Laman

Selasa, 21 April 2020

"Ramalan" Masa Depan dan Manusia Anti "Sampah"

Ini sampahnya...

(Perihal Mendengarkan 4)

Konon “tulah” bagi manusia yang menghibahkan dirinya menjadi keranjang sampah bagi manusia lainnya adalah dihantui gambaran masa depan seumur hidup.

Benarkah demikian?

Kalau sekarang ada yang bertanya: mengapa semasa “muda”, saya suka mendem? Tentu saja akan saya jawab: mengendornya sedikit syaraf meredakan rasa takut saya pada gambaran masa depan yang kelewat jauh dan nakal. Lalu, apakah saya takut pada masa depan? Ya, tidak juga! Yang saya maksud dengan “takut” di sini adalah gambaran masa depan yang datang lebih dulu ketimbang realitasnya. Dan yang mengerikan, gambaran itu benar-benar terjadi.

Apakah saya menasbihkan diri menjadi seorang futurolog? Tidak! Saya tidak punya potongan untuk itu.

Alanlisa saya amburadul, mata saya terlalu minus untuk memelototi zaman. Hidung saya pun juga kerap bermasalah dan akhir-akhir ini sering pilek dan terus meler. Jangankan untuk mengendus berbagai gejala di pikiran dan hati lawan bicara, melacak bau bangkai tikus di departemen otak saya sendiri saja susah. Lalu apa? Peramal? Nah ini apalagi! Kalau saya peramal tokcer dan penebak angka buntutan berdarah dingin, tentu saja saya sudah sukses di berbagai sekala perjudian hidup. Dan yang terpenting saya tidak harus menulis beraneka catatan tidak penting ini.

Lalu apa yang sebenarnya saya alami? Sekelumit cerita saya ini (semoga) bisa memberi Anda gambaran:

Duka si Sudrun

Di suatu hari yang nggateli, seorang kawan mampir ke kos dan membuat kebisingan di kuping saya dengan kutipan dari Mbah Tejo. ”Menikah itu nasib dan mencintai itu takdir. Kau bisa menikahi siapapun tapi tak bisa mentukan cintamu untuk siapa!” Ujar (sebut saja Sudrun) ini dengan gaya teatrikal. Sepertinya si Sudrun ini sedang tergila-gila dengan kata Mbah Tejo.

Karena Sudrun sudah memberi saya “jatah” cerita bahagia dengan kekasihnya, maka saya dengarkan ocehannya sembari mengantuk.   

”Pakde, di sekali hidup ini aku adalah manusia yang hampir beruntung. Aku mendapat perempuan yang bisa aku cintai. Setelah menikahninya, hidupku akan lengkap.” Katanya.

Saya hanya tertawa pendek mendengar kata-katanya. Saat itu, di sela rasa kantuk dan  kesadaran yang hampir 20 watt, saya lihat sebuah gambaran si Sudrun sesegukan menangisi kekasihnya. Dan seketika itu juga saya palingkan muka dan melihat ke lantai.


Tidak tega rasanya melihat manusia cengengesan satu ini menangis seperti itu. Tapi, waktu itu saya diam, meski sedikit terbersit keinginan menasihati si Sudrun agar jangan terlalu cengengesan. Tapi, saya urungkan nasihat itu.

Usai kejadian itu, hubungan Sudrun ini sudah semakin jauh. Sudrun pun sudah datang ke orang tua perempuan yang ia cintai, dan disetujui. Ia hanya tinggal membawa orang tua di kampung datang ke rumah kekasih dan urusan lamaran akan beres. Mendengar ini, saya ikut senang. Dan apa yang saya lihat beberapa waktu lalu telah saya buang ke kali.

Tapi namanya juga nasib, kadang kelewatan kalau bergurau. Dan lhadalah Beberapa saat sebelum Sudrun membawa rombongan orang tuanya ke rumah si gadis. Calon meretuanya itu mendadak bersikap keras dan menolak menikahkan anaknya dengan si Sudrun.

Penolakan itu pun sunyi; hampir tak berjawab mengapa bapak si gadis berubah pikiran. Berkali-kali si Sudrun datang ke rumbah si gadis. Jangankan bisa ngomong dengan calon meretua, si gadis pun makin susah dihubungi. Dan saya, lagi-lagi jadi pihak yang mesti ngemong; mengelus-elus bahunya. Memijitnya tengkuknya ketika si Sudrun menangis sampai muntah-muntah, masuk angin dan demam.

Sepulang kerja, saya selalu menyempatkan mampir ke indekos Sudrun di Jagakarsa. Meski tidak lama, paling tidak saya tahu si Sudrun aman dan tidak berupaya untuk tapa moksa. Dan di suatu sore, waktu saya berkunjung, saya lihat kondisi Sudrun memang sudah lebih baik dibanding sebelum-sebelumnya. Dan saat itu saya ceritakan apa yang pernah saya lihat waktu main ke kos saya.

Selama cerita, si Sudrun tak menanggapi. Hanya matanya saja yang nampak tajam mengikuti saya yang mencari tempat untuk duduk. Setelah membereskan beberapa botol-botol air mineral yang berserakan, barulah saya bisa duduk dan melanjutkan cerita saya.  

Sudrun masih tenggelam dalam kebisuan. Ia nampak lebih tua dari biasanya. Terlebih ketika ia mengenakan kemeja hitam dan sarung berwarna gelap. Dalam kebisuan ia urut kakinya yang selonjoran di lantai. Mungkin ia lelah karena seharian bekerja. Mungkin juga ia lelah dengan nasib yang menimpanya.

Saya sodorkan rokok. Sudrun hanya menggeleng. Tapi, melihat saya membuat bulatan-bulatan dari asap rokok ke udara, mungkin si Sudrun ingin melakukannya juga. Ia ambil sebatang dan memulai obrolan.

Si kae, jange rabi. Aku dikandani kancane. Jancuuuuk jancuuuuk asuuuu bajinggaaaan.” Kata Sudrun.

Dan tangis pun pecah!

Karena bingung mesti bagaimana, saya hanya menonton ia menangis. Kalau sudah begitu si Sudrun sudah tidak akan bisa dibujuk dengan ngopi, keluar, main PS. Beberapa bulan berikutnya, ketika kekasih Sudrun menikah, saya tidak meninggalkannya sendiri. Saya bawa ia ke kos, saya urus bayi tua itu dan menuruti apa maunya agar tak terlalu menderita.

*
Sudrun memang bukan orang pertama. Sebelumnya, sudah ada sudrun-sudrun lain yang telah saya lihat. Prosesnya hampir sama, kilatan itu datang, sebuah gambaran seperti film lama yang kasetnya mulai rusak; terkadang buram, terkadang jelas dan  beberapa waktu kemudian film itu terjadi. Apa yang saya lihat tentu bukan hanya soal cinta. Tapi, jujur saja, beban di batin untuk gambaran soal cinta orang lain tidak seberat bila menyangkut soal lain yang lebih prinsipil: soal pilihan hidup, rumah tangga, bahkan terkadang hidup-mati.

Apakah saampai sini Anda bisa memahami mengapa dulu saya doyan mendem?

Seorang perempuan datang di kehidupan saya. Ia meminta dengan sangat halus agar saya menghentikan kebiasaan buruk mabok. Ya, saya ikuti kata-katanya lantaran saya menganggap dia penting. Dan untuk menuju ke sana, tentu saja saya butuh dalih yang tepat ke diri saya sendiri agar bisa cuek dengan apa yang saya lihat. Bila gambaran itu tiba, saya akan segera membatin, ”toh apa yang saya lihat adalah perkara orang lain, bukan diri sendiri.”

Ini cukup berhasil! Tapi, setelah budaya satu sloki atau bersloki-sloki otomatis berhenti total, ternyata kelebatan masa depan itu bukan hanya ke orang lain, tapi juga ke diri saya sendiri dan juga kekasih. Tak butuh waktu lama dan gambaran tentang diri saya sendiri dan kekasih terjadi. Di tahun 2016 yang durjana itu, saya dibuat meradang. Kalau waktu itu saya kepleset sedikit saja, mungkin saya bisa membunuh orang. Dan untung saja Gusti Allah masih sayang pada saya sehingga hal itu tidak terjadi.

Memang hal itu tidak terjadi setiap hari; tidak pula setiap melihat orang lain yang lewat saya lihat gambarannya. Soal itensitas kedatangan penglihatan itu bisa beragam. Kalau sudah rutin, biasanya satu bulan bisa delapan sampai sepuluh kali. Kalau sudah begini, hanya botol lucknut itu yang bisa mengerti saya. Dan kalau habis mendem, bisa sampai tiga bulan saya merasa tentram.

Bila tak menenggak satu sloki, mulut saya bisa kelewat binal dan langsung nyerocos menyebut-nyebut soal gambaran itu. Saya kisahkan sedikit:

Di masa awal-awal saya mengenal seorang kawan saya main ke rumahnya. Belum masuk pintu rumahnya, mulut saya nyerocos soal keluarganya. Saya katakan agar berhati-hati pada adiknya yang nomor dua, karena akan banyak bikin kengerian di keluarga. Juga adiknya yang terakhir.

Saya menyuruhnya agar lebih banyak mencurahkan perhatian ke adiknya yang nomor dua. Tapi, terlambat. Tak lama setelah saya bicara, kawan saya mengeluhkan soal adiknya yang nomor dua dan nomor empat. Endingnya, beberapa tahun kemudian, adiknya tertangkap karena kasus narkoba.

Kemudian beberapa kawan baik, kerabat, dan bahkan orang yang tak kenal yang kemudian mati di mana sebelum peristiwa itu terjadi didahului tentang gambaran peristiwa di benak kita. Dan ketika peristiwa itu tiba sama persis sebagaimana yang berkelebat tanpa sengaja di pandangan. Apa yang bisa dilakukan agar gambar-gambar mengerikan itu berhenti menyapa?

Ya, satu sloki cukup! Tapi, bagi orang yang memutuskan untuk berhenti, tidak ada lagi setetes pun yang boleh tercecap lidah. Dan sekitar tahun 2013 sampai sekarang, gambaran itu makin sering datang seiring perpisahan saya dengan miras.

Apa tulah semacam ini menyakitkan? Entahlah! Soal sakit atau tidak tentu saja sangat relatif. Bicara soal sakit, saya jadi ingat apa yang Sudrun katakan: ”sakit adalah ketika merelakan kekasih yang jadi takdirmu menjalani nasibnya dengan orang lain. Bahagia atau sakit, takdir adalah takdir.” 

Dan bagi saya, tak bisa berbuat banyak mengetahui orang yang kita cintai mendapat hal buruk di kemudian hari lantaran memilih nasib, tapi kita tak dapat berbuat banyak adalah seburuk-buruk kenyataan. Bukan lantaran kita tak dapat melakukan sesuatu, tapi kekasih itu telah memilih nasibnya sendiri. Dan inilah ironi yang benar-benar menyakitkan; menyesakkan malam-malam saya.

Hidup memang rahasia Gusti Allah. Saya sepenuhnya yakin, tapi sekelebatan yang ada di depan mata ini adalah tulah atau cara Tuhan mbombong? Ketika apa yang nampak itu terjadi dan tak tahu harus berbuat apa, maka saya temani mereka. Saya pijit tengkuk mereka ketika mereka berada di ujung mabuk; ketika mereka tak sanggup pulang ke rumah, saya yang mengantar mereka.

Tapi bagaimana jika saya sendiri yang terluka?

Gusti Allah Sebaik-baik Tempat Pulang

Kata orang, mendapat gambaran seperti itu adalah hal lumrah. Ada yang bilang anugerah. Tapi, dari sekian pendapat itu, yang paling saya ingat adalah yang nampaknya mambu psikologi. Katanya, kejadian semacam ini itu lumrah bagi orang yang punya concern dalam bidang mendengar, seperti psikolog misalnya.

Kepingan realitas yang didapat dari proses mendengarkan inilah yang kemudian dibaca dan dianalisis oleh otak. Hasil dari proses analisa ini berbentuk gambaran; sejenis slide power point dan berupa tayangan kejadian. Penggabungan realitas secara alamiah ini juga yang jadi penyebab percikan listrik di kepala.

Kalau soal mabuk dan urusan urat kendor, setahu saya, ini hanya salah satu jalan menghambat kepingan-kepingan fakta yang telah kita dapatkan menyatu dan menjadi satu gambaran baru. Secara jasad, mabuk memiliki kesanggupan untuk menghambat otak dalam bekerja. Sedangkan di luar fisik, mabuk adalah salah satu cara mempertebal lapisan kasat mata yang menghalangi pendar sinyal dari Tuhan ke ubun-ubun manusia.

Bila analisa semacam ini benar, tentu saja ramalan itu hanya mungkin terjadi pada orang-orang yang memiliki itensitas curhat tinggi ke kita. Tapi, kalau gambaran kejadian masa depan itu datang ke orang yang baru ditemui yang sebelumnya tak pernah kita kenal?

Bagaimana kalau gambaran itu datang dengan cara yang mengerikan? Seperti misalnya, ketika jalan-jalan sore dan bertemu tetangga, hidung seperti mencium bau kembang bercampur bau bangkai yang menyengat, diiringi dengan gambaran dia kejang-kejang menahan sakit sakaratul maut. Dan dua hari kemudian tetangga itu meninggal.

Kalau ini terjadi sekali mungkin kebetulan. Kalau ini sudah biasa terjadi dan bahkan sudah sampai tahap mengikhlaskan lebih dulu nenek saya yang meninggal dan tak lama kemudian, nenek saya dipanggil. Cukup membuat stres, kan? Apa ada ilmu psikologi yang sampai ke sini? Kalau ada, (biar keren) kirim di kolom komentar. Ngahahahaha.

Bila analisa di atas benar, mungkin itu sebabnya sangat lumrah bila orang sekarang kesal dan bahkan benci “dicurhati”!

Curhat, apapun jenisnya, baik yang colongan atau terang-terangan, sama-sama menyebalkan. Kata orang sekarang, curhatan; jatah cerita; dan segala hal yang berkaitan dengan berbagi kisah adalah kegiatan “sampah”.

Memang sih, mereka punya hak menganggap curhatan atau keluh kesah orang lain sebagai sampah. Tapi, kalau saya dipaksa berbaik sangka, ya, bisa saja saya lakukan. Kalau mereka emoh dengan cerita orang, itu mungkin karena mereka bukan penganggur sehingga tak punya banyak waktu mendengar. Mungkin juga curhatan dan jatah cerita itu datang di waktu yang tidak tepat sehingga membuat kesal orang yang akan mendengarnya. Dan mungkin juga, para calon pendengar ini sedang banyak masalah sehingga tak sempat mendengar masalah orang lain.

Terlebih lagi bila curhatan itu datang dari orang-orang buangan; tidak bisa diprospek; tidak menjanjikan link; tidak menjanjikan utang budi yang menarik. Bisa juga apa yang dicurhatkan orang-orang malang ini tidak memberikan kebaruan wawasan; kering; hanya seputar masalah-masalah sentimentil yang sempit.

Kalau kebetulan sedang tak bisa menghindar dari curhatan orang-orang buangan, mereka tetap mendengarkan dengan takzim, tapi setelah itu sambil main mata dengan temannya yang lain, mengeluarkan ekspresi mengolok-olok. Ada juga yang pura-pura mendengar, tapi istilah Jawanya nanggap. 

Ya, sekali lagi saya berbaik sangka: manusia-manusia yang enggan dicurhati atau anti “sampah” ini sebenarnya (secara langsung atau tidak) mengingatkan bila Gusti Allah adalah sebaik-baik tempat untuk berkeluh kesah.

Untuk manusia anti “sampah” di seluruh dunia: Al Fatihah.

Meski begitu, kerewelan di dalam diri saya kerap tak bisa diajak kompromi. Begitu sulitnya berbaik sangka dengan manusia modern yang waktunya terlampau berharga dan mahal itu. Saya masih tak paham, apakah dalam sekali hidup mereka pernah merenungkan, mengapa para curhaters dan orang-orang semacam Sudrun itu datang ke mereka, bukan ke orang lain? Mengapa cerita sedih itu datang sekarang (saat sedang sibuk-sibuknya), bukan datang besok atau kemarin (ketika masih longgar)? Mengapa yang datang adalah si A (yang kere), bukan si B (pejabat kelas menengah sampai atau pemodal)? 

Melandasi istikomah mendengar dengan niat lillahi ta’ala itu auuuuaaaaabooooot tenan, yakinlah sumpah!


Citra D. Vresti Trisna
Kelapa Dua, April 2020

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.