Suatu hari, seorang
kawan yang agak terganggu kejiwaannya pernah berkata pada saya, ”Pendidikan
hari ini itu seperti barang antik pecah belah di etalase ruang tamu. Tidak
berguna, tapi sayang kalau dibuang dan tidak digeluti,” ujarnya dengan
cengengesan.
”Lalu, bagaimana dengan
para penjaga dan punggawa-punggawa pendidikan dari kelas UPT sampai mentri.
Mereka itu apa?” tanyaku.
”Dungu, kamu! Kalau
begitu mereka adalah orang sepertimu yang setiap harinya mengelap dan
membersihkan debu-debunya. Agar tidak kelihatan usang dan tetap baru. Meski
tidak jelas kapan barang yang dijaganya (sambil mengantuk) itu bisa berguna.”
Menanggapi apa yang
dikatakan kawan saya, pertama saya
tidak mengambil hati karena ia ”sakit”. Kedua,
bila berpatokan pada pendapat—terkadang apa yang dikatakan orang gila, itu bisa
jadi adalah hal-hal yang ingin Tuhan katakan pada kita—maka, boleh jadi teman saya ada
benarnya. Tapi, dimana benarnya?
Dalam sekali hidup,
saat-saat saya merasa begitu bodoh adalah ketika menginjak bangku kuliah. Mungkin
ini pendapat yang sangat subjektif, atau mungkin sekarang saya sudah ketularan sudrun kawan saya.
Diperkuliahan, saya
merasa ditelanjangi, direbus, diberi tepung dan digoreng, lalu dijajakan di
pasar dengan bandrol murah. Saya merasa diseragamkan dan sulit berpikir
sebagaimana manusia merdeka yang punya cakrawala luas. Entah mengapa waktu itu saya
merasa menjadi orang yang begitu fakultatif dan sangat bergantung pada candu
teori-teori sosial yang mau tidak mau harus dituhankan.
Di dalam kelas, saya
merasa tidak ada bedanya dengan kawan-kawan yang lain; tiba-tiba kena sindrom
dan dilingkupi iklim yang memaksa saya untuk membeo. Dari A-Z saya hanya
mengulang apa yang telah saya baca. Bahkan menulis pun tidak sah rasanya kalau
tidak mengutip kata-kata sarjana-sarjana barat yang telah lama busuk di kuburan.
Waktu itu saya merasa
pendapat saya jadi semacam daging mentah hampir busuk, yang kalau tidak diberi
tepung bumbu dari kata-kata sarjana barat, pendapat saya jadi menjijikkan dan
tak enak dimakan.
Pada momen-momen itu,
saya merasa tercerabut dari akar kebudayaan. Saya kehilangan jati diri dan
menjadi kopian-kopian manusia tanpa karakter. Saya merasa gagal jadi manusia—yang memanusiakan manusia dengan jalan
melihat sesuatu dari perspektif dan pendekatan yang humanis—karena selama di bangku kuliah saya
memandang kemanusiaan tak lebih dari pendekatan, rumus, teori dan angka-angka
mati.
Saya kesal dengan diri
saya. Awalnya saya marah dengan dosen sebagai bentuk pemberontakan dan
perlawanan pada sistem yang membuat kemanusiaan saya lenyap. Suatu kali dalam
sebuah mata kuliah teknik presentasi yang
mengharuskan saya setiap harinya memakai baju berjas dan berdasi. Tapi waktu
itu saya menolak dan datang ke kelas dengan kemeja biasa. Waktu itu, si dosen
pengampu bertanya mengapa saya tak pakai dasi.
”Kamu kenapa tidak
memakai dasi? Kamu tau dasi itu untuk apa dan bagaimana sejarahnya,” kata pak
dosen.
”Ya, pak. Saya tau.
Dasi adalah alat pencekik leher,” tukasku.
Rasa kesal yang ada di
ubun-ubun tiba-tiba meluap begitu saja karena merasa dibedakan hanya karena
dasi. Saya merasa betapa dungunya modernitas memaknai selembar kain di leher
dan menghubung-hubungkannya dengan wibawa dan status sosial. Bukankah bajingan
paling tengik (koruptor) ini hampir semua berdasi. Dalam hati saya menjerit,
”Saya ini mau dididik jadi orang macam apa?”
Bagiku, dunia perkuliahan
tak lebih dari papan reklame yang tinggi, megah, dan waw. Reklame yang bertuliskan, ”Bergabunglah dengan kami, hidupmu
akan dipenuhi mimpi-mimpi: kunci mobil, kursi menejer, dasi, rumah mewah, credit card, panti pijat, stroke, dan
kuburan rindang.”
Tapi, waktu itu yang
membuat saya kalah duel dengan kampus adalah muka kusut orang tua.
Ketakutan-ketakutan pada ketidakberdayaan hidup tanpa perkuliahan dan tak ingin
jadi perjaka tua, membuat saya banyak kehabisan darah dan lemas hingga akhirnya
kalah bertanding dengan universitas. Akhirnya saya lulus, didandani baju
karung, topi aneh, sebagai bukti sah kekalahan dan semacam cap di bokong dengan
dua label: telah diseragamkan dan for
rent.
Setelah babak belur,
lingkungan dan keadaan memaksa saya
menjajakan diri ke lubang-lubang dimana saya akan diperkosa, dan dieksploitasi
habis-habisan agar saya sah ”menjadi orang” dan diterima keluarga dan masyarakat.
Saya ingin protes sebenarnya, meski akhirnya batal ketika melihat senyum orang
tua.
Setelah kalah dua kali
dalam pertarungan, saya merasa seperti dilahirkan kembali sebagai manusia
berbeda. Manusia baru yang (mau tidak mau) mengabdi menjadi skrup kecil dalam
mesin industri. Mengabdi dalam naungan skrup kecil industri yang mengabdi pada
sistem dan mesin raksasa di sekala dunia yang diberkati paman dajjal.
*
Kembali soal kawan saya
yang sudrun. Mungkin dia ada
benarnya, tapi mungkin juga salah. Dalam keadaan yang sekarang, aku katakan
pada diriku dengan sangat khusyuk bila pendidikan itu tidak boleh mati. Ia
tetap harus mewarnai kehidupan, karena tanpa restu dan cium tangan kotor
pendidikan hari ini, kita hanya debu yang mudah saja dihempaskan angin. Tanpa
pendidikan, saya tidak mungkin menjadi baut atau mur dalam mesin raksasa
kehidupan.
Kalau saya turutkan
nafsu duel maut saya dengan pendidikan, mungkin saya hanya akan menemui kedua
orang saya mengelus dada sampai stroke. Saya juga berterimakasih pada
pendidikan karena berkat pendidikan hari ini, saya bisa nyelempit, bersembunyi untuk mencuri waktu menangisi hidup di
warung kopi. Sambil sesekali mengumpat tentunya.
Pendidikan juga membuat
saya semakin arif dalam memahami hidup dan persaingan di dalamnya, serta upaya
menjilat sebagai bumbu penyedap persaingan yang sebelumnya tidak bisa saya
tolelir. Tapi, entahlah! Mungkin yang saya alami sekarang adalah sejenis racun
mati rasa, kebijaksanaan, ganjaran, atau kedunguan, yang mungkin tidak bisa disembuhkan
dengan sholat biasa. Atau mungkin dari sini istilah Sholat Terus Maksiat Jalan
(STMJ) ini lahir.
Lalu, saya juga
memaklumi bila keseriusan saya dalam menghisap nikotin pendidikan, membuat saya
sedikit beruntung ketimbang sarjana-sarjana yang mengintip di kaca jendela
perkantoran untuk memastikan barangkali ada kursi yang masih kosong. Dan syukur alhamdulillah saya pernah
merasakan kepahitan seperti yang dialami para toga-toga yang sial. Sehingga
kelak saya bisa semakin mantap dalam menjerumuskan anak-anak saya ke bak sampah
penuh lalat serta mengajarinya menghisap dalam-dalam racun lem kertas dari
kurikulum pendidikan kita yang subhanallah
sekali. Selain itu saya bisa dengan bengis memaksa anak saya ikut
organisasi-organisasi yang menjanjikan link agar bisa semakin mantap ber-KKN
ria. Maka, untuk masa depan saya dan keluarga kelak, angkat topi pada
pendidikan hari ini. Sembah sungkemku padanya. Peluk ciumku pada M Nuh.
Kamal,
24 November 2013
Citra D. Vresti Trisna
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.