Laman

Rabu, 29 Januari 2014

Demromor

#Perihal ”Bunuh diri”#

Apa yang akan kau lakukan ketika tiba-tiba kau jumpai kawan lamamu yang telah meninggal, tiba-tiba nongol ketika kau menyeruput kopi pahit di warung? Lalu percakapan pun terjadi.
”Lho.. Bukannya kamu ini sudah meninggal? Kok masih di sini?” Ujarku, terbata-bata karena masih tidak percaya dengan apa yang aku lihat.
”Kalau iya, memanginya kenapa? Apa hanya kamu saja yang boleh ngopi di sini? Kemudian cuma orang hidup saja yang boleh ngopi?  Kamu masih hidup tapi belum tentu jiwanya hidup, masih mending saya kalau begitu. Dan kamu tidak berubah, ya, tetap njancuki seperti dulu. Macan dalam dirimu itu belum benar-benar mati,” ujarnya, sembari memesan kopi dan mempersilahkan seseorang yang ada di sampingnya.
Tapi, sepertinya aku kenal siapa orang yang dibawa kawanku ini. Dari badannya yang tambun dan kacamata tebal dan kemeja batik. Kalau tidak salah, dia itu....
Aku tengadah sambil berusaha mengingat-ingat pria itu. Di tengah lamunan, kawanku tadi menyadarkanku. Ia mengambil rokokku, menyalakan dengan cara yang khas, dan menghembuskannya keras-keras di mukaku. Ya, dia memang kawanku, yang juga sekaligus guru pertamaku belajar menebak nomor togel dengan ngeramal; ndukun untuk memanggil arwah Karl Marx guna ditanya-tanya nomor jitu.
Dia adalah Rori.  
Terus terang perjumpaanku dengannya membuat aku sedikit kikuk. Tapi, kerinduanku pada kekurangajarannya membuatku tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk bernostalgia masa silam.
”Kamu dulu itu sakit keras, stres lalu bunuh diri atau mencoba meniru Kurt Cobain, Jimi Hendrix, Joplin, atau Jim Morrison?” tanyaku.
”Saya tidak bermaksud bunuh diri. Saya hanya...”
”Tepat sekali. Kau adalah tokoh yang gagal. Setidaknya, kegagalanmu tenar bisa kau tutupi dengan cara paling purba seperti apa yang dilakuan artis-artis barat,” tukasku memotong kata-katanya.
”Mati di usia 27 tahun itu sudah lewat. Manusia dekaden yang takut menghadapi kegagalan. Seperti kamu itu...”
Rori tidak menggubris kata-kataku. Matanya berkonsentrasi untuk memilih pisang goreng paling besar yang ada di meja warung sambil mulutnya penuh dan mengunyah.
”Saya pikir kamu itu orang pintar. Ternyata pikiranmu itu cupet. Dekaden dan kuno.” Protesku.
”Bodoh! Sudah aku bilang, aku tidak bermaksud bunuh diri.” Ujarnya tak terima.
”Lalu?”
”Saya sedang membuktikan ketaatan saya pada Tuhan.”
”Hmmm, pengorbanan diri di jaman sekarang itu dungu.” Kataku, berusaha memancing kemarahan Rori. Terus terang aku ingin dia marah agar ia bercerita banyak hal yang luput dan belum sempat kutahu. Atau barangkali di alam kubur, si sudrun-celaka itu masih sempat baca buku di tengah rutinitasnya disiksa malaikat.
”Kamu ini aneh. Biasanya, saya yang lebih banyak bicara, bukan kamu. Tapi, kamu sekarang sudah berubah. Lebih cerewet kaya perempuan. Dan tolong tidak usah mengganggu ibadah saya dengan cerita-ceritamu soal perempuan,” ujarnya memperingatkan.
”Biasanya kamu selalu menunggu soal perempuan yang aku kencani sewaktu SMA dulu. Kenapa sekarang tidak?”
”Di tubuhmu sudah tidak bau jalanan lagi. Ada bau taik kucing kampus...”
Kini giliran dia menyinggungku. Kurang ajar, pikirku. Padahal aku ingin dengar cerita-ceritanya. Meski aku tau, ia sudah mati tapi aku tak peduli. Barangkali apa yang orang katakan bila orang tak bisa mati itu salah. Dan yang jelas, aku ingin bicara dengannya.
”Sudah.. Sudah.. Kembali ke topik awal. Saya masih ingin tanya. Kenapa kamu harus bunuh diri?”
”Dulu penyakit kita memang polisi. Sekarang penyakitnya tambah dua. Polisi dan dedemit sarjana yang doyan memotong pembicaraan lalu melempar tanya,” ujar Rori memprotes.
”Bajigur, kamu dulu kan mahasiswa juga.”
”Saya kan DO. Beda dengan kamu. Ngaku benci perkuliahan tapi sampai tamat. Fuck. Pasti karena....”
Kini saya lihat Rori menawari makanan pada kawannya yang sedari tadi geleng-geleng sambil membaca koran. Dia nampak stres. Kemeja batik yang ia kenakan dicopot kancing atasnya. Koran yang ia baca pun terbalik.
Tak bisanya si Rori ini cocok dengan seseorang. Bahkan sampai dia berbaik hati menawari makanan. Dulu, sewaktu masih di terminal, aku adalah orang yang dekat dengan dia. Tapi ia tak pernah sebaik itu denganku. Hmmm, wajar sih, keduanya sama-sama agak gimana gitu. Kupikir mereka cocok.
”Kamu benar-benar ingin tau kenapa saya mencoba bunuh diri?”
”Tentu!”
”Terus terang saya sedang belajar syahadat dengan benar. Saya menenggak racun tikus, seraya mencoba bersyahadat. Eh, ternyata saya mati. Nasib sial.” Kini muka Rori memelas. Kawannya yang sedari tadi geleng-geleng sambil membaca koran juga ikut mendengarkan.
”Kamu memang ingin mati waktu itu?”
”Ya, tidak! Saya hanya ingin menguji kepasrahan saya pada Tuhan. Apa benar saya ini pasrah dan tak takut mati untuk sesuatu yang sangat prinsipil, yang waktu itu saya sebut Tuhan.”
”Apa hubungannya kau minum racun tikus dengan syahadat?”
”Ada. Ada hubungannya. Kalau sekarang saya mencoba menenggak racun tikus itu biar yang syahadat itu bukan hanya mulut, tapi seluruh badan.”
”Saya masih kurang ngeh dengan kata-katamu.”
”Kalau saya bilang tiada Tuhan selain Allah, maka, ya, benar-benar harus tiada Tuhan. Kalau saya terlalu percaya bila racun tikus bisa membunuh saya, berarti saya kurang percaya bila hidup mati saya berada di tangan Allah. Dan itu syahadat yang fatal. Hehehe..”
”Otakmu itu fatal. Tapi, kau akhirnya mampus gara-gara upayamu itu kan?”
”Iya, sih. Tapi, yang jelas, saya tidak berupaya mati karena minum racun tikus. Saya hanya mencoba pasrah, meskipun logikamu menganggap ini ekstrim. Dan kalau saya ini akhirnya mati beneran, itu bukan karena racun tikus yang saya campur bodreksin, tapi karena ya sudah segitu umur saya. Tuhan merasa butuh memanggil saya untuk menemaninya ngopi.”
”Hahahahaha.... Bagus! Bagus itu...!” Kini giliran kawan Rori yang tertawa keras.
”Saya aja ndak berani gendeng kaya kamu. Tapi, kalau itu benar-benar tidak ada niat bunuh diri, saya pikir, Tuhan akan punya hitungan sendiri soal kelakuanmu.” Ujar kawan Rori semangat.
”Kau itu mau berusaha agamis, tapi saya tidak menyangka kalau kau dekati tuhan dengan cara cara yang keliru karena menganiaya dirimu sendiri. Dan Tuhan melarang seseorang untuk itu,” ujarku bersungut-sungut.
Kini pandangan orang-orang di warung kopi Kletek melihatku. Termasuk Sapari, penunggu warung ini melongo menatapku dan berhenti mengaduk kopi.
Opo ae, bro? Kok ngamuk-ngamuk ngono. Diombe sek, rek kopine (apa sih, bro? Kok marah-marah begitu. Diminum dulu kopinya).” Ujar Sapari sembari nyengir kuda.
”Hehehe... ” Kini giliran kawan Rori yang meringis.
”Menganiaya, ya? Tapi, semestinya kau yang mengaku pernah SMA dengan jurusan IPS, mestinya kau tau istilah ’menganiaya’tidak bisa dipisahkan dari kesanggupan dan latar belakang sosial masing-masing orang itu berbeda. Misalkan, kau suruh orang Papua makan nasi, sama halnya dengan menyiksa mereka.”
”Jadi, maksudmu apa yang kau lakukan itu tidak menganiaya dirimu sendiri, begitu?”
”Tepat! Aku menganggap membuktikan ikrar adalah persoalan batin. Sudah jadi kebutuhan jiwa, dan itu tidak boleh diganti dengan pembuktian ikrar lain yang selesai di oral. Tapi, kalau memilih jalan harus menenggak racun tikus, itu hanya soal pilihan. Mungkin agar lebih terasa saja kepasrahannya. Kalau tidak seperti itu, rasanya kurang pas.”
”Tuhan kan tidak menyalahkan kalau kau buktikan dengan cara yang lebih mudah. Apalagi ia tak mempersulitmu. Mengapa kau yang runyam,”
”Sudahlah, apa dengan sok tua dan menceramahiku soal agama, sebaiknya aku pulang saja ini.” Kini Rori agak sedikit ketus.
”Teman saya ini kuliah di Kairo lama. Jebolan pesantren pula. Tapi ia tidak ceriwis macam kamu.”
**
Tiba-tiba saya jadi bingung dengan diri saya sendiri. Saya terdiam cukup lama. Dan baru tersadar ketika Sapari mengemasi gelas-gelas di meja.
Ya Allah, kok tiba-tiba udah malam? Tapi, waktu itu Rori tidak di samping saya lagi. Dia sudah menghilang entah kemana sewaktu saya melamun tadi.
Apa saya bermimpi? Tidak ada penjelasan. Saya melangkah pulang.
”Syahadat, ya? Hmm... ”

cdv_t
 ---dilanjutmene---

next...
perihal bunuh diri 2

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.