-Catatan
akhir tahun 2013
Apa yang
dipikirkan Tagore ketika ia menolak sejarah; penulisaan sejarah — segala
sesuatu yang berkaitan dengan representasi masa silam yang baginya hanya omong
kosong.
Saya pikir
Tagore tidak sedang demam ketika ia menafikkan sejarah. Karena sejarah selalu
punya masalah dengan proses represent
(menghadirkan kembali) — penggalan kisah-kisah dari penggalian manuskrip,
analisa, penafsiran dan spekulasi-spekulasi yang terburu-buru jadi keniscayaan.
Kalau dulu,
Tagore boleh kesal dengan sejarah yang menurutnya sebagai upaya representasi
yang gagal. Maka hari ini, upaya representasi jadi pekerjaan rumah yang tak
selesai bagi media.
Perdebatan
mengenai media dari berbagai paradigma — antara positifistik, yang menganggap
media sebagai upaya murni untuk menghadirkan fakta ke dalam tulisan sebagai
mana aslinya; media dalam paradigma konstruksionis, yang mengasumsikan media
sebagai upaya mengkonstruksi fakta berdasarkan kepentingan media — masih belum
selesai.
Tapi, bukan itu
yang ingin saya bicarakan. Karena setiap orang punya hurufnya sendiri dalam
menilai media. Terutama pada fungsinya yang digadang-gadang (masih) sebagai
pilar ke empat demokrasi.
Mungkin Tagore
boleh menolak sejarah, tapi kita tidak bisa menafikkan media sebagai salah satu
alat produksi sejarah yang primer. Media berkuasa atas pikiran dan kesadaran
yang diam-diam terkonstruksi sebagaimana kehendak media. Tapi, bisakah
konstruksi media pada pembaca bisa adil sebagaimana fakta yang coba dihadirkan
kembali oleh media? Ataukah kita selama ini sedang mempercayakan patung wajah
kita sendiri pada media; sang seniman pemahat? Kalau kita percaya, sejauh mana
ingatan media berhasil merekam wajah kemanusiaan kita.