Laman

Selasa, 19 Februari 2013

perempuan ratib: perempuan pembawa canang



            : w, s, e


Wangi dupa itu tiba
Aku mencium jejak basah, teduh:
Kenangan yang (mungkin) terlewat
Singgah di suatu sore
(kemudian jemari itu memanggil,
mata – yang kubayangkan – mungkin tertutup
dan doa-doa menyala kemudian)

Aku dengar sepimu, perempuan
Bila malam berjarak, tawa usai
Boleh aku tau siapa yang kau panggil sebelum lelap berbisik pada mimpi?

Lalu hujan mengecup gonggong anjing sampai malam mendingin
Kau tau, pada bilik ini aku dengar kikik tawa menderai
Sebelum akhirnya gerimis reda digantikan hari menggelap

Hey, perempuan pembawa canang
Pada tidur paling putih: tahukah kau tentang sepi yang pernah dibicarakan
Dongeng dari padang dandelion; suatu tempat
yang pernah disebut dalam lontar yang (mungkin) tak pernah kau temui

Apa, siapa yang kau panggil adalah kesejatian yang sama?
Apa, siapa yang kita rasakan saat sepi mengecup ingatan kita adalah keteduhan yang sama?

Aku bertanya: bagaimana denting angin membawa wangi sunyi
dan doa meluruh di lentik jemari (mu)

Aku kenang: pagi tiba, retak, saat kau ucap: om swastyastu
Semua kembali di mulai, kembali dicatat
Hari yang menyala doa-doa –saat paling tepat untuk pamit, menyimpan kenang sua

Perempuan. Perempuan. Perempuan pembawa canang.
Apa esok tetap (hidup) ketika jemari (mu) lentik
: meratib

Denpasar, Februari 2013
Citra D. Vresti Trisna

Kamis, 07 Februari 2013

Senyum Teman saya



 "Senyum" kawanku punya cerita, Tapi tiba-tiba saya buta.,,

Aku tak tau apa arti senyumnya. Senyum seorang kawan yang hidupnya dalam dan selalu rindu petualangan. Seperti ada sesuatu yang ganjil, tapi apa? Entahlah, di sepanjang perjalananku berkawan, selalu aku jumpai senyum macam itu. Apa mungkin ia sedang mengukur diriku, kedalamanku atau sedang menilaiku. Apa aku merasa rikuh karena merasa hanya aku yang berhak menilai? Apa aku egois dan masih kekanak-kanakan karena tak ingin dinilai apapun. 

Aku tau hidup adalah soal menafsirkan sesuatu. Tapi, bukan hanya aku yang berhak menafsirkan hidupku. Apa aku sedang sakit? Apa setiap orang yang berusaha aku nilai, ukur, baca dan tafsirkan juga merasakan sakit yang sama? Hey, apa kalian kesakitan, keberatan bila aku tafsirkan? Apa mungkin kalian juga sakit seperti aku?

Ah, kalian mengecewakan. Kalian tak menjawab. Hanya terus bisu, bisu, bungkam, diam dan sesekali tersenyum. Kalian tau? Aku terus saja sakit dengan senyum itu, senyum yang menerbitkan keganjilan dan menghadiahkan insomnia akut. Bicaralah! Mengapa terus saja tersenyum dan membuat ku berpikir macam-macam soal aku? Apa kalian merasa aku adalah bajingan tengik? Sudahlah, hentikan senyum itu. Kita habiskan saja kopinya. Ini sudah pagi.

Dari tempat yang berbeda, apa kau masih juga tersenyum padaku. Sebenarnya sapa yang jancuk? Aku atau kalian? Mataku pedas.
Selamat pagi
 
Cdv_t