Kalimat ini saya dapatkan pagi tadi sewaktu membuka facebook. Sebuah komentar yang menurutku
masih segar dan khas remaja sekarang yang pintar tapi dungu. Komentar dan
spontanitas yang menunjukkan betapa generasi muda hari ini begitu rajin mencari
alternatif wacana di luar kurikulum pendidikan kita yang kata orang begitu ndeso.
Senang rasanya melihat remaja-remaja yang gemar mencari
hal baru dalam hidupnya. Karena dunia akan menjadi milik siapa saja yang setiap
waktunya adalah untuk mencari apa saja: pengetahuan baru,
kebijaksanaan-kebijaksanaan impor, gaya beretorika, cita-cita baru, sampai
agama baru.
*
Sejak
dulu, saya percaya bila nihilisme itu real– segala yang
”bangkrut” akan ditinggalkan.
Semua ideologi yang bersifat menenggelamkan,
diikuti, diyakini, akan ludes tanpa sisa. Sebagaimana komunis yang dianut oleh
tiga per empat dunia selama tiga per empat abad, terlepas dianutnya komunis itu
setengah memaksa, yang jelas sekarang ideologi itu ditinggalkan.
Saya juga kembali teringat masa-masa ketika sistem
pendidikan di Indonesia begitu garang menekan wacana-wacana baru yang mengajak
generasi muda untuk melawan, subversiv dan makar. Saat itu kita bisa melihat bila
pemerintah sedang cemas. Dan kecemasan itu diwujudkan dengan arogansi pemerintah
yang melakukan pembakaran pada buku-buku Pram dan melarang buku-buku kiri di
kalangan pelajar dan mahasiswa.
Sehingga untuk membacanya, mahasiswa jaman dulu
harus sembuyi-sembunyi bila tidak ingin dituduh komunis. Bahkan akses sejarah
perjalanan bangsa disesuaikan dengan kepentingan-kepentingan Orba.
Namun, ketika kran demokrasi dibuka lebar, semua hal
baru dipersilahkan hidup. Semua orang punya kebebasan untuk melakukan apapun
yang mereka inginkan selama tidak mengganggu orang lain.
Maka, mitos-mitos kengerian sistem pendidikan hanya
tinggal cerita menggelikan yang tak lucu. Semua orang meninggalkan sistem
pendidikan atas nama gengsi dan kemerdekaan berpikir. Termasuk para generasi
muda. Sehingga semua hal yang sifatnya ”lokal” selalu punya celah untuk dimaki
dan ditertawakan.
Hari ini wacana yang sedang trend akan selalu mengarah
pada nihilisme aktif yang mengasumsikan tidak ada yang ”final” sehingga
seakan-akan segala kebijaksanaan masa silam, layak dibakar habis, termasuk
agama.
Akibatnya, wacana-wacana keilmuan modern memandang
norma dan kebijaksanaan masa silam menjadi sesuatu yang debatable. Seperti
halnya ”kesopanan” yang saat ini bukan lagi menjadi sesuatu yang keramat. Alih-alih
dianggap sebagai simbol penundukan yang dekaden.
Wajar kiranya bila remaja hari ini menganggap bila
”kesopanan adalah konstruksi”. Sehingga kesopanan dalam kacamata modernitas,
nampak sebagai sesuatu yang politis atau sebentuk penundukan pada masing-masing
individu yang berdasar pada hierarki.
Dalam wacana-wacana kesetaraan, kesopanan adalah
sesuatu yang bertolak belakang. Wacana kesetaraan memimpikan sebuah dunia baru
yang tanpa kelas dan menganggap setiap orang memiliki posisi, kesempatan,
kebebasan tanpa ada batas yang memenjarakan.
Senang rasanya melihat remaja-remaja hari ini begitu
sibuk dan gegap gempita bangkit dan mengejar ketertinggalan. Seperti yang saya
lihat beberapa hari lalu di rumah tetangga. Seorang ibu-ibu setengah baya
belajar menggunakan facebook ke
anakknya dan si anak memaki-maki orang tuannya, ”Waaa, ibuk ndeso, katrok! Facebook-an aja gak bisa.” Waktu itu si ibu hanya bisa nyengir kuda sambil menggaruk rambutnya
yang digelung. Alhamdulillah sekali
rasanya. Puas dan bangga setengah mati melihat betapa pesatnya kemajuan
remaja-remaja sekarang.
Saya pikir kesopanan akan ludes beberapa puluh tahun
lagi. Saya pikir kesopanan benar-benar dianggap sebagai sebuah penjajahan akan
tiba beberapa puluh tahun lagi. Tapi ternyata saya salah. Remaja-remaja di Indonesia
sudah persiapan dan merapatkan barisan seraya melambai pada mitos-mitos
pendidikan masa silam.
14
November 2013
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.