Hanya
mungkin yang membedakan dengan istri-istri anda adalah perjuangan yang ia
lakukan ketika suaminya dibunuh. Apakah istri anda akan melakukan hal yang sama
ketika anda dibunuh?
Terlepas apa
yang menjadi motif perjuangan yang dilakukan Suciwati ini adalah bentuk rasa
cinta seorang istri pada suami, atau upaya menolak lupa, tapi yang jelas semua
itu patut diacungi jempol.
Untuk
mengenang perjuangan HAM yang dilakukan suaminya, Suciwati bersama
rekan-rekannya yang peduli pada perjuangan
HAM membangun musium HAM yang ia beri nama ”Omah Munir” sebagai strategi lain
menolak lupa.
Tapi,
mungkin yang masih mengganjal di kedalaman saya adalah: apakah dalam sekali
hidup ini kita perlu untuk menolak lupa? Apakah Munir merupakan satu-satunya
orang yang harus kita ingat perjuangannya dan kita tuntaskan kasusnya?
Saya
membayangkan apabila semua istri-istri korban yang terbunuh akibat kasus HAM punya
kesanggupan dan semangat yang sama dalam menolak lupa, lalu berapa banyak
musium perlu didirikan? Karena bisa kita bayangkan berapa banyak orang mati
karena persoalan HAM?
Musium
didirikan sebagai sarana belajar bagi siapapun yang butuh untuk mengenang
kembali. Menghadirkan dan memanggil kembali segala yang telah lewat. Tapi,
dibalik pendirian musium juga tersimpan dendam, kebencian, yang mungkin enggan
diakui. Ada sikap kekanak-kanakan yang hidup dan tak selesai sampai seseorang
merasa perlu memonumenkan sesuatu.
Lalu apa
yang prinsipil dari pembangunan Omah Munir di Batu, Malang? Bila pembangunan
Omah Munir didasarkan atas upaya Suciwati mencari keadilan atas pembunuhan yang
menimpa suaminya. Maka, percayalan, sampai kapanpun ia tak akan pernah sampai.
Karena keadilan itu tidak bertempat di bumi. Satu keadilan yang (berusaha)
ditegakkan akan tumpang tindih dengan keadilan lainnya.
Bukankah
logika hukum tidak akan mampu mencapai cita-cita keadilan itu sendiri. Karena
hukum adalah hukum, begitu juga keadilan. Keduanya berdiri sendiri dan
melengkapi satu sama lain. Hukum hanya ”jalan menuju”, bukan substansi dari
keadilan. Tapi seperti apa wajah keadilan? Bagaimana ia mesti hidup dan diperjuangkan
adalah pekerjaan rumah manusia untuk mencari hal-hal yang tak pernah bisa
final.
Menolak Lupa
Menolak lupa
dalam konteks perjuangan HAM yang dilakukan oleh Munir di Komisi Untuk Orang
Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KONTRAS), yang kini diteruskan oleh
Suciwati adalah satu hal. Dan hal lainnya mungkin kodrat Tuhan yang
menggariskan bila ”manusia adalah tempat salah dan lupa”.
Lupa adalah
kodrat tuhan yang tak bisa kita nafikan. Lupa datang kepada manusia untuk
merefresh manusia agar ia tidak terlalu sesak dihimpit dendam. Lalu, apa
jadinya bila manusia tak pernah bisa lupa? Apakah kita perlu memenuhi seluruh
tanah di Indonesia dengan musium? Padahal, masih banyak orang yang melakukan
sesuatu yang lebih dari apa yang pernah diperjuangkan Munir sebelumnya?
Terlepas
dari salah-benar pada apa yang dilakukan Munir semasa hidup, dan pada siapapun
saja yang berusaha melenyapkan Munir dengan arsenik, pantaskah kita menolak
lupa? Apakah ada jaminan, ketika kita tak bisa melepaskan dendam dan melupakan yang
sudah-sudah; bisakah kita melangkah ke depan?
Munir bukan
satu-satunya sejarah kelam yang perlu dicatat. Karena banyak hal baik yang kita
lupakan. Karena yang paling mencemaskan dari sejarah adalah: sejarah cenderung
akan menjadi pijakan dalam menentukan, mengenali siapa diri kita. Kalau nanti
anak kita bertanya pada kita: apa satu-satunya kejayaan yang kita miliki?
Bisakah kita
menjawab pada mereka, ”Dendam, nak! Dendam lah yang kita miliki. Kita hidup
dari dendam, makan dari dendam, dan bernapas serta berzikir atas nama dendam.”
Di sisi
lain, saya sangat setuju bila banyak penghilangan orang-orang yang vokal pada
masa orde baru memang wajib untuk dituntaskan. Tapi, kita juga harus berpikir
dan menghitung sesekali baik buruk untuk menolak lupa dan menjadi bangsa
pendendam.
Dunia memang
tak akan keberatan dengan banyaknya istri-istri macam Suciwati Munir. Dunia
juga tak akan keberatan dengan banyaknya musium. Karena dunia butuh perempuan
tangguh yang mencintai suaminya secara serius. Dunia juga butuh musium karena
sejarah memang sesekali perlu di ingat dengan jalan: tidak melupakan masa
silam, pelenyapan atas nama HAM, tapi juga terkadang harus lebih sering pula
menyambut hari baru. Karena masih banyak yang perlu di ingat selain Munir.
Karena masih banyak yang perlu dibangun selain musium dan monument.
Sampang, 9 Desember 2013
Citra D. Vresti Trisna
2 komentar:
hahaha...kalo merasa pembangunan musium itu adalah hal yg tidak terlalu urgent, aku sepakat.
jadinya, tulisanmu ini...duh, ak bingung nulisnya..., gini. kan cerita tokoh dalam tulisanmu ini ttg munir, nah bukan berarti pejuang selain munir lalu dipinggirkan. kalau aku pribadi berpendapat, munir dan tragedinya itu mungkin selama ini dijadikan ikon untuk perjuangan masyarakat menolak lupa. iya, masih ada banyak sekali orang semacam munir atau bahkan lebih hebat dari munir di luar sana. dan mereka semua memang tak layak dilupakan. harus ada yang mencatatkan kisah mereka dalam sejarah (bukan di buku pelajaran anak sekolah yang saklek itu) dengan tujuan spt yg kamu sebutkan itu, sejarah adalah tempat berpijak kita untuk mengambil langkah di waktu yang akan datang. :)
Eh munte komen. Lama baru bales
Posting Komentar
Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.