Mari sejenak kita bicara soal sejarah dan revolusi.
Sejarah yang tanpa kita sadari telah menjadi Tuhan dalam kehidupan. Semua tercermin dari cara kita memujanya, dengan terus mengutipnya bagai doa sehari-hari.
Sebagai pasien-pasien sejarah, kita telah dibikin nihil dengan semangat perubahan dan memilih sesuatu yang telah menjadi kembang kertas pilihan rasional perjuangan – revolusi – sekalipun kita tak akan pernah betul-betul berani untuk kesana. Disengaja atau tidak, sejarah telah membuat kita menjadi apa yang diharapkan produsen-produsennya. Karena sejarah terbentuk dari kultur-kultur yang diamini sebagai jalan hidup.
Masihkah kita akan bertanya dan mendiskusikan persoalan sejarah dan revolusi yang sudah menjadi mitos. Kalaupun ada yang memperbincangkan, sudah bisa dipastikan aka mengalami konflik batin, antara keberanian dan mitos tangan kiri yang terkepal. Pada akhirnya kita akan menemui diri kita menjadi sosok yang mengerikan. Ngelantur kesana-kemari soal revolusi yang sudah-sudah, meski gagal, sekalipun siapa yang diajak ngelantur sudah paham bagaimana ending ceritanya.
Hal yang perlu dicatat adalah, sejarah tidak pernah memberikan kemungkinan apapun kecuali pengkhianatan dan kekecewaan. Cita-cita Marx akan sebuah revolusi kelas buruh atau proletariat melawan kapitalisme yang menghasilkan masyarakat tanpa kelas. Namun pada masa sulit perlawanan Marx, orang-orang yang diperjuangkan Marx lebih mempercayai sejarah terdahulunya ketimbang sederet teori nilai lebih yang digagasnya untuk melawan. Maka hiduplah Marx dari satu pembuangan, ke pembuangan lainnya.
Mungkin Marx kecewa. Sekalipun tidak pernah ditunjukkannya dengan berhenti melakukan perlawanan dan menawarkan gagasan baru yang akan membuat dunia lebih sehat dari yang sudah-sudah. Tapi paling tidak Marx mencatat bila kebutuhan perlawanan jaman tidak serta merta harus melakukan revolusi. Marx juga akan mencatat segala sesuatu yang menjadi kejutan-kejutan revolusi dimana sebuah revolusi akan membuat kita lebih banyak menamui mimpi buruk. Dan sebuah kenyataan yang paling utama seorang revolusioner akan menemui ajalnya lewat dua hal: mati muda dalam gelap dan senjata.
Tak berselang lama dari perjuangan kelas Marx, seorang tokoh progresif datang untuk membakukan ajaran Marx dalam idiologi komunisnya. Konsep dasar Marx, secara tidak langsung menjadi kitab suci bagi masyarakat yang masih percaya pada revolusi dan harapan baru untuk menjadikan dunia tanpa kelas. Sekalipun teori revolusi akan tetap menjadi teori yang sebatas menjelaskan cara dunia bekerja, tidak pernah betul-betul bisa mematahkan kekuatan sejarah. Bagaimanapun juga sejarah tak akan pernah bengkok kecuali melalui cut generation. Hingga pada akhirnya Lenin pun kehilangan arah, jalan yang pada awalnya sebagi rumus wajib paling kuat untuk sebuah gerakan kebudayaan, sosial, ekonomi dengan pertumpahan darah yang telah dikamuflase sedemikian rupa. Dan datanglah masa itu. Masa dimana justru penghianatan dan saling bunuh sesama kawan terjadi diantara mereka.
Pada akhirnya Lenin pun akan bertanya – untuk apa? sesuatu yang pada awalnya nampak lux, tiba-tiba nampak rumit. Sesuatu yang disebutnya ‘tertinggal’ dan harus dihancurkan dengan api dan baja yang tidak lain adalah Tsar, gereja, dan para tuan tanah. Nasib dan sejarah memberikan jawaban bagi pertanyaan Lenin. Jawaban yang tak pernah ia perhitungkan sama sekali. Sosok Tuhan yang selama ini ‘mungkin’ dilawannya, tiba-tiba harus hadir dalam wajah yang lain – perang. Hingga kenyataan yang harus dihadapi lenin adalah perang melawan jerman pada awal 1917. Kekalahan, kelemahan mental perjuangan dari para komandan yang tidak bermutu korban sejarah yang tak pernah mendidik apa-apa kecuali mental yang picik ketika dua belas tahun sebelumnya ditelanjangi Jepang.
Di Indonesia, sejarah hadir dengan wajah yang tak kalah seram dan berdarah-darah. Revolusi yang lahir harus menelan ludah untuk dipecundangi dan dihancurkan sampai akar-akarnya oleh kompromi warisan feodalisme raja jawa. Sejarah feodalisme di Indonesia hanya mengajari kesadaran akan peran sosial, dimana yang berkuasa mesti mendongak. Sedangkan bagi mereka yang berada di bawah mesti harus berjongkok-jongkok menghormat. Kalau ditelisik lebih jauh, sejarah kekuasaan raja-raja jawa yang berdarah-darah dan etos harga diri, mendadak harus digantikan dengan kompromi ketika Belanda mulai menjajah. Sehingga efek sejarah yang paling kuat mendominasi adalah sejak masa penjajahan kolonial.
Kini semua pasien sejarah yang masih suka menggembar-gemborkan kata revolusi, harus menemui titik nadir dan keadaan yang serba putus asa. Sebab gema revolusi yang dikoarkan tak kunjung terealisasi. Kesadaran akan rasa takut sudah mulai menjalar pada kelompok aktivis kiri. Orientasi para pengepal tangan kiri sudah jauh berbeda dengan rule dan cita-cita perjuangan. Dari semangat menjadi bangsa yang baik, menjadi sekedar mahasiswa oportunis yang menghambakan proyek basah. Sehingga pada akhirnya gema revolusi yang diteriakkan hanya sekedar kosmetik, pemanis diskusi, dan ajang mencari masa agar dapat simpati banyak orang, sampai akhirnya semua pengikutnya membebek.
Kesadaran dan pemahaman revolusi pada akhirnya menjadi terbiaskan orientasi dan tujuan-tujuan pribadi. Kalaupun ada yang menganggapnya sebagai ibadah, orientasinya masih pada kekecewaan karena tidak kunjung ada revolusi lanjutan dari yang sudah-sudah dan jawaban akan kondisi saat ini. Revolusi sendiri sangatlah mahal harganya. Ditempuh dengan banyak pertaruhan, darah dan uang. Lagipula kepercayaan masokistik irrasional tentang keberanian mati muda ala Soe Hok Gie sudah jarang dan hampir tidak ada lagi. Sebab generasi penerus pengepal tangan kiri hanya mewarisi sejarah penghianatan yang piciknya luar biasa. Hanya kebobrokan dan jalangnya feodalisme yang benar-benar dihayati betul.
Pasien-pasien sejarah juga amat piawai dalam melakukan kebohongan gerakan. Mereka mengkamuflasekan kompromi dalam bungkus heroisme perlawanan. Sebab harga untuk sebuah kesepakatan kompromi akan dibayar dengan harga yang sangat tinggi di kedua belah pihak. Baik penggerak, maupun peredam. Karena rumus masa yang berlaku sekarang sudah berbeda dengan sebelumnya. Kalau dulu, masa bisa diartikan kekuatan. Sekarang, masa adalah komoditi yang bisa diperjual belikan, dan keberadaannya tak bisa dianalisis oleh teori manapun.
Di Indonesia, revolusi dan teorinya ibarat tahanan yang menunggu dan bersiap di tembak mati. Sebab sejarah punya masa dan metodenya sendiri. Sejarah memusuhi siapa saja. Ia lahir dari guratan peristiwa silam yang ditulis, disajikan layaknya menu wajib sehari-hari. Disajikan layaknya televisi dengan acara yang berlabel ‘bimbingan orang tua’. Dan memaksa setiap orang memahami dan mempelajarinya layaknya kitab suci, dan bahkan di tiduri layaknya seorang suami atau istri.
Ketika sejarah menelanjangi revolusi, kita memutuskan untuk menjadi seperti siapa? Marx, atau…
Dan kemudian menunggu mati dalam kegelapan.
5 Februari 2011
Citra D. Vresti Trisna
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.