Citra D. Vresti Trisna
Ahok divonis dua tahun. Jakarta
pasti ramai. Siang dibakar matahari, menjelang malam, Jakarta dipanaskan lagi
dengan teriakan dan kutukan simpatisan Ahok yang menyalakan lilin sambil mewek.
Mungkin tidak hanya di Jakarta,
mungkin di seluruh Indonesia, juga dunia. Ya, mungkin! Tak ada yang pasti, tapi
yang pasti kerumunan simpatisan itu ingin Ahok dibebaskan.
”Ahok itu tidak bersalah,” kata
seseorang. ”Pengadilan dan hakim sialan,” kata kerumunan lainnya. ”Setelah ini,
pak Ahok ke luar negeri saja. Jangan di Indonesia,” kata rombongan lainnya
lagi.
Situasi Jakarta jadi panas
sekali. Tapi sebaliknya Dudakarta jadi sepi. Sepulang sholat berjamaah, mereka
langsung masuk ke bilik masing-masing dan mengunci pintu. Siang hari pun tak satu
pun warga Dudakarta yang melancong ke Jakarta.
Mbah Ripul kelop-kelop sendiri di pojok warung Mang Alim sambil ngudut. Mas Rombong tidak tega dengan
pria yang konon bernama Duri Pulo itu sendirian ndlahom dengan Mang Alim. Akhirnya Rombong keluar rumah juga. Meski
ia harus merelakan diri diomeli istrinya yang sedang hamil muda yang kebetulan ngidam dikeloni Mas Rombong sambil
didongengi cerita wayang.
”Sepi, Mbah...” sapa Rombong.
”Mbong, ndak ngeloni istrimu? Katanya ngidam
kelon. Hehehe...,” goda Mbah Ripul. Rombong menaggapi Mbah Ripul hanya dengan mesem.
”Lha sampean tidak ikut
bakar lilin, Mbah?” tanya Rombong. ”Katanya mau serius mencontoh Jakarta? Ciyee
yang serius? Katanya mendukung Indonesia damai?” kini giliran Rombong yang
menggoda Mbah Ripul.
”Dengkulmu mlincet,
Mbong-Rombong!” jawab Mbah Ripul. ”Damai itu butuh kedewasaan keduabelah pihak.
Ketika subjektivisme akan islam tumbuh subur; ketika mata masyarakat tidak lagi
cukup untuk sekedar dicuci dengan wudhu, bisakah semurni-murninya hati umat
muslim tinggal diam? Mungkinkah orang yang sehari-hari diam di rumah tidak
lantas angkat senjata ketika dianiaya tanpa senjata. Diolok-olok keyakinannya?”
”Apa lagi ini, mbah?” Mas
Rombong keheranan dengan respon Mbah Ripul yang marah tiba-tiba.
”Mungkin orang-orang lupa bila
kecenderungan pihak yang nampak teraniaya dan kalah judi dadu punya potensi
bersih dari kesalahan. Siapa yang benar-benar bisa lepas dari kesalahan ketika
konflik horisontal telah terjadi? Kalau pun Ahok sejatinya tidak bersalah, apa
lantas Ahok tak punya andil barang satu-dua persen kesalahan? Atau mungkin
memang benar bila korban memiliki kecenderungan bebas dari kesalahan hingga
orang-orang marah, mengutuk dan menuntut Ahok dibebaskan. Di mata mereka, pihak
yang tidak menuntut dianggap tidak pro kebhinekaan. Lha matane, ta?!”
Mbah Ripul mulai nggeremeng. ”Kalau sebagian orang tak
terima bila Ahok diganjar dua tahun atas kasus penistaan agama, itu boleh saja.
Namanya saja hukum manusia. Bisa saja salah toh.
Mereka juga terus bilang bila apa yang mereka lakukan bukan semata-mata karena
Ahok, tapi mereka mengklaim aksi mereka merupakan titik kulminasi dari rasa
jengah rakyat atas ketidakadilan hukum di Indonesia. Anggapan seperti itu juga
sah-sah saja pada akhirnya. Tetapi, di lain pihak, kalau ada massa marah dan
mengklaim dirinya tidak menitikberatkan aksi pada kata-kata Ahok di Kepulauan
Seribu, melainkan atas kesewenang-wenangan Ahok dan runtutan kebijakannya yang nampaknya
baik tapi tidak pro rakyat kecil, seperti reklamasi, dll, lantas dianggap tidak
masuk akal.... Itu tai ngasu namanya!”
”Gitu, ya, mbah? Pikiran
sampean ini memang ndak kaya anak
muda sekarang, Mbah.” Sela Rombong.
”Ya anggapan kamu barusan itu
yang saya senang. Zaman sekarang, perang media sosial antara dua kubu memang
nampak melelahkan. Semua pihak berlomba-lomba membuat stigma-stigma pada kubu
lawan. Pihak yang gregeten dengan Ahok dianggap ndeso, anti HAM, irasional, kampungan dan tidak terpelajar. Kubu
satunya lagi menganggap pendukung Ahok, yang kalau yang ber-KTP islam disebut
munafik dan yang non dianggap kafir. Tapi, soal anggapan kafir itu kan hanya
keras di bibir wahabi penakut itu, bukan asli dari sanubari rakyat dan umat
muslim kebanyakan.”
”Mbah, bukannya memang sekarang
islam sedang disudutkan dan digiring dalam subjektivisme non islam?”
” Kalau yang divonis Ahok,
orang-orang sibuk bakar lilin. Kalau yang jadi bulan-bulanan pengadilan itu
kebetulan orang islam dan miskin, kita hanya membagikan di media sosial tanpa
perlawanan. Orang asing juga ndak ngurus.
Bahkan orang islam sendiri, ya, tidak peduli. Apakah tidak ada orang islam yang
lebih menderita lantaran vonis bersalah dari pengadilan seperti Ahok? Umbrukan Mbong, alias banyak sekali. Memang
benar Islam harus nampak kotor dan memalukan, bahkan di mata orang islam
sendiri. Tapi ya bagaimana lagi, lha wong
orang islam yang miskin itu tidak make
news, jadi siapa yang peduli?” Mbah Ripul masih bersungut-sungut tak
terima.
”Kalau saya sih mengartikan sekumpulan orang yang
sedang demo itu juga bentuk dari ledakan bom waktu atas ketidakadilan pada orang islam di Indonesia. Orang islam itu memang harus ngalah. Tapi, ya, benar saja. Ngalah
itu bukan berarti kalah, lalu berangkatlah mereka aksi untuk menuntut
kemenangan; menuntut Ahok ditahan dengan bonus Jokowi turun. Orang-orang yang ikut
aksi itu sudah capek batinnya diplonco. Mereka bosan dimiskinkan di kampungnya
sendiri. Bosan diusir dari tempat tinggal mereka dengan alasan yang tak sanggup
mereka bantah karena memang pendidikan mereka rendah. Gorokan mereka tidak sesangar Ahok buat menyaingi umpatan dan
kata-kata Ahok saat mendamprat orang-orang kecil. Tapi, ya, tetap saja pandangan
saya ini akan salah di mata mereka. Dan harus salah; harus nampak tidak masuk
akal, bahkan di depan sesama muslim. Pandangan saya ini harus disalahkan atas
nama rasionalitas. Padahal kalau ada orang islam kere dan kepepet hingga harus
maling lalu diplonco pengadilan, rasionalitas mereka tidak kedengaran karena
sedang membeku di frezer kulkas. Ya,
inilah kasus Ahok. Kasus yang dimata saya tak lebih dari tai bebek anget.”
”Sampean benar-benar baper,
mbah?” Tanya Rombong yang heran. Tidak biasanya Mbah Ripul begitu keras
merespon sesuatu.
”Biar saja saya dibilang tidak
rasional. Karena buat mbayar pisang
goreng Mang Alim itu ndak butuh rasional, tapi butuh duit. Saya juga mbayar kopi dan pisang goreng tidak dari
uang mereka.” Kata Mbah Ripul dengan muka kusut.
”Sudah Mang... Pisang goreng
dua, kopi satu, rokok sebungkus...?” Setelah membayar, Mbah Ripul menghilang
dalam gelap. Sementara kini giliran Rombong yang kelop-kelop sendirian di pojok
warung. Ia takut pulang ke rumah. Omelan istri Mas Rombong seribu kali lebih
dahsyat dari Ahok.
Senin
Kliwon, 15 Mei 2017
3 komentar:
Udah nggak ngerti lagi sih gue sebenernya sama drama politik bangsa ini. Tapi intinya gue emang pro Ahok hahaha. ✌
Kadang ngerasa konflik dua kubu itu semacam ada yang ngadu domba haha. Tapi kayaknya karena sama-sama kurang bisa menghargai perbedaan dan begitu pro secara berlebihan sama apa yang dibelanya masing-masing. Ya, apa yang berlebihan itu gak baik, kan. :)
Yang berusaha pada netral pun ikut salah dalam kasus ini. Embuhlah. Tai bebek emang. Wahaha.
ahok sih gubernur gue !
Posting Komentar
Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.