Beberapa hari lalu di Pamekasan
ada seorang pencuri helm yang babak belur dihakimi massa. Mukanya lebam-lebam karena
bogem mentah massa yang emosi. Untunglah ia buru-buru di bawa ke kantor polisi
sehingga bisa selamat dari amuk massa. Atas kejadian ini, aku sangat
berterimakasih pada sekumpulan massa yang kebetulan ada di Monumen Arek Lancor,
Pamekasan, yang turut berpartisipasi memberi pelajaran pada Joko Purnomo si pencuri
kecil agar jangan berani-berani membandit di Pamekasan.
Tidak lupa, saya juga
ingin memberikan apresiasi pada masyarakat di kota-kota lain yang ikut aktif
memberi efek jera pada para maling. Berkat partisipasi masyarakat, rasa aman
dan nyaman bermasyarakat bisa tercipta di lingkungan kita. Tapi, yang paling
utama adalah selamatnya harga diri saya selama beberapa saat, karena paling
tidak ”predikat maling” sudah diwakili oleh Joko yang ketiban sial tertangkap
warga.
Apa jadinya kalau si
Joko ini tidak tertangkap? Bisa jadi orang lain akan menaruh curiga pada saya, karena
saya masih belum terbukti bersih. Kalau sudah ada yang tertangkap seperti si
Joko ini, paling tidak saya bisa ikut memaki-maki Joko di depan orang lain
sambil mengata-ngatainya tidak bermoral. Seolah-olah saya ini bersih dan sangat
anti mengambil milik orang lain. Yang paling penting lagi adalah saya bisa
tetap tampil dengan muka berseri-seri di depan umum. Boleh menulis dan pamer
kebijaksanaan di Koran seperti sekarang. Meski saya tak begitu yakin bisa
tampil bersih di hadapan Tuhan.
Sejak dulu cara paling
manjur untuk menyembunyikan kejahatan adalah dengan berteriak paling keras pada
kejelekan orang lain. Atau (mungkin) menghajar paling keras pada seseorang yang
terbukti bersalah. Dan kalau dikembangkan lagi; siapa yang paling serius
menangkap, memberikan vonis dan memenjarakan, adalah orang atau kolektiva yang
sedang bersembunyi dan berusaha menimbun bangkai; malingnya maling. Atau siapa
yang paling serius berfatwa dan berkhotbah tentang kebusukan orang lain justru
lebih busuk ketimbang orang yang diceramahi. Tapi, sejak awal, saya sudah
katakan bila ini hanya ”mungkin”, dan belum tentu benar. Mohon jangan diambil
hati.
Tiba-tiba saya jadi ingat
tentang anekdot yang diceritakan seorang kawan jauh. Kalau tidak salah, kurang
lebih ceritanya seperti ini: Di sebuah pesantren, ada seorang ustad sedang
semangat bercerita tentang setan kepada para santrinya. Karena saking
semangatnya, mukanya sang ustad menjadi merah dan matanya melotot keluar. Kemudian
salah seorang santrinya bertanya pada sang ustad, ”Ustad, wajahnya setan itu
seperti apa, sih?” Kemudian sang
ustad menjawab, ”Mukanya setan itu merah dan matanya melotot keluar,” jawab
sang ustad. Lalu, para santrinya berlari karena ketakutan.
Anekdot yang baru saja
saya ceritakan memang tidak bisa dijadikan gambaran tentang wajah tokoh-tokoh
agama di manapun. Anekdot ini hanya sekedar cerita lucu pelepas penat.
Seandainya ada kesamaan atau ada yang merasa seperti ustad yang saya ceritakan tadi,
percayalah bila ini hanya kebetulan semata. Karena kita merasa seperti setan
atau malaikat, adalah kontemplasi masing-masing individu yang tidak perlu diceritakan
pada orang lain.
Sehingga, saya pikir
siapapun yang ikut menghakimi Joko tentu sudah punya hitungan yang jelas
tentang manfaat dan mudharatnya. Bahkan warga mereka memiliki rasionalisasi
yang tak terbantahkan ketika memutuskan akan menghakimi Joko. Dan, saya piker,
Tuhan pun akan kelimpungan dengan alasan masyarakat.
Tidak
Ada Dosa Kolektif
Saya pikir kasus
pencurian helm itu murni kesalahan Joko sebagai pribadi. Ia yang bertanggung
jawab pada apa yang dilakukannya. Sehingga, masyarakat yang ikut menghakimi
Joko sama sekali tidak ikut-ikut menanggung dosa. Dan babak belurnya Joko
adalah akibat dari perbuatannya sendiri.
Joko itu bukan
siapa-siapa. Ia tumbuh sendirian tanpa pengaruh masyarakat di sekitarnya. Jadi,
perbuatannya mencuri helm itu adalah murni inisiatif pribadi Joko dan ia tak
pernah meniru masyarakat di sekitarnya. Kalau pada akhirnya, ia terpaksa
mencuri helm karena ia mengaku ingin memiliki helm seperti temannya, saya pikir
itu pantas di ganjar dengan hukuman keroyokan. Karena yang ada hanya sim
kolektif, bukan dosa kolektif.
Sehingga masyarakat tidak
perlu mempedulikan kebutuhan helm Joko, karena itu sangat sepele dan keduniawian
sifatnya. Masyarakat di sekitar Joko perlu mengutamakan kebutuhan yang lebih
urgen dan orientasi spiritualnya lebih jelas, seperti: naik haji,
berlomba-lomba membangun rumah Tuhan, dan untuk membangun Pamekasan lebih
gemerlap. Asal bisa naik haji sepuluh kali, persetan tetangga kita bisa makan
atau tidak.
Sejak dulu, orang kecil
macam Joko tidak perlu didengarkan kebutuhannya. Karena hanya orang besar yang
patut dicatat sejarah dan didengarkan kata-katanya. Sebentar lagi, masyarakat
akan melupakan Joko serta melupakan kebutuhan-kebutuhan hidupnya yang sepele.
Memang hidup
bermasyarakat itu ibarat sholat berjamaah. Sama-sama menghadap Tuhan, sama-sama
merasa paling bersih. Ketika sholat, yang diperlukan bukanlah keseriusan
berhadapan dengan tuhan, akan tetapi perlu juga sesekali melirik kiri-kanan
untuk memastikan orang di sebelah kita sudah khusuk atau belum. Kalau belum khusuk, seusai sholat kita perlu mengingatkan
mereka agar lebih khusuk sholatnya. Kalau perlu ikut pelatihan sholat khusuk.
Terus terang, saya
sangat bersyukur dengan tertangkapnya Joko. Karena dengan begitu, saya bisa
mengevaluasi dan mengingatkan dia untuk lebih lurus hidupnya. Karena dengan
saya ikut mengingatkan, perhatian orang lain akan sibuk pada Joko, tapi bukan
pada kelakuanku; pada segala upaya ”maling” yang saya lakukan.
Selain
itu, yang jelas saya tidak mau ambil pusing dengan kelakuan Joko. Apakah
alasannya menjadi maling atau bandit, itu karena sebelumnya hidupnya telah
banyak dimalingi tetangganya, masyarakat di sekitarnya, pemerintahnya, atau
mungkin para ulama, atau aparatnya. Tapi, yang lebih menarik adalah Joko
dihakimi massa dengan sangat barbar. Karena dengan begitu ia jadi martir yang
bisa menutupi sikap maling kita bersama. Karena di kampung Indonesia, upaya
penegakan hukum tidak boleh terlalu serius dan memang harus tebang pilih. Apa
jadinya kalau penegakan hukum di Madura, di Indonesia dijalankan dengan serius?
Pemerintahan bisa kosong. Dari RT, RW, desa, kecamatan, kabupaten sampai kursi
kepresidenan bisa tur bersama ke penjara. Oleh karena itu, berterimakasihlah
pada Joko si pencuri helm (Joko Helm).
”Orang
besar” ngomong, orang kecil bengong mendengarkan. Kalau ”orang kecil” ngomong,
Tuhan yang bengong mendengarkan.
Semoga Joko tidak melaporkan kita semua
pada Tuhan. Amin.
Sampang,
7 November 2013
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.