Dalam sekali hidup, terkadang aku masih ragu untuk menentukan harus kemana aku ini. Menjadi benar-benar baik atau benar-benar bandit. Tapi mengapa kehidupan selalu mengarahkan untuk menjadi yang benar-benar bandit? Seakan-akan semua yang mengarahkanku menjadi bandit, tersusun secara sistemik dan membuatku tidak punya pilihan lain kecuali ikut arus.
Ini adalah penghujung tahun, yang berarti akan berganti masa, cita dan harapan. Masihkah aku sanggup menjadi sosok yang aku dan banyak orang kenal? Sosok yang dianggap “barbar” dalam versi orang-orang di sekitarku.
Mereka yang membenciku, berteriak sumbang di luaran. Mengolok-olok sok idialis, konservatif, mesum, pemberontak, gila dan berbagai makian tidak pantas lainnya. Sedangkan yang masih perduli, memberiku saran, pertimbangan dan anjuran, yang kesemuanya bertentangan dengan diriku. Harus kemana aku ini? Ingin menentukan jalan hidup saja sulit. Bahkan mereka yang masih perduli juga tak memberikan ruang padaku untuk menjadi diri sendiri.
Namun, hidup haruslah untuk saling mendengarkan. Menghargai nasehat orang yang perduli dengan kita. Apapun bentuknya. Itulah yang ku lakukan di penghujung tahun 2010 ini. Mendengarkan nasihat.
*
Sudahlah. Cukup. Kehidupan ini teramat indah bila harus dilewatkan dengan cara terus melawan. Setiap perlawanan akan selalu menemukan ujungnya. Mengapa kita tidak hidup secara wajar? dimana kita masih memiliki berbagai kemungkinan untuk keluar dari sulitnya keadaan.
Tentunya kau paham, bagaimana kerasnya watak dari kehidupan ini. Jadi kesimpulannya, kita tak perlu terlalu demonstratif dalam menjalani hidup. Siapa saja yang bertentangan dengan aturan dunia, pasti akan dilibas. Dijatuhkan. Dibunuh tanpa sempat meminta ampun.
Kalau kita menganggap tugas meneruskan sejarah itu penting, mengapa tidak lantas ikut aturan dan hidup enak. Kalau istilah orang dulu taat, pasrah bongkok’an pada P4. Sekarang ya ndak usah P4, asalkan nurut aturan dan beres. Bukankah sesekali hidup kita musti nurut apa yang dikatakan ibu bapak di rumah. Tidak usah sekolah tinggi-tinggi ndak apa-apa, asal bisa jadi pegawai pemerintah. Kalau ditanya soal pegawai pemerintah mesti nyoblos apa, ya fleksibel saja. Kalau dulu pegawai pemerintah mesti nyoblos Golkar, kalau sekarang ya Demokrat. Tidak usah jadi penentang. Sublim saja, asalkan selamat.
Untuk yang mahasiswa, ya jadilah mahasiswa yang baik. Dapat nilai tertinggi, dapat beasiswa dan bantu keuangan orang tua di rumah. Kalau bapaknya tidak kaya-kaya amat, ya tidak usah jadi aktivis. Jika terpaksa harus jadi aktivis, ya aktivis yang pro kampus – taat pada rektor, Pembantu rektor, dekan, dan BEM. Terlalu reaksioner juga tidak baik bagi kita. Dipersulit kelulusannya baru tau rasa nanti.
Kalau aktif dalam LPM (Lembaga Pers Mahasiswa), ya tidak usah terlalu sok-sokan. Terlalu militan memberitakan kebenaran dan reaksioner atas kebijakan-kebijakan pemerintah atau kampus, justru malah kontra produktif nantinya. Diisukan mesum, dianggap bandit, pemberontak, bromocorah, PKI, ateis, baru tau rasa nantinya.
Mereka yang aktif dan bekerja di pers umum juga tidak usah terlalu idialis. Nyari berita aneh-aneh, toh nantinya bakal di cut oleh redaktur. Sang Tuhan ke dua atas kehidupan. Juga wartawan yang hidup dan kebetulan bekerja di Madura. Tidak usah terlalu usil memberitakan kehidupan geng-geng di daerah ini: ya kiainya, bupatinya dan belater-belaternya. Ingat-ingat bila keluarga keluarga kita menunggu di rumah.
Kalau para wartawan cap jempol riuh rendah ingin pamer soal kebijaksanaan, hendaknya kita belajar dari yang sudah-sudah. Kita perlu mengingat peristiwa dibakarnya kantor Radar Madura oleh komplotan santri. Persoalan yang meruncing akibat seorang wartawan terlalu usil mengurusi dan memberitakan ulah putra kiai yang mbalelo kehidupan rumah tangganya. Kalau sudah dibacok baru tau rasa nanti.
Bagi yang menganggap dirinya sebagai Pramisme, yang musti selalu melawan dan memperjuangkan kelas tertindas, kita mesti menilik kembali sejarah hidup Pram.
Semasa dalam Penjara Belanda, seorang pengarang tua menasehati “Pram. Tulisanmu itu bakal mengutuki dirimu sendiri. Dia akan menjadi hakim sekaligus jaksamu yang bakal memburumu seumur hidup. Jangan, Pram! Hiduplah dalam kedamaian. Hidup mudamu terlalu banyak ditelan penjara. kau diperlukan oleh dirimu sendiri…”. Karena Pram begitu bawel dan keras kepala, jadilah hidup Pram habis dalam tahanan.
Begitu juga dengan Karl Marx. Diusir dari satu negara ke negara lainnya dan harus hidup dalam penderitaan kelaparan dari waktu ke waktu. Satu per satu anaknya mati. Ia pun mati dalam gelap di ruang kerjanya. Sedang di kalangan filusuf, kematian Socrates tak kalah tragis. Dipaksa minum racun sampai mati. Ia tak menjadi apa-apa kecuali ajarannya dan muridnya yang terisak-isak menangisinya. Socrates dianggap berbahaya oleh otoritas di masanya karena menimbulkan keresahan dan goyahnya keyakinan para pemuda. Juga Galileo yang diasingkan dan disiksa oleh Gereja, karena anggapannya soal bumi berbeda dengan Gereja.
Soal benar atau salah anggapan yang dikemukakan otoritas, ya kita diam saja dan tidak usah macam-macam. Kau tak menghendaki mati dengan cara mereka, bukan? Kebahagiaan itu barang mahal. Untuk apa menjadi pemberontak jika kita dapat hidup secara layak dengan kompromi-kompromi kita? Mengapa kita tak lekas belajar hidup dengan damai?
Kalau harus dibilang pecundang, ya acuhkan saja. Toh mereka sebenarnya butuh makmur juga. Semua adalah suara sumbang yang menertawai dirinya dalam keadaan dikejar-kejar buah keberaniannya menentang. Kehidupan ini tak menyediakan tempat untuk para pemberontak. Sedangkan surga tak menyediakan tempatnya untuk mereka yang sublim dan bungkam pada kebenaran. Mana yang kau pilih?
“Sekarang kau mau kemana?” nasihat-nasihat mereka kembali mengejarku.
Tak berjawab.
Desember 2010
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.