Kletek menjelang malam. Duduk di tempat biasa, pojokan sambil membaca-baca sebuah roman karya Maxim Gorki – Ibunda. Menarik betul Gorki membawaku berputar-putar di dunianya, terbang di seputaran langit Soviet waktu itu.
Menjelang Isya, petualanganku terbang bersama tulisan Gorki harus berakhir. Seseorang datang. Duduk di sebelahku. Menyaksikan dengan tatapan ganjil, dimana bila kuartikan sorot matanya, ada semacam baner “Aku ingin menjilat kuping anda. Anda sudah terpojok. Ayo, suka rela atau harus ku paksa?” Aku menelan ludah. “Alamak, bencong ini”.
Perawakannya kekar. Rambutnya pendek, dengan sedikit kuncir yang dipaksakan. Bibirnya nampaknya sudah mendapat perawatan serius, tapi cukup murah, dengan silikon. Alhasil, bibir itu pun nampak kekar.
“Teh anget, mas” Dia memesan minum, kemudian melirik padaku.
“Sinau, mas?”
“Ya.” jawabku singkat. Kini aku membetulkan kembali letak dudukku yang sembarangan, agar ia tak mengira aku pasrah dan siap menerima serangan.
“Wuih, kereng mas iki. Koyok artis ae. Koyok sopo yo? Ah iyo… Beri Prima” Ujarnya, lantas tertawa padaku sambil mendaratkan tangannya dengan jari-jari yang sebesar pisang susu. Sepertinya dia memulai spekulasi awalnya.
Aduh. Sudah bencong, jadul lagi. Kini ku singkirkan lutut kakiku agar tangannya yang mulai meremas-remas bisa menyingkir.
Tiba-tiba sosok pahlawan datang dengan sedikit dramatisasi murahan kelas kampung.
Ia mengambil tempat diantara kami. Sehingga aku merasa sedikit lega karena bencong kempung berjari pisang mendapat rintangan yang berarti.
Kali ini giliran bapak tadi yang menolongku. Alamak, semoga dia tidak lebih mengerikan ketimbang bencong tadi. Firasatku tak enak.
Ia seorang tua, aneh, dan selalu tanya hal-hal yang tak penting soal buku yang aku baca, dimana ia selalu manggut-manggut dengan ekspresi layaknya mahasiswa S3 mendengarkan kuliah umum. Ternyata ketika bicara panjang lebar soal keluarganya yang tak satupun ku kenal. Nah, dia bercerita seolah-olah aku juga tau banyak tentang keluarganya. Dan sebagai jurus pamungkas menghadapi orang macam ini, aku punya tiga cara: pertama manggut-manggut sok tau. Kedua memberi penegasan di kalimat akhir, contohnya: Oh gitu ya pak, lantas bagaimana?, iya, pak, memang harusnya seperti itu. Ketiga memberikan pertanyaan seolah perduli: Oh jadi mbak lastri itu kaya gitu ya, pak? lantas, sekarang melahirkan dimana?
Kini mulutnya sudah mulai megap-megap. Aku menawarkan rokok padanya. Ia mengucapkan banyak terimakasih, juga banyak “maki” yang mesti kuterjemahkan pelan-pelan.
“Mas, dari wajah sampeyan. Aku tau kalau sampeyan itu banyak menghabiskan waktu di rumah, ketimbang keluar mencari petualangan”
“Ah, apa ya seperti itu, mas? Rasanya tidak. Saya sudah cukup banyak keluar untuk melakukan petualangan seperti kata bapak.”
“Ah, ya mbok ndak usah bohong sama saya. Wajah itu ndak bias nipu, mas. Sekaliun saya tau mas bukan orang yang ambisius, paling tidak, sampean harus punya sedikit gairah dengan cita-cita yang jelas. Dan untuk berangkat ke sana, sampean butuh pertualangan. Apapun itu”.
Kini mulai ku nyalakan hpku untuk merekam pembicaraan ini.
“Kalau boleh tau, petualangan apa maksud bapak?”
“Petualangan ya petualangan. Bukan wisata. Bukan nuris, ambil foto, senang-senang dan selesai. Tapi petualangan yang lebih pada memacu kerja fisik, dimana pada akhirnya spiritual ikut tertempa dengan merasakan dan memahami apa yang tampak dan tak nampak”
“Belajar berempati, mungkin?”
“Ya seperti itu.” Jawabnya.
“Menurut bapak, apa tujuan petualangan?” ujarku kembali memulai pertanyaan.
“Pengalaman hidup. Itu yang jelas. Sisanya ya mengasah ketahanan batinmu untuk berkelahi dengan realitas. Kita sudah cukup lama menjadi manusia cuek. Lha lewat petualangan semua pintu kemanusiaan kembali terbuka.”
“Kalau tadi yang dimaksud dengan pertahanan?”
“Tahan ya tahan. Seperti melewan rasa capek, lapar, haus, panas, dingin, kehujanan, kepanasan. Dengan keadaan seerti itu, mas masih di tuntut untuk bias berpikir agar bias keluar dari kesulitan-kesulitan hidup. Bisa tidak? Kalau tidak, ya berarti gagal petualangannya. Gitu.”
“Ya, ya, ya, pak. Masokis ya?”
“Apa itu masokis?” kini giliran bapak ini yang bicara.
“Semacam kelainan psikologis. Jadi ketika kita dalam posisi mapan macam ini. Kita justru kengen dan mendambakan diri dalam posisi sengsara”.
Lelaki itu manggut-manggut. Matanya menerawang ke atas. Seperti sedang berpikir. “Masokis ya? Ya tidak juga! Kalau tadi mas sebut kelainan psikologis untuk tetap sengsara, rasanya tidak. Sebab arti petualangan jadi ndak jelas. Seperti yang sampeyan omongkan tadi.”
“Mungkin seperti ini, pak. Jadi kaya gini. Untuk apa kita susah-susah bertualang? Bersusah-susah dalam perjalanan, dengan alas an menjalani tes pelatihan kepribadian dan hidup dengan rasa keperdulian. Sedangkan di satu sisi, kita bisa ongkang-ongkang di rumah; ngopi, merokok, makan, tidur, enak. Tapi kita malah memilih untuk hidu susah; kepanasan, kehujanan. Dan itulah yang di sebut masokis.” Kini pikiranku melayang pada patualanganku ke puncak Arjuna di musim hujan. Dan merasakan bagaimana rasanya tersengat petir, sekalipun cuma separuh badan.
“Ya tidak bisa seperti itu, mas. Petualangan itu, kebutuhan orang waras; orang-orang yang mau berpikir dan menjalani hidup dengan belajar keperdulian. Seperti itu, mas. Jadi bukan masokis.” Ujarnya, berkilah.
Aku manggut-manggut. Keras kepala ini orang, pikirku. Tiba-tiba mulutnya menjadi agak aneh. Lirikan matanya terus tertuju pada rokokku.
“Silahkan pak, rokoknya.”
“Oh ya, ya. Makasih lo mas. Tau aja. Hahahaha.” Dia tertawa lepas, sekarang.
“Jadi kalau petualangan yang seperti bapak katakan, tadi. Petualangan itu boleh bermanja-manja, ya, pak? Bergantung uang yang kita bawa; jadi boleh bawa kantung tidur, bantal, guling, selimut hangat, sewa hotel, pelesiran.”
“Oh, ya ndak boleh itu. Petualangan itu harus melupakan semua itu…”
“Meskipun kita bisa menyelenggarakan semua itu?” tukasku, memotong.
“Ya, ya, ya. Meskipun kita punya mobil. Ya tetap harus jalan kaki. Merasakan langkah setapak demi setapak. Dan yang harus di ingat! Petualangan itu harus murni. Tidak boleh ada tujuan-tujuan lain, selain mengerti arti hidup.”
Ngeyel betul nih orang. Lha kalau kaya gitu, apa ndak masokis itu namanya?
“Wah, kelihatannya bapak ini banyak pengalamannya, ya?” mendengar ucapanku, kali ini dia manggut-manggut. Sambil terselip sebuah senyum yang aneh. Semacam kebanggaan yang di tutup-tutupi. “Kalau boleh tau, kemana saja petualangan bapak selama ini?”
“Banyak. Dulu pernah bertualang ke Papua, Maluku, Sulawesi, Timor-timur waktu belum merdeka. Dan yang paling jauh itu ke Malaysia.”
“Ngapain pak disana?”
“Dulu aku ikut ekspedisi. Semacam kirim barang ke berbagai kota. Nah, dari situ aku melanglang buana ke seluruh Indonesia.”
“Kerja, pak?”
“Iya.”
“Oh.”
Kali ini matanya sedikit mendelik. Seperti ada salah kata yang fatal. Dia jadi sedikir aneh, dan nampak tidak lagi menikmati kacangnya.
Setelah dia menelpon, dan seseorang menjemputnya. Ia pamit padaku. Beranjak pergi dengan banyak terimakasih soal rokok. Nampaknya ia ingin buru-buru pergi dari warkop ini.
Dan ia berlalu. Sementara aku menghela napas.
Asem.
Warkop Kletek, 09 April 2011
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.