Saya baru saja
terbangun karena ganasnya nyamuk Surabaya. Dalam sejarah dunia molor saya, salah
satu hal yang mengesalkan ketika tidur adalah diserang barbarnya nyamuk. Apalagi
nyamuk Surabaya. Sungguh, mereka tak pernah sekolah. Percayalah!
Masih merasa
kesal dengan nyamuk. Aku mengambil koran
dan mengibaskan koran ke dengungan nyamuk. Alhasil, mereka pergi, meski sebenarnya
saya tau: nyamuk adalah mahluk setia, kepergiannya selalu untuk kembali #uopooo. Namun, bukan nyamuk Surabaya
namanya kalau kepergian mereka tidak membawa perdebatan dan persoalan. Mungkin,
jiwa ‘bonek (bondo nekat)’ tidak hanya dimiliki pemuda Surabaya saja. Nyamuknya
pun bonek.
Setelah mencoba
tidur lagi, dugaan saya tak meleset. Nyamuk di sini benar-benar setia. Ia kembali
merubung kaki tangan dan pipi. Saya tak punya autan dan tak berniat untuk
keluar membeli anti nyamuk. Akhirnya saya membakar sebatang rokok. Berharap nyamuk-nyamuk
liar tadi kepalanya puyeng dengan asapnya.
Ssssshhh ah,
menghisap rokok saat bangun tidur selalu memberikan sensasi yang absurd buat
saya. Kenikmatannya yang menggelitik membuat rasa kantuk dan jengkel tadi
lenyap dan digantikan pikiran-pikiran yang tak tentu arah. Tiba-tiba saya
kembali teringat cerita dari Pakde Wahyu, big bos Teater Anu Priuk, tentang
seorang kawannya yang hidup nyufi. Kawan
pakde itu tidak pernah mengebaskan nyamuk yang sedang menghisap darahnya. Menurut
pakde, perasaan pertapa itu terlalu lembut dan welas asih dengan sesama mahluk
tuhan. Saya jadi rada merinding mendengar cerita pakde waktu itu.
Entahlah,
pikiran saya jadi begitu random sampai
konsep sufi pun mengganggu malam saya. Mungkin karena malam ini terlalu sepi. Atau
mungkin karena suara ayat-ayat suci di laptop kawan saya masih mengalun memecah
sunyi sampai yang saya pikirkan rada-rada mambu
agama. Ya, ini semua gara-gara nyamuk barbar yang membuat saya tak jadi tidur
dan kepikiran soal sufi.
Hmmm sufi, ya.
Orang ‘sakti’ yang ada dalam cerita pakde itu sufi atau bukan, saya kurang
paham. Tapi, menurutku, siapa yang sanggup hidup sebagai sufi di zaman
sekarang? Mungkinkah seseorang jadi sufi atau nyufi dizaman serba dancuk
seperti sekarang? Zaman dimana seseorang tidak sanggup mempertahankan
keimanannya barang sejam.
Saya percaya
bila keimanan adalah sesuatu yang fluktuatif. Kadang ia naik dan anjlok
bergantung pada sikon. Kalau lagi musim baik seperti bulan ramadhan kali ini,
seseorang tiba-tiba jadi ustad dadakan. Lihat saja status di facebook dan twitter, semua bertema keimanan.
Duh, prettt. Taik kucing.
Ketika keimanan
seperti telur di ujung tanduk, lantas bagaimana dengan sufi? Apa mereka bukan
manusia juga? Apa mereka juga tidak tergoda ketika tanpa sengaja melihat
paha-paha mulus di sepanjang jalan? Meski (andai sufi itu ada) apa pikiran mereka
ndak tiba-tiba random seperti saya? Tiba-tiba
membayangkan ranjang empuk ber-AC dengan seorang perempuan di atasnya yang
sedang njoget erotis.
Bagiku, sufi
adalah misteri besar buat saya. Penasaran ini membuat saya membuka-buka kamus
dan mencari maknanya. Menurut kamus, sufi adalah orang yang ahli dalam ilmu
tasawuf; suluk. Tapi, sebentar, saya masih kurang puas dengan istilah yang
digambarkan dalam kamus. Karena saya memiliki seorang kawan yang sangat
mengerti soal ilmu tasawuf tapi tengik perilakunya. Dia bisa menjelaskan konsep
tasawuf selama berjam-jam sampai saya mengantuk. Tapi, soal kelakuannya, saya kira
dia masih sebelas-duabelas dengan saya. Di kosnya, di daerah Bantul, kita
pernah menamatkan empat puluh judul bokep (film si unyil) sampai katam dalam
semalam. Kalau lagi kepepet, dia juga menerima pesanan skripsi untuk jurusan
bahasa arab. Inikah sufi?
Menurutku,
konsep sufisme tidak sesederhana seseorang yang menguasai ilmu tasawuf, atau
sekedar berperilaku aneh. Banyak pihak menyalahartikan konsep sufisme pada
pengertian dan definisi, serta pola perilaku yang tidak lazim. Sufi jelas
berbeda dengan dukun; dengan ‘orang gila’. Atau mungkin sufi adalah pola
perilaku orang yang sedang kasmaran dengan Allah sehingga menerapkan zuhud. Tapi,
disebalik hati saya menolak dengan tegas karena, bagiku, hidup haruslah memakai
ilmu salib: keseimbangan antara yang vertikal dan horisontal.
Kalau orang
dalam cerita pakde—yang tidak mengebaskan nyamuk barbar yang menyedot darahnya—bisa
dikategorikan sebagai sufi? Atau karena orang dalam cerita pakde ini masuk
kategori sufi karena perilaku anehnya? Sumpah, saya tidak tau. Dan diam-diam
saya punya pikiran tengik macam ini: karena nyamuknya kecil, darah yang akan
terhisap mungkin cuma sedikit. Kalau nyamuknya sebesar kucing garong, apa ndak langsung anemia tuh si om sufi?
Apa sufi hanya
konsep di megah hadiah dari labeling orang-orang awam di sekitar kita yang hobi
mengkeramatkan. Bukankah manusia itu tetap manusia yang (seperti saya) gampang
sekali terjebak pada gelimang dosa. Kalau seseorang begitu dekat dengan tuhan,
apa dia ujuk-ujuk terlepas dari kodrat kemanusiaan. Kalau dilihat dari
itensitas manusia ‘berpacar-pacaran’ dengan tuhannya, mungkin pandangan para
orientalis (bisa jadi) salah total. Mereka menganggap ‘sufi’ hanya padanan dari
sebentuk perilaku yang dihayati dari filsafat keberagamaan; filsafat ibadah.
Sudahlah, kita tinggalkan pandangan para
orientalis. Pandangan dan penilaian mereka tentang segala hal tentang agama itu
meresahkan. Seperti bau-bauan kotoran kucing di tengah malam: meresahkan dan
menimbulkan perdebatan.
*
Sek tak sahur
sek (pencitraan)
*
Kembali lagi
soal sufi. Saya ingat, pakde juga bercerita tentang sikap ‘anti dunia’ pada si
orang ini (sebut saja dia om sufi). Ia menolak segala hal yang bersifat
keduniawian. Mungkin ia seperti dalam penggambaran orang di jaman jahilliyah
yang beribadah di sekitar Ka’bah yang disebut sebagai sufah? Sama-sama
beribadah, berbuat kebajikan dan menghabiskan seluruh hidupnya untuk bermesraan
dengan tuhan. Maka pertanyaan saya kemudian: lha wong kuwi kapan dolane, kapan kawine, kapan ngopine?
Memang tidak
adil membandingkan dan melihat dari kacamata hidup saya yang bandit ini. Baik para
sufah ini atau pun om sufi dalam cerita pakde. Apa yang mereka lakukan itu
baik, tapi yo rodok kurang pantes
sakjane. Bukankah Islam mengenal habluminallah
dan habluminannas. Berdoa sepanjang
hayat dan memahami kalam tuhan sepanjang waktu. Lalu kalam tuhan yang bagian
mana yang dipahami mereka? Bukankah masterpiece ciptaan tuhan adalah manusia;
bagian yang membantu manusia untuk menterjemahkan kalam tuhan yang sebagian
besar berupa penafsiran.
Dulu, saya
pernah ketemu dengan Matsani, seseorang pejalan dari Kebumen yang kebetulan
bercerita pada saya bila ia sedang ingin pergi menyepi ke gunung-gunung untuk
mencari hakikat hidup dan melihat wajah semesta serta penciptanya.
“Pak, lha sampean ini bade laku nopo?”
tanyaku.
“Wah arek nom koyok awakmu iki gurung sanggup
le. Nek laku iku njowo, nek aku nyufi, le.” Jawabnya sembari menghisap
lintingan tembakau di tangannya.
Saya ini orang
mblunat, tapi dengan jawaban Matsani,
saya juga punya pendapat. Mendekat pada tuhan ketika berada di pondok
pesantren, di gua, atau sejelek-jeleknya di desa, itu bukan perkara sulit. Tapi,
cobalah hidup lurus saat rumah anda berada satu atau dua blok dari lokalisasi
dolly.
Bukan maksud
saya meremehkan orang yang berada di lokalisasi dolly. Ini hanya perumpamaan (yang
tak tersampaikan pada Matsani) untuk menilai tingkat kesulitan seseorang
beragama. Konsepsi sufi yang beragam memang masih gagal saya pahami. Apakah ia
berada dalam wilayah filsafat semata, atau sampai pada tingkatan maqam seseorang seperti yang dituturkan
Al-Ghazali. Ada atau tidaknya sufi itu tidak penting bagi orang awam seperti
saya. Menjalani keseimbangan hidup dengan ilmu salib saya pikir sudah menjadi
prestasi yang luar biasa bagi orang sekaliber saya. Itu pun kalau saya bisa
menyeimbangkan antara dunia dan akhirat.
Saya percaya
bila sufisme bukan sekedar konsep. Hanya kedangkalan saya terlalu terbatas
untuk mencapainya. Seperti halnya ‘kebaikan’ adalah sebuah tujuan atau garis
finish yang harus kita tuju. Soal kebaikan seperti apa; baik itu relatif; saya ndak memusingkan. Setahuku tuhan punya
matematikannya sendiri dalam menilai apa yang manusia lakukan. Dunia dan
kolektiva saya tak pernah membuat saya menemui orang yang mendekati berbagai
macam konsep sufisme. Dan bukankan maqam
seseorang ada di tingkat yang mana ada di hati masing-masing orang, meski
terkadang ia memancar lewat laku jiwa. Tapi, terkadang saya kerap meminta
ditunjukkan seperti apa ‘baik’ itu; seorang sufi tulen yang bukan gunung dan kampung
sebagai tujuan perjalanannya, tapi ke dolly. Saya juga ndak terlalu wow seperti Matsani yang ingin melihat wajah tuhan. Saya
masih belum sanggup pingsan seperti Nabi Musa dan belum sanggup mengikuti Nabi
Khidir. Saya takut kalau-kalau dia tiba-tiba mencekek seorang anak di depan
saya. Apalagi mencekeknya di Indonesia. Saya takut ia berurusan dengan
kepolisian dan Kontras. Terlebih lagi ilmu saya masih dangkal seperti comberan
rumah saya yang mampet. Begitulah saya dengan segala kelemahannya.
Ah,
nyamuk-nyamuk Surabaya. Terimakasih untuk gigitanmu yang menggelitik.
besok-besok gigit saya lagi dan ajak saya memahami mistisnya sufisme. Nyamuk biasa
saja, jangan yang demam berdarah. Peace.
Rumah lalat, 4 Agustus 2013
Cdv_t
1 komentar:
rumah lalat. #
Posting Komentar
Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.