Di sebuah warung kopi di dekat Perempatan Jepun,
Tulungagung, sembari menunggu kawan yang datang menjemput, saya dikejutkan
dengan tampang seorang yang lagaknya mirip saya zaman dulu. Seutas tali dengan
ID pers menggantung di lehernya. Saat itu juga saya dikembalikan pada ingatan
masa lalu. Sebuah iklan neon dari buku yang pernah saya baca, ”percayalah! Tidak
ada orang besar yang tidak memulai karir sebagai wartawan.”
Awalnya, kata-kata itu manjur dan langsung punya tempat
dalam diri saya. Jadi wartawan, ya, ah pokoknya waktu itu pekerjaan wartawan
begitu menyilaukan mata. Meski bukan soal finansial, tapi, terkadang mitos
tentang ideal-ideal, standar nilai dan jargon berbicara banyak dalam merebut
kesadaran.
Mungkin pada awalnya korelasi antara menjadi orang besar
dengan provesi wartawan bisa ditelusuri rujukannya: menjadi wartawan itu banyak
informasi, relasi dan (kembali lagi sebuah jargon) ”Informasi adalah power!”
Korelasi antara menjadi wartawan dan menjadi ”orang besar”
bisa jadi masuk akal karena dulu banyak orang besar yang berprofesi sebagai
wartawan. Meski kita tau, sejarah yang tak dipahami sebagai masa silam akan
membawa tulah pada hidup.
Tapi, bisakah hal-hal serupa bisa kembali terjadi di hari
ini?
Dulu, situasi sosial di Indonesia memang sedang kalut. Tak
ada toleransi bagi suara-suara sumbang untuk mengkritik pemerintah. Masyarakat
tak diberikan ruang untuk jadi cerdas dan mengerti persoalan-persoalan
kebangsaan, atau lebih tepatnya: boleh paham persoalan terkini tanpa perlu
bangkit dan melawan. Sehingga semua aparat dikerahkan untuk membatasi ruang
gerak koran dan wartawan.
Represi rezim adalah obat mujarab untuk memupuk militansi, kematangan
sikap, kedewasaan akal dan nurani. Mungkin, istilah ”mantan wartawan” dan ”orang
besar” bisa jadi masuk akal. Dan kala itu, modal bukan sesuatu yang mutlak,
karena sesuatu yang diperjuangkan benar-benar real (meski tak
sepenuhnya benar) dan bisa dirasakan geloranya.
Tapi, setelah kran demokrasi dibuka, segalanya dijungkir
balikkan. Segala sesuatu jadi lebih mudah diakses. Informasi tumpang tindih dan
berkelindan. Saat itu, fakta adalah sesuatu yang bopeng dan tak dapat ditemukan
lagi bentuk aslinya.
Fakta dikonstruksi sesuai kepentingan media---dalam hal ini
bisa modal, kedekatan dan posisi strategis---sehingga yang datang di hadapan
khalayak hanya kepingan-kepingan kenyataan yang subhat. Sehingga
pada akhirnya masyarakat perlahan-lahan mulai memaklumi dan tersublimkan karena
mereka yakin: segala sesuatu yang lahir dari media tidak perlu ditanggapi
serius.
Lalu, bagaimana dengan wartawan? Ya, mereka tersudut di
pojok dan tak dapat melakukan sesuatu kecuali ikut arus. Karena sejak awal
kedatangan mereka di media, mimpi dan idealisme mereka diperkosa, dicabik-cabik
hingga hancur berkeping-keping.
Media tak butuh cita-cita kudus. Media tak butuh kemurnian
fakta. Media tak butuh nurani. Karena media hari ini tak lebih dari industri;
pabrik kata-kata dan ilusi yang ditransformasikan ke masyarakat lewat
pengulangan sesuatu yang di klaim sebagai fakta.
Pada situasi seperti ini, secara tidak sadar, wartawan pun
berubah haluan. Mereka digerakkan perusahaan untuk jadi zombie pemuja tragedi
demi rating; demi sebuah alibi keberlangsungan napas perusahaan. Dan ketika
eksistensi dan arogansi ideologi mereka tak tersalurkan, maka aspirin pengobat
luka para wartawan adalah amplop.
Ketika berbicara soal amplop, ada cerita menarik yang perlu
kuceritakan. Seorang tukang becak di Sampang, Madura yang setiap harinya
bergaul dengan wartawan tiba-tiba berhenti dari profesinya dan lantas menjadi
wartawan Cuma Nanya-Nanya (CNN). Ia tak punya media, tapi dia mengikuti
perkembangan isu untuk menodong instansi dengan pertanyaan seputar keburukan
dinas-dinas untuk mendapat amplop.
Begitu menariknya profesi wartawan. Profesi yang cukup
menjanjikan bagi siapa saja yang piawai menganalisa dan pandai meraba-raba
kasus. Serta sebuah pedoman yang mutlak: tidak ada institusi pemerintah yang
bersih. Mungkin karena itu setiap institusi selalu mempersiapkan amplop untuk para
tamunya yang kebetulan mengajukan pertanyaan-pertanyaan sulit. Dan pada
puncaknya, wartawan di Kota Sampang pernah dijuluki sebagai ATM berjalan oleh
dinas yang kesal.
Tapi, menurut saya, dinas-dinas pemerintah tak perlu
berlebihan seperti itu. Kalau yang mereka takutkan dari wartawan adalah aib
institusi mereka sampai ke masyarakat, itu salah besar. Karena masyarakat hanya
pembaca yang tak peduli. Dinas-dinas itu hanya perlu takut pada Kejari, polisi
dan Tuhan. Kalau pada wartawan, mereka hanya perlu menyiapkan uang bensin,
rokok, dan mentraktir sarapan.
Dan melihat situasi ini, jalan panjang antara ”menjadi orang
besar” dan ”provesi wartawan” tak dapat bertemu. Karena wartawan adalah
wartawan. Sebuah baut kecil di sebuah mesin besar industri. Ketika si baut punya
cita-cita dan kekaguman pada idealisme, dan perlawanan, maka ia boleh dicopot
dan bisa diganti dengan cepat, murah dan yang penting lebih produktif.
Tinggal mendatangi toko baut murah (baca: universitas)
terdekat, sebuah baut bisa didapatkan.
*
Kepada adek-adek mahasiswa yang pernah tanpa sengaja saya
tipu soal impian menjadi orang besar dengan jadi wartawan, maafkan saya. Setiap
manusia tentu boleh kalap, bukan? Juga kepada wartawan-wartawan yang pernah
saya kemplang dan saya maki-maki di meja redaksi. Maafkan saya, harusnya saya memahami
kemiskinan anda, ketidakberdayaan anda. Memang tidak enak kuliah mahal-mahal
hanya untuk dimaki dan dibayar murah. Hehehe maaf, yah :*