Halo buruh, bagaimana kabar kalian?
Demo buruh yang terjadi beberapa hari terakhir ini
membuat saya kembali teringat dengan omongan paman di momen idul fitri di masa-masa
kuliah.
”Kamu itu kuliah saja yang bener. Ndak usah ikut-ikutan demo. Kayak kurang kerjaan aja,” ujar paman.
Saya terpukul dengan omongan paman. Sehingga, sebagai bentuk protes, hari itu saya menolak untuk sungkem dengannya, dan menghabiskan
sepanjang siang di warung kopi sebagai bentuk protes. Alhasil, beberapa bulan
lamanya, saya tak pernah lagi bertegur sapa
dengan paman. Waktu
itu saya berpikir bila orang-orang tua adalah seburuk-buruknya hipokrit.
Dulu
saya berpikir bila aksi adalah satu-satunya cara memperjuangkan masyarakat.
Termasuk nasib paman. Saya membayangkan bagaimana perasaan para buruh yang
menuntut kenaikan upah tiba-tiba harus disepelehkan orang
lain. Apalagi yang menyepelehkan adalah mereka-mereka yang sama-sama buruh. Beberapa
waktu lalu, seorang kawan (yang juga buruh) bertanya pada saya, ”Sudah untung
dapat kerjaan. Masih banyak orang-orang tidak punya kerjaan yang hidupnya
senin-kamis. Mereka (buruh) itu tidak tau bersukur, ya?”
Tanpa menjawab pertanyaannya, saya balik bertanya padanya, ”Kamu kan juga buruh? Seandainya tuntutan para
buruh itu dikabulkan dan upah buruh benar-benar naik, kamu ikut senang?” Kali
ini ia yang tersinggung. Mukanya merah padam dan tak melanjutkan kata-katanya.
Saya heran dengan kelakuan orang Indonesia, termasuk
saya. Merasa aman ketika kepentingan pribadi kita telah
diperjuangkan
orang lain tanpa harus berpeluh. Kalau nanti ada yang buruk, ya, bukan kita
yang akan menerima dampak karena telah berada di zona aman. Muka
kita yang akan selamat di mata orang lain, di
mata bos. Kalau
ada nasib naas menimpa buruh, tiba-tiba kita menjadi orang
tua sok bijak dan melupakan betapa kepengecutan kita sudah alang kepalang.
Ada apa dengan kita? Sakit jiwa akut menjadikan kita
mengerti betapa perjuangan untuk sesuatu yang diyakini perlu modal besar dan
rasa sakit yang teramat sangat. Bisakah kita,
yang juga sama-sama buruh, melakukan sesuatu ketimbang diam menunggu bisu sembari sesekali
menjilat?
*
Siapa tak ingin hidup lebih ”baik”? Bukankah keinginan
(untuk hidup lebih baik) itu seperti bisul di bokong. Terus membesar, bernanah
dan menunggu waktu yang tepat untuk meletus.
Mungkin demo buruh adalah meletusnya bisul di bokong
Indonesia. Soal apa yang keluar dari dalam bisul itu berupa anarkis, atau
justru sebaliknya, tidak ada yang tau.
Bila bisul itu harus meledak hari ini, saya
pikir, itu wajar. Rasa bosan pada nasib yang flat, kesenjangan sosial, dan sistem outsourcing yang mencekik membuat buruh
melakukan sesuatu yang mereka anggap wajar: mogok kerja dan menuntut kenaikan
upah. Sedangkan bagi Mentri Koordinator Perekonomian, Hatta Rajasa, yang sedang
kebakaran jenggot menginginkan agar demo buruh tidak anarkis agar tidak hanya menimbulkan stigma negatif
bagi investor, menurut saya itu terlalu berlebihan.
Pernyataan
Hatta Rajasa menimbulkan banyak tanya di kepala saya: siapa yang harus lebih
diutamakan, buruh atau investor? Kalau
pada akhirnya buruh di tuntut untuk tidak rusuh, apa pemerintah bisa memberi
jaminan bila gaji buruh akan naik? Bukankah selama ini buruh telah banyak
menelan ludah dan banyak mengalah dengan kebijakan pemerintah yang lebih
berpihak pada investor.
Sudah
berapa momen Mei terlewati dengan datar, tanpa penyelesaian, tanpa kejelasan?
Bukankah akhir-akhir ini demo menjadi sekedar evoria dan rutinitas yang kering?
Jadi, masihkan buruh harus menahan diri untuk tidak anarkis? Kalau seandainya
buruh terpancing untuk anarkis, dan investor terlanjur member stigma negatif,
mengapa kita tidak bertanya: apa kita benar-benar butuh investor untuk
membangun negeri ini? Apa kita tak bisa hidup tanpa investor? Bukankah ratusan
tahun silam, nusantara bisa berjaya tanpa harus ada investor? Mengapa
pemerintah harus kehilangan jati diri
karena takut ditinggalkan investor? Mengapa pemerintah harus memaksakan
Indonesia menjadi negara industri? Dan ketika bisul dari rasa bosan itu telah
meletus, pertanyaan tidak akan menyelesaikan apapun kecuali mengepalnya tangan
dan rasa geram yang ditumpahkan lewat anarkisme.
Bukankah
di Indonesia ini ricuh, anarkisme, dan konflik adalah bahasa yang lebih banyak
menjelaskan dan menjanjikan perubahan ketimbang diplomasi-diplomasi yang
ujung-ujungnya melahirkan kekecewaan.
cdvt
2 komentar:
wah, keren tulisannya.. keren sekali..
Salut dengan tulisan nya.........mudah"an kedepan pemerintah lebih arif menyikapi kebutuhan rakyat nya jgn hanya memperkaya diri dan kepentingan pejabatnya aja
Posting Komentar
Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.