Laman

Senin, 27 Oktober 2014

Kebas-kebus Rokok Kimcil CL


CL UB


(CL, Riwayatmu Kini)
Berawal dari tempat ini saya mulai mencintai Kota Malang. Ya, CL adalah tempat terbaik melibas bosan sambil ngopi, ngudut, baca buku, main catur dengan hape, atau menebak-nebak nomor togel paling ciamik.
Awalnya, saya kenal tempat ini saat masih di PPMI (organ absurd yang sekarang hampir modar). Saat itu, kalau tidak salah, ada agenda rapat kerja PPMI sekaligus konsolidasi. Dan orang yang berjasa dalam membuat saya mencintai CL adalah Andi Mahifal, Sekjen PPMI, yang kerap menyebut dirinya sebagai: Aktivis Muda Progresif Berbakat Multi Talenta (mati muda masuk tempo). Berkat pemuda berpantat tepos dan kurus kering ini saya jadi senang berlama-lama di CL.

Jumat, 17 Oktober 2014

#1 Menyimpan Rindu



Kepada J, F, H, U, A, R, B, D, P, S, H2, F2, B

Dulunya mereka adalah adik-adik kecil yang manis. Seperti biasa, aku hanya melihat mereka sepintas tanpa menoleh. Lalu, tak berapa lama –seperti yang selalu batin katakan, “kau akan segera dekat dengan mereka”– kita menjadi begitu dekat. Seperti saudara, bahkan lebih. Tak ada yang lebih dekat dan “sampai mati” kecuali dendam. Karena persahabatan itu sebagaimana dendam: sampai ke tulang, sampai mati.

Lalu, seperti yang biasa terjadi: ada dialog, sesal, kedekatan, proses belajar, dan tak lupa tangis tertahan. Semuanya adalah proses yang lumrah dan wajar: seperti halnya pagi dengan matahari dan malam dengan bulan-bintang. Saat itu mereka pun tumbuh. Menjadi apa saja yang mereka harapkan. Dan di sebalik duniaku yang sepi, diam-diam aku lihat mereka.

Oktober Ceria buat Tulus H






































Mungkin, di matanya Oktober berjalan terlalu lambat. Gelap. Saya ingin menghiburnya: bercerita tentang apa saja yang membuat dia (sedikit) lupa. Atau mengunjungi warung paling tengik untuk memesan kopi terpahit. Tapi, cerita apa yang bisa menghapuskan bertahun-tahun waktu yang lewat dengan rindu. Juga selubung gelap dari matinya logika karena menyadari: cinta adalah perkara siapa yang datang dulu serta angka-angka yang (semua orang pikir) membuat dunia jauh lebih terang. Dan warung macam apa yang bisa mengobati penantian panjang yang berujung kata "maaf".


Peduli setan siapa yang bakal jadi juara. Dia cuma manusia yang (mungkin) tak sabar menanti kebaikan Tuhan pasca kehilangan ada di depan mata. Sejak dulu luka adalah luka. Diungkapkan atau tidak. Meski setelah luka, tangis tertahan jadi punya makna. Dan untuk lelaki macam kita terlampau sering bertepuk sebelah tangan. "F" sekali, bukan?

Piye maneh, lek. Dilakoni ae.

Pak erte

Inverioritas Penggiat Seni Lukis dan Ritual Potong Kuping

Gambare Pakde Dalbo

“Apa jadinya kehidupan ini bila tidak ada yang berani mencoba melakukan sesuatu yang baru?”—Vincent Van Gogh.

Sekitar tahun 2009, waktu tersesat di Bali, tanpa sengaja saya tertarik dengan sebuah banner pameran lukisan “Nuansa Alam”. Karya-karya yang dipameran di sana adalah hasil karya mahasiswa semester II ISI Bali. Meski acara ini sederhana, tapi lukisan yang dipamerkan  cukup membuatku berdecak.
Usai melihat pemeran, pikiran saya terus melayang pada di seputar lukisan: cat, kuas dan kanfas. Saya berpikir, apa pameran serupa bisa diadakan di kampus saya? Tentu saya tak akan melewatkan acara itu, meski saya hanya seorang penikmat karya seni rupa, tidak lebih.
Entah kenapa bau cat kering di kanfas selalu membuat saya menerka-nerka cerita apa yang coba disajikan si pelukis dalam karyanya. Selain itu, pada setiap lukisan yang dipamerkan secara serius selalu menerbitkan rasa merinding yang asik dan magis. Dan kalau dalam hal ini saya termakan mitos dan label yang dibangun di setiap pameran lukisan, itu lain soal. Karena, pameran adalah pameran, dan tiap pameran selalu saja bicara karya.
Tahun demi tahun penantian saya akan terselenggaranya pameran lukis di kampus UTM masih belum terealisasi. Selalu ada rasa kesal ketika beragam pertanyaan muncul di kepala: apa benar dari ribuan mahasiswa UTM tidak ada satu pun pelukis serius yang hendak memamerkan karyanya? Lalu, apa saja kerja organisasi kesenian selama ini?
Sejak awal kuliah di UTM, saya punya sejenis apologi pamungkas untuk meredam sakit hati atas segala keajaiban-keajaiban menjengkelkan yang terjadi di kampus saya.
“Sudahlah. Ini memang ‘kampus pelampiasan’, jadi wajar kalau pameran lukisan yang saya inginkan harus menunggu lebaran monyet.”