Dukun Bejat |
Kata-kata itu terus
terngiang-ngiang di sepanjang perjalanan kami ke Probolinggo.
*
Setelah usai bergulat dengan
kerumitan para MG swasta, saya dan Dukun Bejat memutuskan bertemu dengan Defy
yang kebetulan juga ada di Probolinggo. Kita berjanji bertemu di sebuah warung
bakso pinggir jalan. Singkat kata, saya mendapati Defy bersama I*&^^6$%. Kami
saling bersalam-salaman karena memang masih dalam suasana lebaran.
Waktu itu, ceritanya si Defy
diantar oleh I*&^^6$%, karena kebetulan usai bersilaturahmi dengan keluarga
I*&^^6$%. Usai bicara ngalor-ngidul,
Dukun Bejat mengajakku menemui kawannya di Kemangsan, Probolinggo. Karena
sedang menganggur, jadi saya iyakan saja ajakan Dukun Bejat dan mengajak Defy
turut serta di perjalanan kami.
Sebenarnya, si I*&^^6$% tidak
mengijinkan Defy untuk turut serta. Tapi, seperti biasanya, Defy itu (mungkin)
ditakdirkan Tuhan untuk tidak bisa menolak ajakan orang lain dan hampir selalu
oke. Alhasil, dengan sedikit perdebatan, peluk cium, sedikit tangis-tangisan
antara Defy dan I*&^^6$%, berangkatlah kami bertiga.
Pemandangan tangis-tangisan pinggir embong waktu itu memang rada wagu dan menerbitkan naluri iseng saya
untuk mengolok-oloknya. Tapi, karena Defy berkenan ikut perjalanan kami, maka
saya batalkan niat saya.
Selama perjalanan mencari bis,
Defy bercerita panjang lebar soal keluarga besar I*&^^6$% yang, menurut
dia, keberatan dengannya lantaran tidak pas hitung-hitungan Jawa.
Probolinggo |
Meski saya dan Dukun Bejat sudah
menasihati banyak hal soal tersebut, tapi, nampaknya itu tidak mempan. Dia
tetap resah lantaran “teraniaya” nasib dan status sosial yang tidak sesuai
ekspektasi keluarga I*&^^6$%. Namun, seperti biasa, se kalut apapun
keadaannya, Defy selalu bersedia menghibur saya dan berusaha tidak merusak
suasana dengan cemberut seperti yang biasa saya lakukan padanya.
Inilah yang saya salutkan dari Defy.
Cara dia mengelola emosi, “menekan arogansi” dan “bunuh diri” untuk
menyenangkan orang lain yang dia hormati benar-benar luar biasa. Saya pun
sering menjumpai dia melakukan hal itu ke beberapa orang, sekali pun dia
direndahkan, disalahpahami, diremehkan, diludahi, dan dicurangi.
Oke, Def, saya catat hal itu.
Malam itu, salah satu pelajaran
yang saya dapat selama perjalanan ke Probolinggo adalah kata “aniaya” dan
“menahan diri”. Dua kata ini memiliki kedekatan dimana keduanya sama-sama tidak
enak, menerbitkan rasa “sakit” dan melewati semak berduri dari proses panjang
untuk to be some one.
Proses (laku) yang sedang dialami
Defy saat itu adalah berusaha tidak menjadi apapun. Semacam niat untuk menjadi
“seseorang” yang boleh untuk tidak dianggap, ditepikan, tidak disapa status
sosialnya, dan dikesampingkan kebanggaan personal dan strukturalnya.
“Menahan diri” juga bisa berarti
bentuk lain dari proses seperti yang diungkapkan Dukun Bejat: penganiayaan diri
sebagai laku jiwa, meski Defy sendiri tidak berharap untuk
jadi orang ”sakti”.
*
Aktivitas irrasional “melebur
diri”, tidak menjadi siapa-siapa, membuat laku itu tidak sejalan dengan
posisinya sebagai Sekjen PPMI. Karena PPMI adalah wilayah perjuangan yang
butuh”eksis” — tampil, demonstrasi wacana melalui kata, transformasi kesadaran
kritis lewat bahasa — sehingga Defy bisa dibilang tidak seirama dengan perjuangan
aktivis PPMI. Perbedaan mendasar ini menjadi masalah yang rancu: ketika semua berlomba-lomba
untuk ”di depan”, Defy ingin kembali ke belakang.
Ajakan berbenah membuatnya nampak jadi badut olok-olok. Keinginannya untuk
mengajak menakar kaliber PPMI — melalui upaya mengukur sampai sejauh mana
kemampuan dan peran LPM mentransformasikan isu untuk menjadi kesadaran kolektif
dan modal perjuangan di masing-masing kampus — membuat dia jadi sasaran tembak.
Karena saat itu seakan-akan yang menjadi prioritas adalah segera tampil ke muka
untuk force demonstration.
Waktu itu, hampir di tiap kota kurang menyadari bila kaliber LPM di
masing-masing kampus sangat mempengaruhi keberhasilan perjuangan di tiap kota, bahkan
nasional. Keinginan untuk force
demonstration tentu sangat kontra produktif bila ujung tombak PPMI — LPM di
masing-masing kampus — tidak di dengar di kampungnya sendiri dan menjadi
rujukan perjuangan. Jangankan menjadi garda terdepan di sekala nasional, di
sekala kota, di sekala kampus pun tidak.
Sebenarnya hal ini sangat lumrah. Tak satu pun waktu itu berpikir
berdasarkan pertimbangan pranotomongso.
Keinginan berjuang di tiap-tiap kota dan LPM tidak sebanding dengan kemerosotan
kualitas personal dan kolektif generasi PPMI. Sehingga tawaran untuk ”berhenti
sejenak” tak ubahnya hanya semacam suara bising ribut di luar jendela yang tak
membangunkan kawan-kawan PPMI dari ”mengantuk massal” dan gejala tidak tahu
diri.
Kegagalan membaca psikologi massa generasi PPMI membuat Defy tak digubris.
Padahal, aktivis PPMI di tiap kota (diam-diam) sadar bila generasinya mengalami
penurunan kaliber dan daya juang hingga di titik terendah. Sejak munculnya
mitos dan perasaan (jadi tumbal) pada setiap orang yang terpilih jadi Sekjen di
tiap kota atau pun nasional, sebenarnya bisa jadi indikator atas krisis
kepemimpinan di tubuh PPMI.
Tidak banyak yang menyadari bila di dalam tubuh PPMI terdapat dua macam
tipe orang: pertama, orang yang
”murni” berjiwa persma; kedua, demit
dari organ traffic light yang menyaru
persma. Kalau untuk tipe kedua ini hampir bisa dipastikan selalu ready bila disuruh menjadi sekjen, baik
di tataran kota atau pun nasional. Tipe kedua ini berpikir bila jabatan struktural
di PPMI mampu memberi keuntungan personal, baik itu jaringan, proyek, dll.
Setelah tahu, PPMI adalah organisasi duafa yang kere-nya bukan main, dan top alumninya 99% masih cerongoan cari posisi dan mengikhlaskan
diri cium bokong kotor partai, alhasil minggatlah sekjen tipe kedua ini. Untuk
contohnya, saya pikir tak perlu disebutkan.
Tidak perlu dipikir untuk tipe kedua ini. Karena krisis kepemimpinan di
golongan ”murni” PPMI ini lah yang perlu dicemaskan. Ketika orang dari golongan
pertama ini ”merasa dikorbankan menjadi sekjen” saat itu PPMI ”tamat”.
Saya sebenarnya kasihan dengan Dedi (sekjen setelah defy) yang diganyang
macam kebo ketulub. Dedi dijebak sekumpulan
pengecut PPMI di golongan murni — yang enggan PPMI bubar tapi tak mau jadi
sekjen; enggan merubah PPMI secara mendasar dan suka mengorbankan orang lain — sehingga
jadilah Dedi sekjen PPMI dengan kepala kosong dan berpikir bisa jadi tokoh dan
orang kaya. Meski di sisi lain Dedi adalah keparat tengik berpikiran oportunis.
Awan mendung PPMI yang sudah terjadi sejak beberapa waktu sebelum Defy ini
tak kunjung dipahami sebagai kegagalan. Narsisme overdosis dari aktivis PPMI
membuat orang-orang di dalamnya merasa enggan berbenah dan berani untuk
memutuskan ”berhenti sejenak”, evaluasi dan pembenahan untuk kemudian berjuang
kembali. Sehingga perjuangan di era sebelum Defy — termasuk di periode saya —
adalah pepesan kosong yang berjuang di alam peseudo.
Mereka berjuang sambil memeluk bantal guling dan leyeh-leyeh di zona nyaman.
Ada perasaan teramat sayang pada sesuatu yang akrab disebut ”kultural”,
tapi enggan berpikir bila kedekatan hanya jadi sekedar kedekatan. Tidak lebih. Mandek. Tidak beranjak kemana-mana. Sebuah
ilusi perjuangan yang tidak tampak namun melenakan. Membuat, semuanya seperti dalam
melankoli, layak diperjuangkan.
Yang paling klasik namun tengik dari tiap detik-detik kebangkrutan di
sebuah jaman adalah generasi mudanya. Ketika ada momentum yang tepat bagi
pimpinan last generation untuk membubarkan
organisasi, akan selalu muncul pertanyaan dari kader dibawahnya: ”Kalau ini
bubar, bagaimana dengan kami? Bukankah seharusnya setelah ini kami yang
berperan. Kau enak saja membubarkan, bagaimana dengan kami yang juga butuh
mencatat sejarah?”
Ya, selalu seperti itu. Hari ini eksistensi jauh lebih penting dari apapun,
bahkan dari substansi.
Waktu itu Defy memang kalah. Setelah dia resmi turun, tak ada perubahan
apapun di tubuh PPMI. Bahkan, PPMI diteruskan oleh seorang yang tak becus yang
jadi tumbal dari kepicikan berpikir.
Sejarah berganti.
*
Sepulang dari Lombok, dia
mendatangiku dengan senyum kecut. Ada sumpah serapah dari matanya. Dia menyayangkan
kebebalan semua orang yang tidak suka padanya. Dan sebagaimana rumus hidup,
tulah dari kesempitan berpikir bekerja secara alamiah. Pelan namun pasti, PPMI berjalan
dengan yang semestinya terjadi: terseok-seok hingga akhirnya benar-benar
berhenti.
Saya tidak ingin berkata bila kemandekan yang hingga kini terjadi benar-benar
akibat dari tulah dan sumpah serapah Defy. Tapi begitulah zaman. Begitulah
nasihat orang tua: segala sesuatu yang dituhankan secara irrasional hanya akan jadi sampah. Tapi, di sisi lain, saya harus
angkat topi dengan keyakinan Defy pada PPMI sewaktu awal-awal dia terpilih
menjadi sekjen.
Dia benar-benar yakin dengan apa yang dijalaninya. Dia melakukan segala hal
yang dia anggap benar dengan hati, meski waktu itu dia tak paham dengan apa
yang dia hadapi. Tapi, bukan itu yang penting. Saya hanya ingin mencatat
ketulusan dan rasa cintanya pada PPMI, orang-orang di dalamnya yang peduli
dengan dia, dan pada mereka yang memusuhinya.
Rasa cinta berlebih pada organisasi yang dia pimpin dan banyak orang di
dalamnya membuat dia terus berjuang tanpa berpikir untung-rugi. Sehingga ketika
dia berkali-kali ditikam orang yang kepercayaannya, dia tetap punya stok maaf. Dan
di akhir perjalanannya, penipuan tetap berjalan. Dia tetap saja ditipu dan
percaya.
Pelan namun pasti, orang-orang yang menipunya hidupnya berantakan. Mereka hancur
tanpa sisa. Tidak dipercaya. Dibuang. Dan itu semua tetap berlanjut hingga
kini. Pelajaran berharga yang sejak dulu kupegang sekali lagi menemukan
pembuktiannya di sini.
”Jangan sekali-kali berhianat dan menyakiti orang yang peduli denganmu,
memperjuangkanmu, dan orang yang hidupnya teraniaya. Ada kuwalat di situ.”
Meski kata-kata saya tidak ada gunanya, saya menyimpan terimakasih kepada Dukun
Bejat atas nasihatnya. Dengan Defy, orang yang setia menghibur saya dan
merelakan dirinya berkorban demi menyenangkan saya. Seandainya saya tidak
bekerja jauh di Jakarta, saya ingin minum kopi bertiga saja di warung 18. Atau bahkan
melakukan perjalanan lagi yang entah kemana. Membicarakan tentang esok dengan
sinis. Membicarakan apa saja yang mengukir senyum kita.
Perjalanan ke Gunung Arjuno |
Jakarta, 15 Juni 2015
Dalbo
3 komentar:
Perjalanan keren nih mas... menikmati pemandangan pegunungan, merenung dan menemukan banyak bacaan dari alam...
hahaha banyak sekali kecacatan logika dalam tulisan ini. Kentara kalau penulisnya hanya bisa rasan-rasan di belakang, tanpa ada basis logika yang jelas. Selain rasan-rasan sepertinya juga pintar memutarbalik fakta. hahahahaha
aktif di PPMI tahun berapa mas....? LPMnya apa? kampus mana? pernah ke tulungagung....? kenal andi bule....? di jakarta kerja di mana....? :-)
Posting Komentar
Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.