Laman

Jumat, 27 April 2012

Pasca*

-Apa cara hidup beragama kita ini membosankan hingga harus ada kekerasan dan represi agama? Ketika komunis berkuasa dan agama di represi: itulah momentum terbaik untuk merenung – mengakhiri kebengisan dan keserakahan umat beragama.

Suara keagamaan kembali terdengar. Setelah komunis di berbagai belahan dunia sempat membungkam para “sales agama” Tuhan dalam dalam beberapa saat. Kini penyambung lidah Tuhan lebih leluasa dalam melakukan tugasnya.
Mesjid-mesjid bebas memanggil para hamba tuhan untuk sholat tanpa harus takut ditendangi punggungnya oleh sekelompok masa yang mengamuk. Pemeluk Islam tidak perlu kawatir membaca Al Quran setiap saat, tanpa perlu kawatir dirobek-robek: “iki sing mbarai gudiken  ( ini yang membuat kudisan ) ujar simpatisan Komunis Indonesia di Jawa Tengah yang merobek dan menginjak-injak Al Quran di pagi buta usai sholat subuh.  Gereja bisa membeli ikon-ikon paling mewah dan membuat lonceng dengan sepuhan emas tanpa kuatir dirampok tentara merah untuk dilebur dan dijadikan bahan senjata. Pohon cemara juga bisa ditebangi kapan saja, saat natal tiba, tanpa perlu kawatir dihalang-halangi pimpinan komunis, dengan alasan merusak lingkungan.

Kamis, 26 April 2012

Kepet Bulan Maret 2


Pelabuhan; Berlabuh

            : untuk kawanku, Defy (J. ruet)

Lelaki mesti kembali pada kampungnya—yang menyimpannya dalam ranjang yang hangat; (yang disebut) cinta kasih; ramai anak-anak; sebuah keluarga kecil, mungkin. Lalu menjadi bijak sebelum akhirnya jompo dan mati.
Baru saja ia berusaha melambatkan waktu, meski gagal hingga akhirnya pulas tertidur di emperan warung.
Waktu berjalan, menggilasnya. Fase ketakutan-ketakutan mahasiswa yang menjelang basi dan “takut pulang”.  Saat ia bangun, ia menemui dirinya gagal melambatkan waktu; menemukan pelabuhan dan menurunkan jangkar. Mungkin ia menyesal, marah, meski tak sanggup berbuat apa-apa. Waktu memang sadis, memaksa seseorang untuk hanyut terbawa. Dan setahuku, ia begitu berbaik sangka dengan keputusan Tuhan. Tapi, apa aku salah? Terus terang aku masih ragu dengan siapa ia berbaik sangka: Tuhan atau konsekwensi dari setiap hal yang dilakukannya.

—Citra D. Vresti Trisna
Ketintang (warung depan kampus Unesa, Surabaya) 16 April 2012.
: kopi, good day (bungkus coklat), es teh tawar, rokok Lisis (sampurna pas), mie n black coffe

Kepet Bulan Maret


Perempuan yang Terpikat Revolusi

            : V & L

Maaf, tapi...
Mari bicara feminis; mari membohongi diri. Evoria tangan kiri, rokok dan buku-buku revolusi. Penis (yang kau bilang suci) ia hilang di mulutmu, di hatimu.
Pagimu karat besi.
—catatan yang rapi dalam tas punggung—
Kau bakar, kelak, saat kau tau kenyataan menampar pipi.

—Citra D. Vresti Trisna
Ketintang (warung depan kampus Unesa, Surabaya) 16 April 2012.
: kopi, good day (bungkus coklat), es teh tawar, rokok Lisis (sampurna pas), prancis, mie n black coffe

Kamis, 19 April 2012

CHE


Ernesto (Che) meninggalkan kenyamanan sebagai mentri di pemerintahan Castro; setelah berhasil dalam revolusi menggulingkan rezim Batista (1959). Bagiku, Che adalah salah satu dalam daftar sakit jiwa akut: masokistik irrasional—menerobos hutan gelap untuk mengajak para petani di Boivia berjuang. Di tahun 1967 yang naas, Che ditembak mati tentara Bolivia. Mungkin kita boleh menyebut hal ini sebagai kegilaan. Merayap-rayap dalam belukar, melintasi indahnya sungai-sungai dan padang ilalang untuk sebuah maut yang tengik. Kematian dalam gejolak revolusi yang “katanya” indah boleh jadi hanya jargon dan upaya menertawai diri, atau sebaliknya: keniscayaan untuk kematian dalam revolusi.

Senin, 02 April 2012

Orang Biasa


“Orang biasa.” Duduk di warung kopi, menikmati jajanan, kopi, rokok. Mereka beredar dimana saja–tempat-tempat yang biasa pula. Mungkin hanya itu yang pasti. Soal apa yang berdiam di kedalamannya; tiada yang tau pasti –biasa pula atau mungkin luar biasa.
Merekalah yang selalu menjadi soal, gagasan, dongeng, olok-olok, dan bahan untuk dikasihani. Tapi apa orang biasa butuh dikasihani?
Aku sediri hampir terjebak–saat menulis catatan ini–untuk mempertanyakan betapa pendidikan, kekayaan, dan posisi sosial kerap melahirkan idiom ‘orang biasa’ sesuai dengan klasifikasi yang berbeda.
Apakah klasifikasi dan kemunculan idiom ini merupakan sebuah tolak ukur bahwa kesombongan itu ada diantara kita, dan membuktikan bahwa kesombongan bukan sesuatu yang abstrak. Ia real, karena dampaknya selalu bisa dirasakan langsung, sekaligus membuktikan bahwa setiap orang memiliki potensi-potensi kesombongan yang menggelisahkan. Mungkin dalam versi lain, idiom orang biasa dapat menjadi bagian bila kesadaran diri akan kelas lahir bukan karena konstruksi–tapi alamiah sebagai akibat persaingan hidup.