Laman

Selasa, 19 Juli 2016

Rumah Sakit Jiwa Raksasa

 Di kota ini kita bisa saling melambai seperti alien dihadapan sekumpulan orang asing. Kita juga bisa saling melempar senyum lalu saling melupakan.

Di kota ini, tempat dimana uang bisa membuatmu diperlakukan seperti raja. Uang juga bisa membuatmu lupa dan menganggap orang yang melayanimu tak lebih dari handuk yang mudah di buang ke keranjang. Setelah diantara kita merasa mampu membeli bulan madu dengan makan malam romantis dan sedikit membeli hidup tapi sejurus kemudian kehilangan identitas. Kehilangan kepercayaan dan tak menginjak tanah.

Di kota ini kita bisa saling membesarkan dan merawat satu sama lain. Karena kota ini telah menjelma menjadi rumah sakit jiwa raksasa. Dan kita semua adalah penghuninya.

Di rumah sakit jiwa raksasa ini, bayi-bayi akan terus lahir. Mereka tumbuh menjadi orang asing, menjadi pot bunga yang ditanami kembang-kembang ideologi, kemarahan, pertentangan, dan sperma iblis. Mereka akan tumbuh jadi penghisap lem kertas atau bocah yang kehilangan tempat dan waktu bermain lantaran menyuntuki sekolah-sekolah internasional untuk mencari kunci mobil di bra molor janda-janda kota. Menyuntuki kursus bahasa asing agar mampu menginjak kepala orang lain dan memaksa korbannya terus menghisap lem kertas sampai mati. Lalu bocah itu beranak pinak pula.

Di rumah sakit ini kita akan sama-sama tua di ranjang empuk bau obat-obatan. Menyadari begitu jauh kita melancong dan meninggalkan rumah kemanusiaan. Lalu ingatan akan mati mengundang wajah bapak ibu, kemanusiaan di pegadaian, welas asih di tali jemuran dan wajah sahabat yang pernah kita sembelih dengan canggih.

Di rumah sakit ini, mainan-mainan modern perlahan merubah kita menjadi pelacur berkaki satu dengan leher terjerat dan mulut tersumpal kaus kaki baru. Semua demi liburan luar negeri, pesta ulang tahun, bau porselen mall dan hotel penuh sperma yang kasat mata. Semua demi ketika membuka mata di pagi hari, tak ada porselen, selang infus, kemoterapi dan rambut yang berguguran. Padahal kita tak pernah kemana-mana kecuali mengantre di kuburan.

Di kota ini, kita lupa cara mencumbui kemanusiaan lantaran terlalu lelah dan bosan mencumbu bibir suami-istri. Kekasih-kekasih kita terlampau cepat menjadi orang asing.

Di kota ini, sungguh... Terlampau indah untuk bisa kita kencingi pojok ruangannya.

Di kota ini, sungguh... Terlampau indah resto dan cafenya untuk kau lewatkan tanpa mentraktirku makan malam.


Jakarta, mau tanggal tua Juli 2016

Citra D. Vresti Trisna

Minggu, 17 Juli 2016

Waktu Puisi Berhenti

Kepala lelaki
            : kepada kekasih es

melancong dan berenang dalam isi kepala
saat jam dinding beku-ngilu

siang hanya merangkak ke punggung lelaki
yang menyama-nyamakan kelaminnya
dengan kampus-kampus berpendingin

lelaki, mengaji adalah ingatan
sekoper perempuan dengan kepala berlubang
tembus ke neraka, ruang tamu
dengan televisi layar datar, menerangi
isi kepalamu dengan kunci mobil
pencekik leher dan obat kuat

pergi jauh ke dalam kepala lelaki
tempat angsa, kelok sungai lenyap
manusia digiling menjadi kaleng minuman
yang gagal memahami:
embun adalah jalan peluk-cium tuhan

bukan jembatan
tempat perempuan-perempuan melintas
lindap ke pelukan lelaki berpenghuni
(2015)

Bunyi identitas

memahami bunyi
langkah kaki pria bersepatu warna tanah
adalah sedepa dari pelajaran:
pengembara tanpa jas hujan
adalah roh identitas pencari alamat
di jalan struk atm di dada seorang
gadis nomor 5 dengan kode pos 34b
identitas adalah memahami asal bunyi
ning tersamarkan. obrolan desa, batu-batu
warung kopi. jalan setapak sebelum malam
tertimpa deras bulan dan keruh ingatan
bocah ngelangut: ketakutan di meja belajar
yang penuh ibu-ibu berdaster bau ayah

bunyi identitas ini, duhai
yang mengantar ke tempat gelap-hangat
dan asal-usul
yang tak mungkin didatangi lagi

(2015)

Waktu puisi berhenti  

malam jatuh telanjang
sepi menenun seorang gadis

“pukul berapa ini?”
sebaiknya puisi diakhiri
benar-benar berhenti
ke pelukan kekasih, tapi
malam masih “malam”

perempuan, adalah caramu
mencintai lelaki
lewat perseteruan dua ritel
yang berjanji dengan sebotol anggur
di ji-expo, kerling mata teori nilai lebih
juga sebuah iklan neon
datanglah pada kami
rumah gila sehangat kekasih

dan puisi benar-benar berhenti
(2015)

nb: tau dimuat nang Banjarmasin post edisi Minggu, 26 Juni 2016