(Iku
Salah’e Wong Akeh)
Pernikahan tidak hanya urusan cinta, tapi juga perlu materi untuk membuat
cinta itu tetap hidup. Tapi, seharusnya pernikahan lebih besar dari uang, dari
materi. Pernikahan harus lebih besar dari status sosial dan
kesanggupan-kesanggupan membeli hidup. Bila pernikahan hanya perkara siapa yang
sanggup membayar lebih mahal, apa bedanya pernikahan dengan pelacuran?
*
Saya
mengenalnya di suatu hari yang berengsek. Suatu ketika dimana saya harus
mendatangi wisuda kawan seangkatan. Waktu itu, dia hadir dengan sorot mata yang
menyebalkan. Namun, harus kuakui di wajahnya yang menerbitkan hasrat untuk menonyo; meninju (temonyo) menerbitkan rasa iba di hati. Saya masih ingat apa yang
dikatakannya waktu itu, ”Lho, ndak wisuda,
mas? Sampean anak pers itu kan? Ini kan yang wisuda angkatannya sampeyan.
Seneng, ya, wisuda itu. Foto-foto bersama. Sampeyan ndak pengen foto bareng temen-temenmu, mas?”
Apa ndak brengsek kata-kata semacam itu? Kata-kata
yang diucapkan dengan teramat ringan itu sama sekali tidak pas, tidak toleran dan
menusuk dalam-dalam. Misalnya ada orang buta, ya, sebaiknya ndak usah tanya, ”Lho, sampeyan itu buta, ya?”
Mungkin
bapak ibunya banyak mengirim Al Fatihah ke si anak busuk ini, sehingga banyak
welas-asih di mukanya dan membuat saya tidak tega untuk meninju mukanya. Alhasil
demi kebaikan bersama saya batal untuk menghajarnya. Lagi pula saya juga tidak
ingin digelandang di Polsek Bangkalan dan tidak bisa meneruskan kuliah karena ngandang di penjara karena meninju muka
orang. Apa kata Radar Madura nanti?
Stres Belum Lulus Kuliah, Citra Pukuli Adik Kelas
Tidak! Itu
tidak lucu. Alhasil, saya hanya nyengir kuda di depannya. Tapi, kali ini, saya
kembali nyengir kuda melihat dia nongol di depan mata saya.
Pertemuan kali
ini begitu berbeda. Saya sudah lulus kuliah dan dia belum. Ini kesempatan yang
langka sekali, bukan? Tapi, muka bocah temonyo
ini nampak mendung. Matanya merah, kumisnya
nampak jarang-jarang dan rambutnya tak tersisir rapi. Dan jaketnya, insyaallah bisa saya pastikan sangat
tidak bersahabat dengan sabun cuci.
Kedatangan
dia kali ini dengan alasan yang tidak masuk akal. Dia punya masalah dengan
kekasihnya dan datang kepada saya karena bingung mau mengadu kepada siapa lagi.
Mungkin seluruh temannya, sudah dapat jatah curhat dari si temonyo ini. Lalu, apa hubungannya dengan saya?
Dia bisa
mendatangiku dengan alasan yang sama sekali tidak masuk akal. Dia pernah
membaca salah satu postingan blog saya yang berisi nasihat ke beberapa kawan
terkait persoalan mereka. Lalu, dia ingin minta nasihat juga. Saya pun tidak
mengerti mengapa dia tidak di Madura dan melanjutkan kuliahnya. Tapi setelah ngobrol ngalor-ngidul ternyata dia membantu saudaranya yang ada di
Jakarta.
Singkat cerita,
setelah basa-basi tidak penting, dia bertanya: ”Sampean tahu rasanya ditinggal menikah orang yang begitu sampean sayang?”
Alamak!
Pertanyaan macam apa itu? Saya tidak menjawab kata-katanya dan hanya
menyediakan senyum dikulum. ”Memangnya kenapa? Kamu ditinggal menikah?” tanya
saya. Dia tak menjawab. Hanya mukanya yang nampak bertambah suram. Matanya
berkaca-kaca. Bibirnya bergetar menahan tangis.
Saya biarkan
dia bergulat dengan gemuruh di dadanya. Saya tawarkan dia rokok dan dia
mengambil sebatang. ”Saya sebenarnya tidak merokok, mas. Tapi, karena dada saya
rasanya sakit sekali, makanya saya merokok.” Ujarnya, dengan sorot mata yang
masih merah.
Saya hanya
melongo dan berpikir: dada sakit+patah hati = merokok???
”Ya, ya,
silahkan. Ini koreknya.”
Saya tidak
mendebat kata-katanya. Hanya mengangguk-angguk menahan tawa melihat
keseriusannya. Saya lihat mukanya tetap temonyo
seperti waktu pertama melihat. Sebenarnya saya ingin memeras jeruk nipis di
lukanya dengan mengatakan ini, ”Kamu
patah hati ditinggal menikah, ya? Ah pasti kekasihmu sekarang lagi ndak pakai
baju. Hawanya sumuk begini. Pasti suaminya tak tahan melihat kekasihmu
telanjang dada dan 99% pasti segera menerkam kekasihmu yang kini sudah jadi
istrinya. Mungkin awalnya, kekasihmu sedikit menolak, tapi lama-lama....
Kekasihmu yang akan minta diterkam. Percayalah!!”
Tapi
mungkin....!! Ya, mungkin saja, orang tuanya masih rajin mengirim doa
kepadanya, sehingga saya mengurungkan niat saya. Tidak tega rasanya. Meski saya
sendiri tahu bagaimana rasanya. Dan welas asih dari mukanya masih ada dan
bahkan kini memancar kuat hingga melahirkan rasa iba yang mendalam.
Alhasil,
saya jadi garuk-garuk kepala saya yang tak gatal lantaran bingung mesti berkata
apa.
Ceritanya si
temonyo ini sudah lima tahun lebih berpacaran dengan seorang gadis yang menurut
saya lumayan. Keduanya saling mencintai meski hubungan remaja tanggung sering
kandas karena perkara sepele: dia belum juga lulus, kekasihnya sudah bekerja di
bank dan mapan. Lalu tetangganya yang seorang polisi datang ke orang tua si
perempuan dan melamar. Si perempuan pun sudah nangis gulung-gulung menolak.
Tapi, apa daya. Si temonyo tak juga
lulus. Belum bekerja. Dan orang tua si perempuan punya banyak hutang budi
dengan orang tua si polisi. Akhirnya sekeras apapun si temonyo berusaha, dia kalah. Si perempuan menikah.
”Beberapa
bulan setelah pernikahan itu, saya sempat telfon kekasih saya. Kekasih saya
menyuruh untuk melupakan cinta kami, mas. Dia bilang, ’dia sudah mencintai
suaminya’. Sakit rasanya, mas.” Kata si temonyo.
”Kok dulu
tidak mengajak kawin lari?” tanya saya.
”Pacar saya ndak berani, mas?”
”Oh...
Tragis, ya?” jawab saya sekenanya. ”Kamu
ndak mencoba memaksa dia atau
membujuk dia lebih keras gitu?” Kejar
saya.
”Sudah, mas.
Semakin mendekati pernikahan, pacar saya semakin sublim, mas. Dia menyuruh saya
pasrah dengan takdir. ’Jodoh tidak akan kemana,’ kata kekasih saya. Ya, saya
tambah sakit. Apalagi BBM saya sudah semakin jarang dibalas dan saya pernah
lihat kekasih saya dibonceng keluar cari makan. Dan saya maki-maki dia. Tapi,
pacar saya hanya menangis saja. Tidak menjawab. Saya, tanya ’apa dia mencintai
saya?’ Dia tidak menjawab. Hanya menangis.”
”Hmmm... Asu
juga, ya?” Saya mulai memanasi.
”Tidak, mas.
Pacar saya sebenarnya baik. Dia setia. Dia hanya tak kuat menanggung beban.”
”Hmmm...
Begitu, ya? Tapi setidaknya sekarang beban kekasihmu berkurang.”
”Maksudnya?”
”Yaa, beban
tekanan keluarga. Sekarang kan ada
yang bertanggungjawab pada hidupnya.”
”Kalau hanya
bertanggungjawab menghidupi, saya mampu kok
meskipun belum lulus. Kenalan saya banyak. Saya pasti bisa kerja!” Si temonyo
memprotes.
”Sudah
terjadi. Kamu mau apa? Ya sudah. Sekarang saya temani ngopi kalau gitu.”
”Sampean benar, mas. Terimakasih.”
Jawabnya pasrah.
”Sekarang,
satu-satunya beban mantanmu itu, ya, badan suaminya.” Kata saya, keceplosan.
Dia menunduk
dalam dan tidak berkata apa-apa. Saya agak menyesal dengan kelancangan mulut
saya. Saya tidak melihat mukanya. Tapi, pelan-pelan saya dengar bibirnya
terisak. Dan saya yakin kalau dia menangis saat saya melihat air matanya
menetes di plastik bungkus rokok dan es teh yang dia pesan.
Asu betul
saya ini. Saya mengutuki diri saya sendiri. Mengutuki kelancangan mulut saya.
Bukankah seharusnya saya menghibur dia. Entah mengapa rasa sakit itu
pelan-pelan merambat di batin saya.
Saya pegang
dan mengelus pundak pria kurus ini. Saya tak mampu berkata apa-apa. Tiba-tiba di
kepala saya memutar bayangan kekasih saya menikah dengan orang lain karena
perkara remeh. Ya, pasti sakit sekali rasanya. Entahlah, mungkin ini hukuman
langsung atas kelancangan mulut saya. Biasanya saya tak pernah tergerak melihat
seorang pria menangis. Tapi, kali ini saya seperti dibawa hanyut dalam
kesedihannya. Duh, Gusti... Nyuwun
Ngapuro...
**
Mungkin pada
akhirnya semua jadi tidak penting setelah kamu patah hati ditinggal menikah.
Mungkin juga semua orang — termasuk saya — menganggap kamu picisan dan menye-menye. Tapi, percayalah, mereka
hanya tidak mengerti dan belum waktunya mendapat hal serupa seperti yang kamu
rasakan sekarang. Atau mungkin sudah mengalami kemudian merasa sombong karena telah
melewati masa-masa sulit. Dan tentu saja, kalau kamu masih amburadul seperti
ini, tentu kamu belum melewati masa-masa itu dan belum ”mengikhlaskan”.
Tentunya,
persoalan kamu ditinggal menikah tidak sepenting penggusuran lahan. Tidak
seurgen kasus pertambangan di freeport dan banyak persoalan lainnya. Kasus luka
batinmu hanya butiran debu diantara semua itu, termasuk dengan kamu
mengesampingkan masa depan dengan menyelesaikan kuliah yang telah sudah kamu
mulai. Selain itu, secara tidak langsung juga mengesampingkan harapan
orang-orang yang telah percaya padamu; menggantungkan masa depan dan hari tua
orang tuamu pada selembar ijasah kuliahmu. Ya, kamu sudah bersalah. Tapi, sejak
dulu luka adalah luka. Luka itu milik siapa saja yang punya harapan, pernah
merasa memiliki sesuatu,
Mungkin luka
batinmu adalah sesuatu yang sangat personal sifatnya: antara kamu
dan kekasihmu. Dan porsi benar-salah di dalamnya kalian berdua yang berhak
menakar. Meski ada beberapa persen lukamu adalah kesalahanku, orang tuamu,
orang tua kekasihmu dan semua masyarakat yang memperolok-olok kelemahanmu.
Kalian
berdua bebas menentukan siapa yang berhak dipersalahkan. Menghitungnya
berdasarkan keyakinan kalian, rasa sayang, berapa waktu yang kalian habiskan
berdua, janji yang mana yang tak ditepati dan siapa diantara kalian yang tidak
setia pada komitmen. Tapi, sebelumnya saya minta maaf, sebagai pihak yang
memiliki kesalahan beberapa persen atas bencana yang menimpamu dan kekasihmu. Saya
dan masyarakat punya andil dalam putusnya cinta kalian. Saya dan masyarakat,
secara tidak langsung punya andil dalam menentukan dan membuat standar-standar
hidup, dimana standar tersebut membuat cinta kalian goyah. Standar-standar
hidup itu pada akhirnya jadi keniscayaan yang kemudian memisahkan cinta kalian.
Ya, semua
standar-standar hidup tentang kaya-miskin, standar kepantasan dan syarat
menjadi suami (harus punya ”penghasilan lebih”, status sosial dan kemapanan
dalam taraf tertentu) — sengaja atau tidak — telah diam-diam kita amini bersama hingga kamu
ditolak dan terbuang. Meski saya dan beberapa orang tak setuju dengan
standar-standar itu, tapi yang jelas kita tak mampu untuk merubahnya dan
menyelamatkan cintamu.
Kamu memang bukan siapa-siapa. Bahkan
kalau kebetulan kamu tidak patah hati, dan menghina saya lagi terang-terangan
seperti dulu, sudah bisa saya pastikan mukamu akan biru kena tinju. Kamu pun
sama sekali tidak penting dalam kehidupan masyarakat, kampungmu, Indonesiamu,
pemerintahmu, kampusmu. Sehingga, (mungkin) kami semua tidak perlu merubah
standar yang ada demi keselamatan cinta kalian. Tapi, bagaimanapun juga hatimu
telah terluka dan itu adalah kesalahan saya dan masyarakat yang meyakini
tengiknya standar itu.
Lara hatimu adalah wajah kita semua. Lara
hatimu adalah kepengecutan kita menghadapi hidup, sehingga membuat orang tuamu
takut mempercayakan putrinya padamu. Pernikahannya denganmu kelak, menurut orang
tua si gadis, hanya membuat anaknya kelaparan. Meski tanpa sadar orang tua si
gadis meremehkan kedigdayaan Tuhan yang maha memelihara; yang mencukupkan
rejeki para lelaki yang telah berani menikahi perempuan.
Kita semua terlalu takut miskin, sehingga
cinta berlebih orang tua pada putrinya membuat para orang tua secara tidak
sadar terjerumus pada sikap meremehkan kemampuanmu menafkahi dan kemampuan
Tuhan memberi penghidupan. Maafkan atas
kepengecutan dan sikap matrealistis masyarakat. Maafkan atas ketidakberdayaanku
merubah keadaan.
Di jaman sudrun ini, cinta hanya bisa
tumbuh di tanah yang baik. Sehingga tanah gersang ketidakmungkinan ekonomi,
status sosial dan ketidakmapanan hampir mustahil ditumbuhi harapan cinta. Meski
di satu sisi pernikahan bukan hanya perkara cinta belaka. Tapi, kesalahan
kekasihmu dan orang tuanya adalah tidak memberikanmu sedikit waktu untuk
membuktikan bila yang kau miliki tidak hanya cinta, tapi kesanggupan untuk
bertanggungjawab. Dengan apa? Ah, tentu Tuhan punya banyak cara.
Mereka tidak memberimu kesempatan untuk
membuktikan bila bukan hanya polisi yang sanggup memberikan penghidupan pada
kekasihmu, tapi mahasiswa belum lulus pun bisa.
Pernikahan tidak hanya urusan cinta, tapi
juga perlu materi untuk membuat cinta itu tetap hidup. Tapi, seharusnya
pernikahan lebih besar dari uang. Pernikahan harus lebih besar dari status
sosial dan kesanggupan-kesanggupan membeli hidup. Bila pernikahan hanya perkara
siapa yang sanggup membayar lebih mahal, lalu apa bedanya pernikahan dengan
pelacuran?
Mungkin itulah kenapa banyak orang tua
gagal mengajarkan cinta kepada anak-anak mereka. Tragedi semacam inilah yang membuat
banyak orang tua kalap oleh materi. Sehingga kekudusan pernikahan jadi sekedar
kosmetik pelengkap basa-basi dan upaya menutup hutang budi. Pernikahan yang
seharusnya menjadi peristiwa rohani, dikerdilkan hanya sebatas berapa banyak
mas kawin yang dibawa; kehidupan mewah yang dijanjikan dikemudian hari. Bukankah
kita harus meletakkan cinta pada tempat yang semestinya agar kelak kita sanggup
untuk membisikkan cinta kasih pada anak-anak kita nanti. Dan yang paling
penting adalah membuat pernikahan lebih besar dari segala administrasi dunia
dan melupakan segala remeh-temeh perjamuan nikah di gedung mewah, pakaian
terbaik, tapi tidak menjadikan Tuhan dan persoalan peradaban sebagai subjek
utama.
***
Hai, bro. Beberapa hari lalu, saya
liat-liat twitter dan nemu meme si botak Mario Teguh. Tapi, entah mengapa saya
ingin menyimpan meme itu. Eh, tak tahunya, hari ini kamu datang dengan luka.
Jangan memperjuangkan orang yang tidak
berani memperjuangkan anda — Mario Teguh.
Biasanya saya rada jengkel dengan omongannya.
Tapi, mungkin meme itu lebih cocok buat kamu dan anggap saja itu jalan keluar
dan petunjuk dari Tuhan yang bakal segera membuka medan perjuangan baru.
Semoga.
****
Saya melihat
punggungnya berlalu dan menyusuri jalanan remang. Saya melihat ada sebungkus
rokok di meja. Saya tidak tahu ternyata si temonyo
membelikan saya sebungkus rokok. Ah...
Semoga,
bapak ibukmu senantiasa mengirim Al Fatihah buatmu. Karena doa merekalah yang
menyelamatkan muka temonyomu dari tinjuku. Dan semoga doa mereka pula yang akan
mengantarmu ke sebaik-baiknya cinta. Amin.
Jakarta,
Juni 2015
Citra
D. Vresti Trisna
3 komentar:
saya turut prihatin atas nama "masa malu"
kisah klasik anak persma...... :-D:-D:-D:-D:-D:-D:-D:-D:-D
saya sependapat denganmu bang, meski tidak semuanya juga seperti itu. ya memang luka seperti itu, pria bisa dengan tiba2 berubah jadi anak ingusan, karena soal perasaan
Posting Komentar
Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.