Laman

Minggu, 04 Agustus 2013

#1 Nyamuk Surabaya dan Sufi di Gang Dolly

Saya baru saja terbangun karena ganasnya nyamuk Surabaya. Dalam sejarah dunia molor saya, salah satu hal yang mengesalkan ketika tidur adalah diserang barbarnya nyamuk. Apalagi nyamuk Surabaya. Sungguh, mereka tak pernah sekolah. Percayalah!

Masih merasa kesal dengan nyamuk.  Aku mengambil koran dan mengibaskan koran ke dengungan nyamuk. Alhasil, mereka pergi, meski sebenarnya saya tau: nyamuk adalah mahluk setia, kepergiannya selalu untuk kembali #uopooo. Namun, bukan nyamuk Surabaya namanya kalau kepergian mereka tidak membawa perdebatan dan persoalan. Mungkin, jiwa ‘bonek (bondo nekat)’ tidak hanya dimiliki pemuda Surabaya saja. Nyamuknya pun bonek.

Setelah mencoba tidur lagi, dugaan saya tak meleset. Nyamuk di sini benar-benar setia. Ia kembali merubung kaki tangan dan pipi. Saya tak punya autan dan tak berniat untuk keluar membeli anti nyamuk. Akhirnya saya membakar sebatang rokok. Berharap nyamuk-nyamuk liar tadi kepalanya puyeng dengan asapnya.

Ssssshhh ah, menghisap rokok saat bangun tidur selalu memberikan sensasi yang absurd buat saya. Kenikmatannya yang menggelitik membuat rasa kantuk dan jengkel tadi lenyap dan digantikan pikiran-pikiran yang tak tentu arah. Tiba-tiba saya kembali teringat cerita dari Pakde Wahyu, big bos Teater Anu Priuk, tentang seorang kawannya yang hidup nyufi. Kawan pakde itu tidak pernah mengebaskan nyamuk yang sedang menghisap darahnya. Menurut pakde, perasaan pertapa itu terlalu lembut dan welas asih dengan sesama mahluk tuhan. Saya jadi rada merinding mendengar cerita pakde waktu itu.

Entahlah, pikiran saya jadi begitu random sampai konsep sufi pun mengganggu malam saya. Mungkin karena malam ini terlalu sepi. Atau mungkin karena suara ayat-ayat suci di laptop kawan saya masih mengalun memecah sunyi sampai yang saya pikirkan rada-rada mambu agama. Ya, ini semua gara-gara nyamuk barbar yang membuat saya tak jadi tidur dan kepikiran soal sufi.

Hmmm sufi, ya. Orang ‘sakti’ yang ada dalam cerita pakde itu sufi atau bukan, saya kurang paham. Tapi, menurutku, siapa yang sanggup hidup sebagai sufi di zaman sekarang? Mungkinkah seseorang jadi sufi atau nyufi dizaman serba dancuk seperti sekarang? Zaman dimana seseorang tidak sanggup mempertahankan keimanannya barang sejam.

Saya percaya bila keimanan adalah sesuatu yang fluktuatif. Kadang ia naik dan anjlok bergantung pada sikon. Kalau lagi musim baik seperti bulan ramadhan kali ini, seseorang tiba-tiba jadi ustad dadakan. Lihat saja status di facebook dan twitter, semua bertema keimanan. Duh, prettt. Taik kucing.

Ketika keimanan seperti telur di ujung tanduk, lantas bagaimana dengan sufi? Apa mereka bukan manusia juga? Apa mereka juga tidak tergoda ketika tanpa sengaja melihat paha-paha mulus di sepanjang jalan? Meski (andai sufi itu ada) apa pikiran mereka ndak tiba-tiba random seperti saya? Tiba-tiba membayangkan ranjang empuk ber-AC dengan seorang perempuan di atasnya yang sedang njoget erotis.

Bagiku, sufi adalah misteri besar buat saya. Penasaran ini membuat saya membuka-buka kamus dan mencari maknanya. Menurut kamus, sufi adalah orang yang ahli dalam ilmu tasawuf; suluk. Tapi, sebentar, saya masih kurang puas dengan istilah yang digambarkan dalam kamus. Karena saya memiliki seorang kawan yang sangat mengerti soal ilmu tasawuf tapi tengik perilakunya. Dia bisa menjelaskan konsep tasawuf selama berjam-jam sampai saya mengantuk. Tapi, soal kelakuannya, saya kira dia masih sebelas-duabelas dengan saya. Di kosnya, di daerah Bantul, kita pernah menamatkan empat puluh judul bokep (film si unyil) sampai katam dalam semalam. Kalau lagi kepepet, dia juga menerima pesanan skripsi untuk jurusan bahasa arab. Inikah sufi?

Menurutku, konsep sufisme tidak sesederhana seseorang yang menguasai ilmu tasawuf, atau sekedar berperilaku aneh. Banyak pihak menyalahartikan konsep sufisme pada pengertian dan definisi, serta pola perilaku yang tidak lazim. Sufi jelas berbeda dengan dukun; dengan ‘orang gila’. Atau mungkin sufi adalah pola perilaku orang yang sedang kasmaran dengan Allah sehingga menerapkan zuhud. Tapi, disebalik hati saya menolak dengan tegas karena, bagiku, hidup haruslah memakai ilmu salib: keseimbangan antara yang vertikal dan horisontal.

Kalau orang dalam cerita pakde—yang tidak mengebaskan nyamuk barbar yang menyedot darahnya—bisa dikategorikan sebagai sufi? Atau karena orang dalam cerita pakde ini masuk kategori sufi karena perilaku anehnya? Sumpah, saya tidak tau. Dan diam-diam saya punya pikiran tengik macam ini: karena nyamuknya kecil, darah yang akan terhisap mungkin cuma sedikit. Kalau nyamuknya sebesar kucing garong, apa ndak langsung anemia tuh si om sufi?

Apa sufi hanya konsep di megah hadiah dari labeling orang-orang awam di sekitar kita yang hobi mengkeramatkan. Bukankah manusia itu tetap manusia yang (seperti saya) gampang sekali terjebak pada gelimang dosa. Kalau seseorang begitu dekat dengan tuhan, apa dia ujuk-ujuk terlepas dari kodrat kemanusiaan. Kalau dilihat dari itensitas manusia ‘berpacar-pacaran’ dengan tuhannya, mungkin pandangan para orientalis (bisa jadi) salah total. Mereka menganggap ‘sufi’ hanya padanan dari sebentuk perilaku yang dihayati dari filsafat keberagamaan; filsafat ibadah.

 Sudahlah, kita tinggalkan pandangan para orientalis. Pandangan dan penilaian mereka tentang segala hal tentang agama itu meresahkan. Seperti bau-bauan kotoran kucing di tengah malam: meresahkan dan menimbulkan perdebatan.

*
Sek tak sahur sek (pencitraan)

*
Kembali lagi soal sufi. Saya ingat, pakde juga bercerita tentang sikap ‘anti dunia’ pada si orang ini (sebut saja dia om sufi). Ia menolak segala hal yang bersifat keduniawian. Mungkin ia seperti dalam penggambaran orang di jaman jahilliyah yang beribadah di sekitar Ka’bah yang disebut sebagai sufah? Sama-sama beribadah, berbuat kebajikan dan menghabiskan seluruh hidupnya untuk bermesraan dengan tuhan. Maka pertanyaan saya kemudian: lha wong kuwi kapan dolane, kapan kawine, kapan ngopine?

Memang tidak adil membandingkan dan melihat dari kacamata hidup saya yang bandit ini. Baik para sufah ini atau pun om sufi dalam cerita pakde. Apa yang mereka lakukan itu baik, tapi yo rodok kurang pantes sakjane. Bukankah Islam mengenal habluminallah dan habluminannas. Berdoa sepanjang hayat dan memahami kalam tuhan sepanjang waktu. Lalu kalam tuhan yang bagian mana yang dipahami mereka? Bukankah masterpiece ciptaan tuhan adalah manusia; bagian yang membantu manusia untuk menterjemahkan kalam tuhan yang sebagian besar berupa penafsiran.

Dulu, saya pernah ketemu dengan Matsani, seseorang pejalan dari Kebumen yang kebetulan bercerita pada saya bila ia sedang ingin pergi menyepi ke gunung-gunung untuk mencari hakikat hidup dan melihat wajah semesta serta penciptanya.

Pak, lha sampean ini bade laku nopo?” tanyaku.
Wah arek nom koyok awakmu iki gurung sanggup le. Nek laku iku njowo, nek aku nyufi, le.” Jawabnya sembari menghisap lintingan tembakau di tangannya.

Saya ini orang mblunat, tapi dengan jawaban Matsani, saya juga punya pendapat. Mendekat pada tuhan ketika berada di pondok pesantren, di gua, atau sejelek-jeleknya di desa, itu bukan perkara sulit. Tapi, cobalah hidup lurus saat rumah anda berada satu atau dua blok dari lokalisasi dolly.

Bukan maksud saya meremehkan orang yang berada di lokalisasi dolly. Ini hanya perumpamaan (yang tak tersampaikan pada Matsani) untuk menilai tingkat kesulitan seseorang beragama. Konsepsi sufi yang beragam memang masih gagal saya pahami. Apakah ia berada dalam wilayah filsafat semata, atau sampai pada tingkatan maqam seseorang seperti yang dituturkan Al-Ghazali. Ada atau tidaknya sufi itu tidak penting bagi orang awam seperti saya. Menjalani keseimbangan hidup dengan ilmu salib saya pikir sudah menjadi prestasi yang luar biasa bagi orang sekaliber saya. Itu pun kalau saya bisa menyeimbangkan antara dunia dan akhirat. 

Saya percaya bila sufisme bukan sekedar konsep. Hanya kedangkalan saya terlalu terbatas untuk mencapainya. Seperti halnya ‘kebaikan’ adalah sebuah tujuan atau garis finish yang harus kita tuju. Soal kebaikan seperti apa; baik itu relatif; saya ndak memusingkan. Setahuku tuhan punya matematikannya sendiri dalam menilai apa yang manusia lakukan. Dunia dan kolektiva saya tak pernah membuat saya menemui orang yang mendekati berbagai macam konsep sufisme. Dan bukankan maqam seseorang ada di tingkat yang mana ada di hati masing-masing orang, meski terkadang ia memancar lewat laku jiwa. Tapi, terkadang saya kerap meminta ditunjukkan seperti apa ‘baik’ itu; seorang sufi tulen yang bukan gunung dan kampung sebagai tujuan perjalanannya, tapi ke dolly. Saya juga ndak terlalu wow seperti Matsani yang ingin melihat wajah tuhan. Saya masih belum sanggup pingsan seperti Nabi Musa dan belum sanggup mengikuti Nabi Khidir. Saya takut kalau-kalau dia tiba-tiba mencekek seorang anak di depan saya. Apalagi mencekeknya di Indonesia. Saya takut ia berurusan dengan kepolisian dan Kontras. Terlebih lagi ilmu saya masih dangkal seperti comberan rumah saya yang mampet. Begitulah saya dengan segala kelemahannya.
Ah, nyamuk-nyamuk Surabaya. Terimakasih untuk gigitanmu yang menggelitik. besok-besok gigit saya lagi dan ajak saya memahami mistisnya sufisme. Nyamuk biasa saja, jangan yang demam berdarah. Peace.

Rumah lalat, 4 Agustus 2013

Cdv_t

1 komentar:

ONLINE-SHOP mengatakan...

rumah lalat. #

Posting Komentar

Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.