharian bekerja. Mungkin juga ia
lelah dengan nasib yang menimpanya.
Saya sodorkan rokok. Sudrun hanya
menggeleng. Tapi, melihat saya membuat bulatan-bulatan dari asap rokok ke
udara, mungkin si Sudrun ingin melakukannya juga. Ia ambil sebatang dan memulai
obrolan.
”Si kae, jange rabi. Aku dikandani kancane. Jancuuuuk jancuuuuk asuuuu
bajinggaaaan.” Kata Sudrun.
Dan tangis pun pecah!
Karena bingung mesti bagaimana,
saya hanya menonton ia menangis. Kalau sudah begitu si Sudrun sudah tidak akan
bisa dibujuk dengan ngopi, keluar, main PS. Beberapa bulan berikutnya, ketika
kekasih Sudrun menikah, saya tidak meninggalkannya sendiri. Saya bawa ia ke
kos, saya urus bayi tua itu dan menuruti apa maunya agar tak terlalu menderita.
*
Sudrun memang bukan orang
pertama. Sebelumnya, sudah ada sudrun-sudrun lain yang telah saya lihat.
Prosesnya hampir sama, kilatan itu datang, sebuah gambaran seperti film lama
yang kasetnya mulai rusak; terkadang buram, terkadang jelas dan beberapa waktu kemudian film itu terjadi. Apa
yang saya lihat tentu bukan hanya soal cinta. Tapi, jujur saja, beban di batin
untuk gambaran soal cinta orang lain tidak seberat bila menyangkut soal lain
yang lebih prinsipil: soal pilihan hidup, rumah tangga, bahkan terkadang
hidup-mati.
Apakah saampai sini Anda bisa
memahami mengapa dulu saya doyan mendem?
Seorang perempuan datang di
kehidupan saya. Ia meminta dengan sangat halus agar saya menghentikan kebiasaan
buruk mabok. Ya, saya ikuti kata-katanya lantaran saya menganggap dia penting.
Dan untuk menuju ke sana, tentu saja saya butuh dalih yang tepat ke diri saya
sendiri agar bisa cuek dengan apa yang saya lihat. Bila gambaran itu tiba, saya
akan segera membatin, ”toh apa yang
saya lihat adalah perkara orang lain, bukan diri sendiri.”
Ini cukup berhasil! Tapi, setelah
budaya satu sloki atau bersloki-sloki otomatis berhenti total, ternyata
kelebatan masa depan itu bukan hanya ke orang lain, tapi juga ke diri saya
sendiri dan juga kekasih. Tak butuh waktu lama dan gambaran tentang diri saya
sendiri dan kekasih terjadi. Di tahun 2016 yang durjana itu, saya dibuat
meradang. Kalau waktu itu saya kepleset sedikit saja, mungkin saya bisa
membunuh orang. Dan untung saja Gusti Allah masih sayang pada saya sehingga hal
itu tidak terjadi.
Memang hal itu tidak terjadi
setiap hari; tidak pula setiap melihat orang lain yang lewat saya lihat
gambarannya. Soal itensitas kedatangan penglihatan itu bisa beragam. Kalau
sudah rutin, biasanya satu bulan bisa delapan sampai sepuluh kali. Kalau sudah
begini, hanya botol lucknut itu yang
bisa mengerti saya. Dan kalau habis mendem,
bisa sampai tiga bulan saya merasa tentram.
Bila tak menenggak satu sloki,
mulut saya bisa kelewat binal dan langsung nyerocos menyebut-nyebut soal
gambaran itu. Saya kisahkan sedikit:
Di masa awal-awal saya mengenal
seorang kawan saya main ke rumahnya. Belum masuk pintu rumahnya, mulut saya
nyerocos soal keluarganya. Saya katakan agar berhati-hati pada adiknya yang
nomor dua, karena akan banyak bikin kengerian di keluarga. Juga adiknya yang
terakhir.
Saya menyuruhnya agar lebih
banyak mencurahkan perhatian ke adiknya yang nomor dua. Tapi, terlambat. Tak
lama setelah saya bicara, kawan saya mengeluhkan soal adiknya yang nomor dua
dan nomor empat. Endingnya, beberapa tahun kemudian, adiknya tertangkap karena
kasus narkoba.
Kemudian beberapa kawan baik,
kerabat, dan bahkan orang yang tak kenal yang kemudian mati di mana sebelum
peristiwa itu terjadi didahului tentang gambaran peristiwa di benak kita. Dan
ketika peristiwa itu tiba sama persis sebagaimana yang berkelebat tanpa sengaja
di pandangan. Apa yang bisa dilakukan agar gambar-gambar mengerikan itu
berhenti menyapa?
Ya, satu sloki cukup! Tapi, bagi
orang yang memutuskan untuk berhenti, tidak ada lagi setetes pun yang boleh
tercecap lidah. Dan sekitar tahun 2013 sampai sekarang, gambaran itu makin
sering datang seiring perpisahan saya dengan miras.
Apa tulah semacam ini
menyakitkan? Entahlah! Soal sakit atau tidak tentu saja sangat relatif. Bicara
soal sakit, saya jadi ingat apa yang Sudrun katakan: ”sakit adalah ketika
merelakan kekasih yang jadi takdirmu menjalani nasibnya dengan orang lain.
Bahagia atau sakit, takdir adalah takdir.”
Dan bagi saya, tak bisa berbuat
banyak mengetahui orang yang kita cintai mendapat hal buruk di kemudian hari
lantaran memilih nasib, tapi kita tak dapat berbuat banyak adalah seburuk-buruk
kenyataan. Bukan lantaran kita tak dapat melakukan sesuatu, tapi kekasih itu telah
memilih nasibnya sendiri. Dan inilah ironi yang benar-benar menyakitkan;
menyesakkan malam-malam saya.
Hidup memang rahasia Gusti Allah.
Saya sepenuhnya yakin, tapi sekelebatan yang ada di depan mata ini adalah tulah
atau cara Tuhan mbombong? Ketika apa
yang nampak itu terjadi dan tak tahu harus berbuat apa, maka saya temani
mereka. Saya pijit tengkuk mereka ketika mereka berada di ujung mabuk; ketika
mereka tak sanggup pulang ke rumah, saya yang mengantar mereka.
Tapi bagaimana jika saya sendiri
yang terluka?
Gusti
Allah Sebaik-baik Tempat Pulang
Kata orang, mendapat gambaran seperti
itu adalah hal lumrah. Ada yang bilang anugerah. Tapi, dari sekian pendapat
itu, yang paling saya ingat adalah yang nampaknya mambu psikologi. Katanya, kejadian semacam ini itu lumrah bagi
orang yang punya concern dalam bidang
mendengar, seperti psikolog misalnya.
Kepingan realitas yang didapat
dari proses mendengarkan inilah yang kemudian dibaca dan dianalisis oleh otak.
Hasil dari proses analisa ini berbentuk gambaran; sejenis slide power point dan
berupa tayangan kejadian. Penggabungan realitas secara alamiah ini juga yang
jadi penyebab percikan listrik di kepala.
Kalau soal mabuk dan urusan urat
kendor, setahu saya, ini hanya salah satu jalan menghambat kepingan-kepingan
fakta yang telah kita dapatkan menyatu dan menjadi satu gambaran baru. Secara
jasad, mabuk memiliki kesanggupan untuk menghambat otak dalam bekerja.
Sedangkan di luar fisik, mabuk adalah salah satu cara mempertebal lapisan kasat
mata yang menghalangi pendar sinyal dari Tuhan ke ubun-ubun manusia.
Bila analisa semacam ini benar,
tentu saja ramalan itu hanya mungkin terjadi pada orang-orang yang
memiliki itensitas curhat tinggi ke kita. Tapi, kalau gambaran kejadian masa
depan itu datang ke orang yang baru ditemui yang sebelumnya tak pernah kita
kenal?
Bagaimana kalau gambaran itu
datang dengan cara yang mengerikan? Seperti misalnya, ketika jalan-jalan sore
dan bertemu tetangga, hidung seperti mencium bau kembang bercampur bau bangkai
yang menyengat, diiringi dengan gambaran dia kejang-kejang menahan sakit
sakaratul maut. Dan dua hari kemudian tetangga itu meninggal.
Kalau ini terjadi sekali mungkin
kebetulan. Kalau ini sudah biasa terjadi dan bahkan sudah sampai tahap
mengikhlaskan lebih dulu nenek saya yang meninggal dan tak lama kemudian, nenek
saya dipanggil. Cukup membuat stres, kan?
Apa ada ilmu psikologi yang sampai ke sini? Kalau ada, (biar keren) kirim di
kolom komentar. Ngahahahaha.
Bila analisa di atas benar, mungkin
itu sebabnya sangat lumrah bila orang sekarang kesal dan bahkan benci
“dicurhati”!
Curhat, apapun jenisnya, baik yang
colongan atau terang-terangan, sama-sama menyebalkan. Kata orang sekarang,
curhatan; jatah cerita; dan segala hal yang berkaitan dengan berbagi kisah
adalah kegiatan “sampah”.
Memang sih, mereka punya hak
menganggap curhatan atau keluh kesah orang lain sebagai sampah. Tapi, kalau
saya dipaksa berbaik sangka, ya, bisa saja saya lakukan. Kalau mereka emoh dengan cerita orang, itu mungkin
karena mereka bukan penganggur sehingga tak punya banyak waktu mendengar. Mungkin
juga curhatan dan jatah cerita itu datang di waktu yang tidak tepat sehingga membuat
kesal orang yang akan mendengarnya. Dan mungkin juga, para calon pendengar ini
sedang banyak masalah sehingga tak sempat mendengar masalah orang lain.
Terlebih lagi bila curhatan itu
datang dari orang-orang buangan; tidak bisa diprospek; tidak menjanjikan link; tidak menjanjikan utang budi yang
menarik. Bisa juga apa yang dicurhatkan orang-orang malang ini tidak memberikan
kebaruan wawasan; kering; hanya seputar masalah-masalah sentimentil yang
sempit.
Kalau kebetulan sedang tak bisa
menghindar dari curhatan orang-orang buangan, mereka tetap mendengarkan dengan
takzim, tapi setelah itu sambil main mata dengan temannya yang lain,
mengeluarkan ekspresi mengolok-olok. Ada juga yang pura-pura mendengar, tapi
istilah Jawanya nanggap.
Ya, sekali lagi saya berbaik
sangka: manusia-manusia yang enggan dicurhati atau anti “sampah” ini sebenarnya
(secara langsung atau tidak) mengingatkan bila Gusti Allah adalah sebaik-baik
tempat untuk berkeluh kesah.
Untuk manusia anti “sampah” di
seluruh dunia: Al Fatihah.
Meski begitu, kerewelan di dalam
diri saya kerap tak bisa diajak kompromi. Begitu sulitnya berbaik sangka dengan
manusia modern yang waktunya terlampau berharga dan mahal itu. Saya masih tak
paham, apakah dalam sekali hidup mereka pernah merenungkan, mengapa para curhaters dan orang-orang semacam Sudrun
itu datang ke mereka, bukan ke orang lain? Mengapa cerita sedih itu datang sekarang
(saat sedang sibuk-sibuknya), bukan datang besok atau kemarin (ketika masih
longgar)? Mengapa yang datang adalah si A (yang kere), bukan si B (pejabat
kelas menengah sampai atau pemodal)?
Melandasi istikomah mendengar dengan niat lillahi ta’ala itu auuuuaaaaabooooot tenan, yakinlah
sumpah!
Citra D.
Vresti Trisna
Kelapa
Dua, April 2020
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.