Hidup butuh lebih dari sekedar kerja biasa, dan aku tau itu. Mungkin karena alasan ini, seseorang masih butuh kerja sampingan.
Buruh pabrik masih butuh untuk berdagang kecil-kecilan di rumah. Perempuan karir masih butuh untuk merayu atasannya dengan rok seragam kerja yang minim untuk dapat sesuatu yang lebih dari bosnya. Para mahasiswi juga masih butuh untuk menjual dirinya pada rekan-rekan kuliahnya, pada pria hidung belang dengan harga yang sangat tinggi. Bahkan pada para dosen yang kolot dalam urusan nilai. Dan aku yakin itu bukan untuk sekedar mendapat nilai A pada satu mata kuliah. Sebab kita tak boleh beli rokok, kosmetik, dan sepiring nasi campur dengan uang palsu.
Kehidupan butuh lebih banyak pengorbanan untuk dilalui. Kehidupan memaksa seseorang menjual apa saja yang mereka punya agar bisa terus hidup. Mulai dari barang loakan milik kita, pakaian, segumpal daging, sampai harga diri untuk sekedar makan.
Setelah perut kita kenyang. Kehidupan masih akan memperdaya kita untuk bekerja ekstra keras lagi. Sebab masih ada barang-barang mewah yang sangat menggoda untuk di miliki. Sebab, diatas uang masih ada emas batangan yang memang hukumnya wajib untuk dimiliki sebagai gengsi. Sebab dunia akan mencemooh bila kita sekedar menjadi penonton untuk kontes berburu emas. Alhasil, kita masih merasa perlu untuk buka anak perusahaan di tiap kota. Kita masih butuh untuk menyesaki kampung-kampung dan tiap gang dengan toko waralaba yang menjanjikan pelayanan serta pramuniaga yang montok seperti tahu. Disamping itu, demi emas kita juga membanjiri puluhan desa dengan lumpur panas, menjadikan daerah sekitar semburan menjadi seperti kota mati yang di tinggalkan penghuninya. Dan semua demi emas. Lebih dari sekedar uang receh untuk makan. Juga gengsi dan pergaulan.
Kehidupan juga membuat kita lebih cerdik dari bajingan-bajingan kampung yang cuma menjarah sepeda motor. Lebih intelek dari mahasiswa-mahasiswa penjilat birokrasi dan makelar beasiswa. Bahkan kehidupan membuat kecerdasan kita hampir mengungguli Tuhan. Ya, kita akan puas jika sudah demikian. Mendewakan kehidupan dan menjadikannya segala-galanya. Sekalipun kita tak akan pernah sadar bila kehidupan membuat kemanusiaan kita menjadi kempot. Menjadikan kepala kita semakin membesar dengan tubuh yang semakin mengecil dan muka kita memerah karena sudah lama tak pernah makan nasi. Sebab untuk makan, kita tak perlu nasi. Karena makan emas dan permata jauh lebih menyenangkan, bergengsi.
Nasi itu makanan buruh, tani, asongan, pengamen, bajingan kampung, kiai, pegawai rendahan, pengemis. Sehingga nasi yang dimakan manusia itu masih setingkat diatas kucing yang hanya makan nasi yang diurap dengan ikan asin, sehingga ketika di meja makan kita masih ada ikan asin, sambal dan nasi, maka jarak kita dengan kucing sudah semakin dekat. Bahkan hasil kita bekerja tak membuat makanan kita lebih baik dari kucing anggora dan anjing berbulu lebat milik para cukong, bos, koruptor, dan pemilik waralaba. Sehingga kalau kita mengaku menggenggam dunia di tangan, hendaknya menjauhi makan nasi. Sebab kita yang telah menggenggam dunia itu sudah berada di langit. Memperbincangkan bisnis dengan Tuhan.
Sedangkan bagi para bebodoran kehidupan, badut-badut zaman, dan segala yang menjadi olok-olok tetap akan berada di bawah. Menggantungkan hidupnya pada apapun yang dianggap keramat. Berspekulasi kecil-kecilan dengan hantu-hantu kuburan untuk sekedar menang lotre dan judi togel. Sebab mereka akan sadar bila tak memiliki apapun kecuali tubuhnya dan tanah dua kali satu meter untuk istirahat, menuntut dan menunggu sorga yang dijanjikan Tuhan. Menanti kemungkinan-kemungkinan yang tak bisa didapatkan semasa hidup. karena rumus pasti bagi yang hendak menguasai dunia adalah dengan cara membunuh kemungkinan manusia lainnya.
Kehidupan tidak akan memberikan kemungkinan, jaminan hidup, dan tempat yang layak bagi mereka yang terpinggirkan. Sebab semuanya sudah di kapling atas nama kepentingan. Kita bisa lihat bagaimana israel mengusir rakyat Palestina dari kampungnya sendiri. Sehingga gagasan untuk mencari hunian baru di sorga adalah satu-satunya kemungkinan yang mesti dicoba. Atau kalau kita tak ingin bunuh diri cepat-cepat, kita perlu sedikit lebih kreatif untuk membunuh kemungkinan manusia lain.
Citra D. Vresti Trisna
Sidoarjo, 22 Februari 2011
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.