Mahasiswa sekarang memang suka omong miring soal rencana pembangunan kampus yang konon didasarkan pada kearifan lokal budaya Madura: taneyan lanjheng.
Banyak yang kagum. Ada yang heran, apatis, dan ada juga yang memaki. Kalau pembangunan ini jadi perbincangan saya rasa itu wajar. Konon rencana pembangunan di Universitas Trunojoyo adalah sesuatu yang luar biasa mewah.
Soal omong miring, apa yang tidak jadi bahan gunjingan di Madura ini? Segala yang nongol dari Pulau Garam ini kerap menggegerkan akal dan tampil ora umum. Baik soal kiainya, pemerintahnya, begal, seksualitas dan aparatnya. Jadi kalau pada akhirnya dicurigai, ya itu wajar. Curigation dulu dan oalah kemudian.
Kalau sudah curiga, maka sejurus kemudian pasti tuduhan. Tapi, sudahlah! Tidak perlu ambil pusing soal omongan mahasiswa yang nyinyir. Karena masterplan yang agak konon agak overdosis ini tentu lebih patut diperjuangkan ketimbang sekadar mendengar omong miring mahasiswa kurang makan.
Jika punggawa kampus bilang mau bangun megah kampus taneyan lanjheng, maka jangan ditanya lagi soal segala aspek dalam persiapan pembangunannya. Kalau di luar sana banyak pembangunan megapolitan yang ogah melirik kearifan lokal, orang pada protes. Lha sekarang sudah bikin kampus yang tidak hanya sadar identitas, tapi juga menghargai warisan leluhur kok malah digunjing yang macam-macam.
Coba bayangkan, betapa bangganya leluhur orang Madura ketika kampus taneyan lanjheng sudah tegak berdiri. Dan pendirian kampus ini seolah menelanjangi nggumun massal pada segala sesuatu yang bau “pantat barat”.
Kesadaran punggawa Universitas Trunojoyo pada pembangunan kampus taneyan lanjheng tentu tak lepas dari keinginan mencontek semangat Jepang yang mencoba bangkit usai dikampleng Amerika pakai dua bom nuklir.
Perlahan tapi pasti Jepang bangkit dari keterpurukan melalui kesadaran pada kearifan lokal. Meski semangat itu harus sejalan dengan kejujuran, kesungguhan, dan menjaga batin senantiasa bersih dari keinginan ngentit.
Kali ini untuk kampus taneyan lanjheng saya akan pasang badan membela dari omong miring mahasiswa ikan asin.
Yang kurang ajar dan tak bisa ditolelir dari para mahasiswa gemblung ini adalah mempertanyakan soal toilet yang tak pernah beres di tengah gegap gempita pembangunan kampus.
Mempertanyakan toilet itu sama saja menanyakan apakah orang yang sudah pakai jas super mahal itu tak lupa pakai celana. Ini kan sama saja melecehkan para punggawa. Meminta mereka mengurusi sesuatu yang sepele di tengah persiapan membangun. Kalau rewel soal toilet, kan bisa kencing di balik pohon atau di semak-semak.
Jadi rencana pembangunan yang “suci” ini tak boleh dihitamkan prasangka akibat kondisi toilet yang menjijikkan. Toilet kan letaknya di belakang. Tak akan ada tamu kampus yang bakal melongok ke toilet dulu baru ke aula utama.
Kok tega-teganya di tengah keinginan membangun, UTM justru dipersoalkan toiletnya. Toilet busuk dan pintu yang keropos hanya butiran debu di mata kampus yang tata kelolanya semakin mirip pabrik kerupuk ini.
Siapa tahu di kemudian hari para mahasiswa gemblung itu bakal dapat kejutan: bisnis toilet umum dalam kampus. Nah, ini yang belum ada. Kalau bisnis parkir, tentu saja sudah.
UTM akan membuktikan jika pembangunan kampus taneyan lanjheng tetap dapat terlaksana. Soal tata kelolanya yang ngehe, ya, wajar saja. Anggap saja ikut-ikut berikan pupuk alami kepada tanaman dengan kencing sembarangan di semak-semak. Kalau ada laporan anu yang gatal, silahkan digaruk sendiri.
Citra D Vresti Trisna
1 komentar:
Posting Komentar
Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.