Laman

Sabtu, 28 Oktober 2017

Belajar pada Surabaya

#DUDAKARTAdanJAKARTA13
Citra D. Vresti Trisna

Siapa yang tak butuh pulang kampung di zaman tembelek ini? Bahkan penduduk asli — yang lahir, tumbuh, dan menunggu mati di suatu tempat — juga butuh pulang kampung. Kemana? Tidak perlu dijawab, karena (konon) manusia modern lebih mengerti apa yang ada di kedalaman mereka ketimbang Gusti Allah.
Jakarta itu tidak jauh berbeda dengan Dudakarta dalam urusan budaya pulang kampung. Namun, yang membedakan Jakarta dan Dudakarta dalam hal pulang kampung hanya soal itensitasnya. Kalau warga Jakarta hanya pulang kampung saat lebaran, warga Dudakarta bisa kapan saja pulang kampung. Inilah yang membuat Mbah Ripul dibawa angin sampai ke Surabaya hingga ia menemukan dirinya sudah memesan tiga batang rokok dan segelas kopi susu tanpa gula di warung kopi di Lidah Wetan, Surabaya.
Kepulangan Mbah Ripul ke Surabaya kali ini adalah untuk sesuatu yang penting: pulang kampung itu sendiri, menjadi berarti dan studi banding. Mbah Ripul juga didaulat mengisi pelatihan menulis di sebuah organisasi pers mahasiswa yang keblinger dan salah paham lantaran mengira Mbah Ripul adalah tokoh pers. Tapi, di sisi lain, ia menyanggupi undangan itu karena ia sendiri menganggap proses mengajar adalah sesuatu yang prinsipil sekaligus dapat menjadi sarana studi banding; membandingkan Jakarta — tempatnya mondok — dengan kota kelahirannya.