#Perihal
”Bunuh diri”#
”Lho.. Bukannya kamu
ini sudah meninggal? Kok masih di sini?” Ujarku, terbata-bata karena masih
tidak percaya dengan apa yang aku lihat.
”Kalau iya, memanginya
kenapa? Apa hanya kamu saja yang boleh ngopi di sini? Kemudian cuma orang hidup
saja yang boleh ngopi? Kamu masih hidup
tapi belum tentu jiwanya hidup, masih mending saya kalau begitu. Dan kamu tidak
berubah, ya, tetap njancuki seperti
dulu. Macan dalam dirimu itu belum benar-benar mati,” ujarnya, sembari memesan
kopi dan mempersilahkan seseorang yang ada di sampingnya.
Tapi, sepertinya aku
kenal siapa orang yang dibawa kawanku ini. Dari badannya yang tambun dan
kacamata tebal dan kemeja batik. Kalau tidak salah, dia itu....
Aku tengadah sambil
berusaha mengingat-ingat pria itu. Di tengah lamunan, kawanku tadi
menyadarkanku. Ia mengambil rokokku, menyalakan dengan cara yang khas, dan
menghembuskannya keras-keras di mukaku. Ya, dia memang kawanku, yang juga
sekaligus guru pertamaku belajar menebak nomor togel dengan ngeramal; ndukun
untuk memanggil arwah Karl Marx guna ditanya-tanya nomor jitu.
Dia adalah Rori.
Terus terang
perjumpaanku dengannya membuat aku sedikit kikuk. Tapi, kerinduanku pada
kekurangajarannya membuatku tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk bernostalgia
masa silam.
”Kamu dulu itu sakit
keras, stres lalu bunuh diri atau mencoba meniru Kurt Cobain, Jimi Hendrix,
Joplin, atau Jim Morrison?” tanyaku.
”Saya tidak bermaksud
bunuh diri. Saya hanya...”
”Tepat sekali. Kau
adalah tokoh yang gagal. Setidaknya, kegagalanmu tenar bisa kau tutupi dengan
cara paling purba seperti apa yang dilakuan artis-artis barat,” tukasku
memotong kata-katanya.
”Mati di usia 27 tahun
itu sudah lewat. Manusia dekaden yang takut menghadapi kegagalan. Seperti kamu
itu...”
Rori tidak menggubris
kata-kataku. Matanya berkonsentrasi untuk memilih pisang goreng paling besar
yang ada di meja warung sambil mulutnya penuh dan mengunyah.
”Saya pikir kamu itu
orang pintar. Ternyata pikiranmu itu cupet.
Dekaden dan kuno.” Protesku.
”Bodoh! Sudah aku
bilang, aku tidak bermaksud bunuh diri.” Ujarnya tak terima.
”Lalu?”
”Saya sedang membuktikan
ketaatan saya pada Tuhan.”
”Hmmm, pengorbanan diri
di jaman sekarang itu dungu.” Kataku, berusaha memancing kemarahan Rori. Terus
terang aku ingin dia marah agar ia bercerita banyak hal yang luput dan belum
sempat kutahu. Atau barangkali di alam kubur, si sudrun-celaka itu masih sempat
baca buku di tengah rutinitasnya disiksa malaikat.
”Kamu ini aneh.
Biasanya, saya yang lebih banyak bicara, bukan kamu. Tapi, kamu sekarang sudah
berubah. Lebih cerewet kaya perempuan. Dan tolong tidak usah mengganggu ibadah
saya dengan cerita-ceritamu soal perempuan,” ujarnya memperingatkan.
”Biasanya kamu selalu
menunggu soal perempuan yang aku kencani sewaktu SMA dulu. Kenapa sekarang
tidak?”
”Di tubuhmu sudah tidak
bau jalanan lagi. Ada bau taik kucing kampus...”
Kini giliran dia
menyinggungku. Kurang ajar, pikirku. Padahal aku ingin dengar cerita-ceritanya.
Meski aku tau, ia sudah mati tapi aku tak peduli. Barangkali apa yang orang
katakan bila orang tak bisa mati itu salah. Dan yang jelas, aku ingin bicara
dengannya.
”Sudah.. Sudah..
Kembali ke topik awal. Saya masih ingin tanya. Kenapa kamu harus bunuh diri?”
”Dulu penyakit kita
memang polisi. Sekarang penyakitnya tambah dua. Polisi dan dedemit sarjana yang
doyan memotong pembicaraan lalu melempar tanya,” ujar Rori memprotes.
”Bajigur, kamu dulu kan
mahasiswa juga.”
”Saya kan DO. Beda
dengan kamu. Ngaku benci perkuliahan tapi sampai tamat. Fuck. Pasti karena....”
Kini saya lihat Rori
menawari makanan pada kawannya yang sedari tadi geleng-geleng sambil membaca
koran. Dia nampak stres. Kemeja batik yang ia kenakan dicopot kancing atasnya. Koran
yang ia baca pun terbalik.
Tak bisanya si Rori ini
cocok dengan seseorang. Bahkan sampai dia berbaik hati menawari makanan. Dulu,
sewaktu masih di terminal, aku adalah orang yang dekat dengan dia. Tapi ia tak
pernah sebaik itu denganku. Hmmm, wajar sih, keduanya sama-sama agak gimana
gitu. Kupikir mereka cocok.
”Kamu benar-benar ingin
tau kenapa saya mencoba bunuh diri?”
”Tentu!”
”Terus terang saya
sedang belajar syahadat dengan benar. Saya menenggak racun tikus, seraya
mencoba bersyahadat. Eh, ternyata saya mati. Nasib sial.” Kini muka Rori
memelas. Kawannya yang sedari tadi geleng-geleng sambil membaca koran juga ikut
mendengarkan.
”Kamu memang ingin mati
waktu itu?”
”Ya, tidak! Saya hanya
ingin menguji kepasrahan saya pada Tuhan. Apa benar saya ini pasrah dan tak
takut mati untuk sesuatu yang sangat prinsipil, yang waktu itu saya sebut
Tuhan.”
”Apa hubungannya kau
minum racun tikus dengan syahadat?”
”Ada. Ada hubungannya.
Kalau sekarang saya mencoba menenggak racun tikus itu biar yang syahadat itu
bukan hanya mulut, tapi seluruh badan.”
”Saya masih kurang ngeh dengan kata-katamu.”
”Kalau saya bilang
tiada Tuhan selain Allah, maka, ya, benar-benar harus tiada Tuhan. Kalau saya terlalu
percaya bila racun tikus bisa membunuh saya, berarti saya kurang percaya bila
hidup mati saya berada di tangan Allah. Dan itu syahadat yang fatal. Hehehe..”
”Otakmu itu fatal.
Tapi, kau akhirnya mampus gara-gara upayamu itu kan?”
”Iya, sih. Tapi, yang
jelas, saya tidak berupaya mati karena minum racun tikus. Saya hanya mencoba
pasrah, meskipun logikamu menganggap ini ekstrim. Dan kalau saya ini akhirnya
mati beneran, itu bukan karena racun tikus yang saya campur bodreksin, tapi
karena ya sudah segitu umur saya. Tuhan merasa butuh memanggil saya untuk
menemaninya ngopi.”
”Hahahahaha.... Bagus!
Bagus itu...!” Kini giliran kawan Rori yang tertawa keras.
”Saya aja ndak berani gendeng kaya kamu. Tapi, kalau itu benar-benar tidak ada niat bunuh
diri, saya pikir, Tuhan akan punya hitungan sendiri soal kelakuanmu.” Ujar
kawan Rori semangat.
”Kau itu mau berusaha
agamis, tapi saya tidak menyangka kalau kau dekati tuhan dengan cara cara yang
keliru karena menganiaya dirimu sendiri. Dan Tuhan melarang seseorang untuk
itu,” ujarku bersungut-sungut.
Kini pandangan
orang-orang di warung kopi Kletek melihatku. Termasuk Sapari, penunggu warung
ini melongo menatapku dan berhenti mengaduk kopi.
”Opo ae, bro? Kok ngamuk-ngamuk ngono. Diombe sek, rek kopine (apa
sih, bro? Kok marah-marah begitu. Diminum dulu kopinya).” Ujar Sapari sembari
nyengir kuda.
”Hehehe... ” Kini
giliran kawan Rori yang meringis.
”Menganiaya, ya? Tapi,
semestinya kau yang mengaku pernah SMA dengan jurusan IPS, mestinya kau tau
istilah ’menganiaya’tidak bisa dipisahkan dari kesanggupan dan latar belakang
sosial masing-masing orang itu berbeda. Misalkan, kau suruh orang Papua makan
nasi, sama halnya dengan menyiksa mereka.”
”Jadi, maksudmu apa
yang kau lakukan itu tidak menganiaya dirimu sendiri, begitu?”
”Tepat! Aku menganggap
membuktikan ikrar adalah persoalan batin. Sudah jadi kebutuhan jiwa, dan itu
tidak boleh diganti dengan pembuktian ikrar lain yang selesai di oral. Tapi,
kalau memilih jalan harus menenggak racun tikus, itu hanya soal pilihan. Mungkin
agar lebih terasa saja kepasrahannya. Kalau tidak seperti itu, rasanya kurang
pas.”
”Tuhan kan tidak
menyalahkan kalau kau buktikan dengan cara yang lebih mudah. Apalagi ia tak
mempersulitmu. Mengapa kau yang runyam,”
”Sudahlah, apa dengan sok
tua dan menceramahiku soal agama, sebaiknya aku pulang saja ini.” Kini Rori
agak sedikit ketus.
”Teman saya ini kuliah
di Kairo lama. Jebolan pesantren pula. Tapi ia tidak ceriwis macam kamu.”
**
Tiba-tiba saya jadi
bingung dengan diri saya sendiri. Saya terdiam cukup lama. Dan baru tersadar
ketika Sapari mengemasi gelas-gelas di meja.
Ya Allah, kok tiba-tiba
udah malam? Tapi, waktu itu Rori tidak di samping saya lagi. Dia sudah
menghilang entah kemana sewaktu saya melamun tadi.
Apa saya bermimpi? Tidak
ada penjelasan. Saya melangkah pulang.
”Syahadat, ya? Hmm... ”
cdv_t
cdv_t
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.