Laman

Senin, 14 Desember 2020

Peradaban Mesin dan “Kematian Tuhan”

Apa tugas semua pendidikan tinggi? Mengubah manusia menjadi mesin. Dengan cara apa? Dia harus belajar bagaimana merasa bosan. ’Bagaimana itu dicapai?’ Melalui konsep tugas.” Tulis Nietzsche dalam Twilight of the Idols and the Anti-Christ.

Nietzsche memang sinis! Mungkin pada segala hal. Juga pada dunia pendidikan yang pernah ia geluti: menjadi tenaga pengajar di Universitas Basel, Swiss pada 1869. Sebelum ia bergelar doktor, ia telah diberi rekomendasi oleh dosennya di Leipzig untuk mengajar di Basel. Ia pun mendapat gelar doktor dari Leipzig tanpa melalui formalitas ujian. Dan ini adalah sesuatu yang hampir mustahil terjadi di hari ini.

Melihat riwayat pendidikan Nietzsche, mungkin tak banyak yang meragukan kecerdasan dan kecemerlangannya. Untuk itu, mustahil ia tak menakar dan menghitung kembali aforisme yang ia tulis mengenai pendidikan tinggi; sesuatu yang ia sebut “pengubah manusia menjadi mesin”. Sedangkan istilah “manusia”, “pendidikan”, dan “mesin (robot)” memang begitu dekat, klasik, meski tidak cukup mengherankan.

Di dalam lagu-lagu (progresif), pendidikan—apapun jenjangnya—dikritik, dianggap sebagai cikal-bakal pembodohan terstruktur; kemunduran yang gagal menjawab pertanyaan zaman. Bila dalam arus-arus perlawanan, pendidikan dikritik; dipermasalahkan outputnya. Tapi, saya melihat kritik atas pendidikan berangkat dari ketidakmampuan alumnus dunia pendidikan menentang ketidakadilan, praktik perburuhan dan kapitalisme. Meski di sisi lain, ketidakadilan perburuhan dan kapitalisme—jurang yang memperlebar jarak antara kaya-miskin—justru diciptakan oleh alumnus dunia pendidikan itu sendiri.  

Di hari ini, kritik itu telah lumrah. Bahkan hampir di semua lapisan masyarakat pun tahu pendidikan telah dibabat dengan kritik. Ia disebut-sebut sebagai bagian dari salah satu sektor kapitalisme yang paling berbahaya. Dan kritik tetaplah kritik. Dan sekolah (baca: pabrik pendirikan) tetap dibuka dan diserbu seperti biasanya sebagaimana tempat makan McDonald’s yang baru dibuka di negara komunis yang bangkrut.

Ketika materialisme mencapai puncaknya dan manusia kian dipisahkan dengan apa yang “sejati”, saat itu manusia bergerak sebagaimana yang Nietzsche sebut: mesin. Manusia bergerak menjauhi dirinya sendiri dan semakin tidak mengenal dirinya. Tapi, dalam jaring kejamnya dunia perburuhan, sekolah sebagai pabrik buruh dituntut untuk merubah wajahnya. Bila pada awalnya pendidikan tinggi mencetak manusia menjadi makhluk “universal”, kini berubah menjadi makhluk “fakultatif”.

Apa ada perbedaan output pendidikan ini jadi penting? Tentu tidak! Di mata masyarakat modern, manusia universal hanya akan jadi penerus filsuf: cepat tua, tidak menarik dan banyak omong. Berbeda dengan manusia fakultatif. Manusia jenis ini sangat baik dan efektif sebagai sekrup kecil dalam mesin besar industri yang harganya murah bisa cepat diganti bila membangkang dan aus.

Ketabahan sekrup-skrup kecil keluaran pendidikan tinggi memang tidak lagi diragukan loyalitasnya. Kalau pada awalnya output pendidikan tinggi “manusia universal” dipaksa menjadi sekrup, di mana mau tidak mau mereka harus bertahan agar bisa melanjutkan hidup. Sekarang peminat pendidikan tinggi sudah sejak mula-mula mendedikasikan dirinya untuk menjadi sekrup, hidup sebagai sekrup sampai mati. Tidak jadi soal bila di tengah perjalanan, nurani mereka bicara, lalu timbul pertentangan dalam dirinya dan berakhir bunuh diri. Ini hanya nol koma nol sekian persen dari output pendidikan tinggi yang ada.

Pilihan kata “mesin” pada aforisme Nietzsche, bagi saya terbilang cukup tepat karena hanya mesin yang berjalan tanpa nurani. Agar tak cepat-cepat tak tergantikan, buruh hari ini harus bisa lebih tabah, dingin dan bisu melebihi mesin. Dan pelumas sekaligus pendingin mesin adalah upah murah serta omong kosong yang manis tentang masa depan. Pelarian diri untuk “buang hajat” ketika mesin telah dipanaskan jam kerja yang tidak masuk akal juga telah disiapkan.

Hanya di lubang-lubang konsumerisme ini manusia modern boleh bergulir. Keterikatan manusia dengan pola hidup konsumtif inilah yang membuat para buruh ini selamanya terikat; selamanya menjadi mesin yang kelak mati dalam kebosanan. Pendidikan tinggi jadi punya arti penting bagi para industrialis yang sedang mencari buruh murah. Karena kurikulum yang ada saat ini seolah tak punya urusan selain mencetak buruh-buruh murah.

Tidak heran bila pendidikan tinggi adalah sebaik-baik pemberhentian manusia untuk menghancurkan martabat—derajat manusia yang punya kaitan langsung dengan konsep Tuhan—sampai ke titik nadir. Alhasil mesin-mesin yang lupa martabat ini dihilangkan kemandiriannya dan mengalami ketergantungan serta hanya menginginkan dirinya untuk terus menjadi mesin industri di segala level. Setelah martabat dan kemandirian punah, barulah budaya baru “manusia modern” terbentuk. Dan setelah menjadi budaya, barulah peradaban baru terbentuk.

Titik berat dari moncong bedil atas kritik pendidikan tinggi terletak pada output. Tapi, kritik ini bukan lahir tanpa serangan balik yang lebih nampak seperti olok-olok. Output pendidikan tinggi yang melahirkan sistem canggih perbudakan manusia di balik sistem perburuhan dianggap sebagai kecemerlangan berpikir, buah dari universitas. Kalau memang olok-olok itu benar, tentu saya akan balik bertanya: pendidikan macam apa yang sanggup menciptakan manusia pencetus sistem perbudakan yang sistematis?


Di aforisme yang lain, Nietzsche pernah menyebut: “Tuhan telah mati, dan kita adalah pembunuhnya”. Saya tidak peduli pada anggapan orang soal aforisme ini. Tapi, saya berbaik sangka, bila proses “pembunuhan Tuhan” ini adalah sebuah proses tergantinya “kesejatian” menuju “tuhan baru yang plastik”. Proses “pembunuhan Tuhan” ini berlangsung di hampir semua aspek hidup manusia, termasuk pendidikan tinggi. Segala yang imateri dihilangkan, termasuk martabat. Karena, konsep martabat—yang tidak sejalan dengan proses meraup untung besar—harus dihabisi tanpa sisa.

Bagi manusia yang telah tamat martabatnya sejak mula-mula, hanya soal waktu agar konsumen pendidikan tinggi dapat diupayakan terus hidup tanpa jiwa. Dihilangkan rasa-pirasanya. Kebutuhan mereka didikte, direedukasi mengenai apa yang primer dan skunder. Mereka diajarkan untuk hidup dengan ekses dan menganggap ekses adalah hal yang lumrah. ”Inilah keberhasilan… Berhasil itu bila usai sekolah, bekerja di kota, dan pulang ke rumah membawa banyak kemewahan ke rumah.”  Kata para orang tua di kampung.

Inilah yang kemudian di sebut Baudrillard: kelimpahruahan bukan lagi sesuatu yang jauh. Sesuatu yang kini menjadi begitu dekat dan lumrah. Lebih dekat dari perjalanan ke gereja di hari minggu; lebih dekat dari surau atau langgar di masa kecil yang tak letih mengajar anak-anak soal kesederhanaan. Tapi, usai menginjak pendidikan tinggi semuanya jadi nihil dan tanpa harga. Ya, saya saksikan parade ketercerabutan manusia dari puaknya ini setiap momentum lebaran.

Lalu, apa Nietzsche sedang membaca masa depan? Tidak! Bagi saya, ia hanya sedang kesal dengan apa yang ia lihat di zamannya. Ia sedang tak enak hati dengan muka dunia yang dihitamkan sistem perburuhan, kemalasan sebuah generasi. Ia sedang muak dengan kemunduran di bidangnya: filologi; dengan sebuah filsafat di mana waktu itu tak banyak seorang pembaru, seorang pemberontak yang bersedia menjadi “dinamit” sebagaimana dirinya. Juga tidak lepas dengan kompleksitas hidupnya (cinta, persahabatan, dan keluarga) yang juga tak kalah gelap dengan pikiran-pikirannya.

Mungkin aforisme Nietzsche nampak mengerikan usai buku ini ditulis. Tapi, saya pikir, lebih mengerikan lagi di hari ini: sebuah zaman di mana manusia bukan lagi dipaksa menjadi mesin, tapi hidup dalam peradaban mesin. 

 

Citra D. Vresti Trisna

Jakarta, 25 Januari 2020

 Catatan: Pernah dimuat di Jurnal Faktual

1 komentar:

Blog Olahraga Indonesia mengatakan...

Jadi pengen baca2 ulang tentang aforisme Nietzsche

Posting Komentar

Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.