Baunya seperti
petualangan. Tapi aku tak berani menyebut demikian. Bukan juga anak-anak muda
labil menyebutnya sebagai ‘mbambong’ –salut lah buat mereka itu. Semoga
dikabulkan Tuhan bila hanya untuk bersenang-senang, yang bagiku begitu meledek
orang yang benar-benar tak punya rumah, benar-benar mbambung: yang bukan kedok,
bukan ngeksis.
Sekarang, aku cuma
mengikuti kemana aku dibimbing hatiku. Sesuatu yang kutau bila ia selalu
berjalan lebih cepat dari logikaku. Berjalanlah aku sekarang. Entah kemana pun aku
pergi. Mungkin aku merencanakan ke Semarang, tapi, apa benar aku akan sampai
sana, tak ada yang tau. Percayalah, tanpa buku pedoman perjalanan dan
perencanaan, perjalanan akan semakin menggairahkan.
16:00/25/01/13
Aku sudah merokok di pinggir jalan Medaeng. Menyeruput kopi pahit
sebelum aku benar-benar terjaga dan menahan agar tidak mengantuk di sepanjang
perjalanan. Warung kopi, ah, selalu awal perjalanan terasa lebih cantik di
sini. Menyaksikan orang-orang bingung dan resah menunggu bis. Apa aku juga akan
resah seperti mereka? Tidak. Aku memilih naik truk saja. Sesuatu yang tak
berhenti menerbangkan anganku dan pikiranku jauh-jauh-jauh. Di kampus,
pikiranku hanya terus melayang tak tentu arah.
Truk
Truk, ah pesonamu membuat perjalanan jadi menggairahkan.
Truk adalah salah satu tumpangan menarik untuk menguji kesabaran.
Membuat kita sadar bila setiap orang mesti menahan diri untuk disepelehkan
orang lain. Dijadikan contoh orang lain di dalam mobil yang kebetulan sedang
pergi bersama anak istrinya. Muka kita kumuh dengan debu-debu akan disepelehkan
orang sebagai orang yang tak terurus, tak berpendidikan. Mungkin sambil
menunjuk-nunjuk mukaku, mereka menasehati anaknya: “liat, nak, orang-orang yang ada di truk itu. Mereka kurang beruntung.
Tidak sepertimu, tidak kehujanan dan kepanasan karena di dalam mobil seperti
kita sekarang. Makanya kamu sekolah yang bener, yah. Biar tidak seperti mereka.”
Mukaku seperti ditinju ketika melihat sorot-sorot mata mereka. Tapi
biar saja aku ditinju dengan pandangan-pandangan macam itu. Pandangan yang
membuatku merunduk dari keangkuhan, kecongkakan.
Aku ingat sewaktu kecil, sewaktu berlebaran ke Nganjuk bersama sanak
saudara dalam satu mobil. Waktu itu salah seorang saudaraku mencontohkan para
pengamen di pinggir-pinggir jalan pada kami. Disuruhnya anak-anak kecil
diantara kita, termasuk saya, mendengarkan nasihat itu. Nasihat yang dulu
kurasakan begitu angkuh. Nasihat yang mengkotakkan kemanusiaan hanya pada
status sosial dan melupakan tuhan maha membolak-balikkan nasib. Waktu itu,
entah mengapa aku begitu membenci saudaraku. Rasa ibaku pada pengamen-pengamen
cilik lebih deras ketimbang pada semua ucapan saudaraku.
Suatu ketika, aku lah yang ada di posisi mereka—mengamen dan ngetam di
pinggir jalan di PLN Kedungturi. Tanteku dan dua orang anaknya memergokiku
mengamen meski pun aku tak tau mereka ada diantara para penumpang itu. Sorenya,
keponakanku mengirim sms padaku dan menyindirku soal mengamen. Sejak saat itu
di mata keluarga besar aku menjadi sampah hidup yang tidak tau balas budi,
menjaga nama baik orang tua, yang terlanjur menjadi bagian dari mereka. Terimakasih Tuhan atas kebesaranmu,
menjadikanku contoh langsung, meski pun sejak dulu aku tak pernah membenci
pengamen. Meski tak sedikit pun kusesali belokan hidupku ke sana.
Saat ini ketika aku disaksikan, ditertawai, dimaki, dikuatirkan dan
mungkin dijadikan contoh bagi orang lain. Subhanallah,
takdirmu Tuhan.
Terbuang memang memiliki keasyikan tersendiri bila dilihat dari sudut
pandang yang tepat. Melihat di sisi yang baik untuk mengambil jarak pada
keangkuhan dan arogansi-eksistensi. Mungkin anak persma yang menumpang truk
adalah bagian dari keangkuhan tersendiri yang disebut sebagai “nggandol akademis.” Ah, apa pula itu.
Tapi, kuakui sebagai upaya menertawai diri yang unik. Sedangkan dimata banyak
orang, nggandol adalah sesuatu yang rendah, dekaden dan jauh dari kemapanan.
Bagiku, di atas truk ini, kepekaan-kepekaan hidup diasah dengan begitu
rupa. Menyaksikan orang-orang lewat dengan sejuta kemungkinan wajah. Menyaksikan
lampu-lampu jalan yang pernah didramatisasi Soe Hok Gie untuk tulisannya. Tapi,
hidup dan setting Tuhan lebih indah dari itu semua. Ketimpangan hidup tak
pernah pantas dipuisikan, untuk sekedar catatan kalau sebentar lagi mereka
“nyalon”, tak punya janji untuk membuat mereka yang terpinggirkan bisa sedikit
tertolong,
Perjalanan haruslah mengilhami kesadaran dan kepekaan nurani.
Membangunkan kita dari tidur nyenyak untuk sadar bila dunia sedang tidak
baik-baik saja. Dunia memang sedang diberkati “sakit” untuk merasakan
lebaran-lebaran yang prinsipil. Meski demikian melakukan sesuatu tetap wajib
adanya.
Dari truk inilah aku bisa sadar betapa luhurnya filsafat jawa tentang
hidup. Bahwasannya: “urip mung mampir
ngombe (hidup cuma numpang minum)”. Ya, kita cuma singgah, mampir ngombe. Mungkin seperti para
sopir truk ini yang singgah di tiap-tiap kota untuk menyeruput kopi pahit dan
kembali meneruskan perjalanan untuk tujuan dunia. Meskipun sebenarnya, tanpa
mereka sadari, mereka melakukan perjalanan menembusi ruang dan waktu menuju
kesejatian. Di setiap rodanya yang menggilas kerikil dan batu-batu jalan
senantiasa menuju pada-Nya: cinta yang sebenarnya cinta, kesejatian yang tidak
murahan, tidak palsu.
Laju roda yang semakin jauh membawaku pada halaman-halaman rumah orang
yang ganjil. Rumah-rumah yang terasa asing di mataku, bahkan mungkin tak ramah
untukku. Tapi hal semacam ini yang benar-benar kurindukan. Sebab aku tak ingin
dikerdilkan hanya dengan melihat halaman rumahku dan pohon mangga yang sudah
sering berbuah.
Di sini, diatas truk yang setia mengguncang tubuhku saat aku merebahkan
diri di baknya yang kotor, membuatku tersadar dan selalu terjaga bila ranjang
rumahku terlalu empuk dan nyaman bagi seorang lelaki. Membuatku berhenti
mengeluh bila sakit punggung mendera karena goncangan lajunya. Tak satu pun
orang di sini aku kenali dan menyediakan bahunya untukku menangis dan merengek
kesakitan.
Ah, benar-benar laju yang membuatku merindukan nikmatnya masakan ibu,
juga spageti bikinan kekasih. Hey, hex, aku tak bohong soal nikmatnya spageti
bikinanmu.
Terimakasih, mas, pakde, paklek, om, bung, bro, mbah sopir truk. Betapa hidup dan aneka pelajaran dimana
pelan-pelan merambat di sore yang mulai disimpan malam. Ah, aku menangis lagi.
Di sini kerapuhan begitu diusap debu-debu. Kerinduan yang didinginkan laju
angin, juga gerimis. Kalian tau? Keindahan di sini dan pelajaran dari renungan
yang tanpa sengaja terjadi, terlalu indah untuk dilewatkan.
Mujahidin,
Janda, dan warung Bagor (dalam cinta Tuhan)
Baru setengah jam aku menumpang truk, hujan turun dan menderas. Kini
sebagian tubuhku basah kehujanan. Kalau kehujanan di atas truk tanpa persiapan
tas plastik, aku jadi makin dekat dengan tasku. Aku peluk tasku erat-erat
sambil terus mojok ke kepala truk. Tapi mendadak sopir berhenti. Ia turun dan
berteriak dari bawah dan mempersilahkan aku ikut di dalam. Oh Tuhan baik sekali
bapak truk ini.
Memang tak ada yang lucu jika harus kehujanan di awal-awal perjalanan.
Rasanya tidak enak. Dan aku pernah mengalami perjalanan selama lima hari ke
gunung dengan pakaian yang tak pernah kering lama. Waktu itu hujan banyak
menguras tenaga kami. Mendaki sampai puncak gunung dengan kondisi alam yang
badai memang tak patut dituru bagi yang otaknya waras.
Semarang. Semarang. Aku akan ke sana sendirian. Awalnya, aku ingin
menyambangi kawan-kawan teater tapi aku urungkan. Pastinya pembicaraan hanya
akan sama: nostalgia dan saling bercerita tentang banyak orang yang sama-sama
kita kenal untuk saling mengisi kekosongan. Kali ini aku ingin perjalanan bisa
berbeda, meski aku tak punya tujuan yang jelas, tapi ada satu nama yang bisa
aku cari di Terminal Terboyo, Semarang: Suroto bis malam.
Kali ini aku tak lewat Pantura. Dari cerita JR, ke Semarang dengan ngandol truk sama seperti bunuh diri
pelan-pelan. Sulit mencari tumpangan, meski aku belum membuktikannya sendiri.
Aku berangkat lewat jalur tengah. Dari Surabaya, aku harus sampai ke Surakarta
mencari kendaraan yang ber plat nomer AD yang menuju Solo. Karena dari sana aku
bisa menemui dua percabangan jalan yang menuju Jogja dan Semarang. Dan yang
masih harus aku tempuh adalah Sragen dan Solo.
Kini pikiranku melayang ke tempat-tempat yang menarik. Sesuatu yang
pernah membuatku banyak bertanya mengapa banyak orang-orang baik dan hebat
namun masih merunduk. Kata Mas Timur, “dik, bukan Jogja tujuanmu kalau kau
mencari banyak orang sakti tapi terus menunduk. Ke Lombok, dik.” Aku pasti
ingat, mas. Seingatku pertemuanku dengan Semarang dan kawan-kawan teater maupun
kesenian tak pernah mengecewakan aku dengan keangkuhan.
*
Namanya Mujahidin. Sopir truk yang membarengi aku adalah seorang pria
brewok dengan badan gempal serta matanya yang terus saja sayu namun tajam. Ia
mengaku masih muda, tapi ketika aku tanya berapa, ia jawab 54 tahun.
Dari namanya, aku mengira ia adalah seorang Islam garis keras,
konservatif yang doyan mengkafirkan orang. Tapi, dugaanku tak meleset cukup
jauh, meski agak salah fatal. Pak Mujahidin punya saudara yang jadi sesepuh dan
pelopor masuknya HTI di Indonesia, begitu katanya. Namun Mujahidin adalah
seorang abangan. Ia mengaku sholatnya sering bolong, juga puasanya yang tak
pernah tuntas. Ia menikah dengan Maisaroh, perempuan yang bapaknya memberi
syarat masuk NU bila Mujahidin ingin menikahi putrinya. Dan jadilah Mujahidin
seorang NU.
Wajah Mujahidin begitu pucat meski matanya sayu dan sorot matanya
nyalang. Ada kengerian tersendiri ketika melihat wajahnya. Tapi ia ramah
sekali. Lagi pula rokoknya pun tak sembarangan: Dji Sam Soe. Ia juga menghina
rokok L.A ku sebagai rokok para balon
dan lonte. Kurangajar, pikirku.
Mujahidin punya kata-kata andalan: “maksudloh”,
yang selalu diikuti dengan tawa lebar yang panjang. Ia kerap mengucapkan
kata-kata itu lantaran menirukan anaknya yang kerap bergaul dengan tetangga
baru dari Jakarta. Sehingga sebentar-sebentar Mujahidin kerap menirukan bahasa
gaul khas Jakarta. Bahkan di sepanjang perjalanan menuju ngawi Mujahidin tak
pernah lupa menggunakan kata itu, seakan-akan kata itu menjadi semacam question tag di Inggris.
*
Aku terbangun dari tidur di sepanjang sore. Tiba-tiba truk sudah
berhenti. Aku masih duduk di jog depan dan menengok kanan kiri. Sepertinya aku
kenal baik dengan tempat ini. Dan tidak salah lagi, aku berada di Bagor,
Nganjuk.
Tempat ini jadi pemberhentian truk-truk besar untuk singgah dan
menyediakan sopirnya beragam hiburan. Semua tersedia di sini. Mulai dari
karaoke, warung kopi, warung makan, tempat pijat, dan bahkan sampai bisnis
esek-esek ada di sini.
Aku keluar mencari Pak Mujahidin, dan ketika aku celingukan di samping truk,
Pak Mujahidin melambai padaku. Ternyata dia minum kopi di sebrang jalan dan aku
langsung menghampirinya. Ia menawariku kopi dan makan, tapi aku menolak. Aku
memesan segelas kopi dan membakar sebatang rokok untuk mengusir kantuk.
“Le, nek jarene dolorku, ngene
iki harom. (Nak, kalau kata saudaraku, begini ini haram)” Ujarnya, lalu
tertawa.
Aku senyum-senyum saja mendengar kata-katanya “Kalau begitu mengapa
bapak turun sini, lo? Katanya haram?”
“Maksud loh, aku kan NU,”
tukasnya lalu tertawa lagi dan kali ini lebih keras dan sembari menepuk
lenganku. Kemudian matanya yang sayu tengadah. Lalu melihat sekeliling dengan
sorot mata yang seram dan kemudian berpaling padaku seraya memberi kode bila
aku harus memperhatikan perempuan yang sedang menjaga warung.
“Le, mbasio arek iku rodok ireng,
tapi goyangane sip. Sikile pancen rodok dingklang, tapi, hmm, (nak,
meskipun anak itu hitam, tapi goyangannya bagus. Kakinya memang agak pincang,
tapi, hmm..)”
“Lha sampean tau dari mana, pak?”
Pak Mujahidin kini manggut-manggut. “wong lanang seng wani ngejak kelon arek iku mesti wong sangar. Gak tau
onok seng gelem iku nek onok seng ngejak ‘ngene’. Tapi nek ambek aku, arek iku
mesti gelem. Yo tapi gak sering-sering. Arek iku rondo teles, le. Ceritane
bojone biyen koncoku nyoper, tapi ditinggal mlayu koncoku... (lelaki yang
berani mengajak tidur perempuan itu mesti orang hebat. Tidak pernah ada yang
mau kalau ada yang mengajak begini [senggama]. Tapi kalau dengan saya, anak itu
pasti mau. Ya, tapi tidak sering-sering. Anak itu janda basah, nak. Ceritanya
suaminya dulu teman saya nyopir, tapi ditinggal kawan saya).”
Aku hanya bisa nyengir kuda mendengar ucapan Pak Mujahidin. Bahkan kini
janda itu terus saja melirik dan curi-curi pandang ke arahku. Baru kali ini aku
begidik di tempat seperti ini.
“Nek iki jelas ngganteng. Arek kuliahan.
Kuliah nang ndi, le? Unair? Yo, Unair (Kalau ini jelas ganteng. Anak
kuliahan. Kuliah di mana kamu nak? Unair? Ya, Unair)” Kata Pak Mujahidin
sekenanya. Mungkin ia lupa. Padahal tadi aku sudah menjelaskan dimana kampusku.
“Kuliah kok ngerneti peno seng gak sekolah.
Gok Den, Gok Den (Kuliah kok jadi kernetmu yang tidak sekolah. Guk
Din,,,).” Kata janda itu.
“lhe iki koncoku. Iyo, kan? Aku maringene yo
njupuk S3. (Lho, ini temanku. Iya, kan? Aku setelah ini ya ambil S3)” kata
Pak Mujahidin, lalu tertawa lepas dan memberi kode padaku.
“Iyo, mas?” Tanya
janda itu, memastikan.
Aku hanya bisa
senyum-senyum sambil mengangguk pelan yang kemudian disambut Pak Mujahidin
dengan tawa yang membrahana sampai terdengar di seluruh warung.
“Maksud loh!” Pak Mujahidin kembali
mengganggu janda penjaga warung dan tertawa-tawa dan segera dijawab ketus: “lambemu, gok (Mulutmu, mas)”
*
Inikah hidup? Obat
paling cespleng adalah dengan tertawa
sepuasnya dan sekaligus dari situ, akan semakin tampak seberapa jauh luka kita.
Tertawa dan
menertawai hal yang sebenarnya tak lucu adalah sebuah metode yang ditawarkan
hidup. Mungkin hal ini yang sering aku alami dengan Defy. Kawan “susah”, yang
entah mengapa hanya ketika susah aku bertemu dengannya. Juga Andi Mahifal.
Lelaki tanpa bokong itu juga selalu kutemui saat aku sedang susah. Ketika tak
ada seratus rupiah pun di dompet kami dan kita masih ada di satu kota. Aku tak
tau, mengapa dua orang itu selalu muncul menyertaiku. Atau mungkin ketika aku
kecewa dengan nasib. Bersama mereka aku melewati masa-masa sulit dalam hidupku.
Juga kawan ARBIMAPALA (Mbah, Tahu, Molo, Lutfi, Boyd, Dayat dan Firman).
Di berbagai kota,
aku melawak soal dagelan persma untuk sekedar diberi rokok, kopi, makan dan
tempat berteduh. Ah, dosaku sudah teramat sangat untuk hal ini. Ketika aku
membual, masih saja ada yang percaya dengan itu semua dan mendengarkan dengan
takzim. Meski, sedikit sentilan soal persma tak pernah aku lupakan.
Persma adalah hal
yang sama sekali tak realistis namun masih dipercaya banyak mahasiswa. Mungkin
dengan itu mereka merasa telah merubah Indonesia menjadi sedikit lebih baik. Tapi,
menurutku bukan itu alasan utama. Karena persma masih sanggup menawarkan gengsi
eksistensi untuk dicatat dan dikenang sebagai sesuatu, maka dari itu persma
masih diminati. Bukankah gagah-gagahan dan megalomaniak masih jadi momok paling
mengerikan yang pernah dialami remaja sekarang. Walau demikian, aku tak pernah
menyesal hidup dalam persma.
Bagor juga satu
tempat dimana setiap orang punya caranya sendiri dalam lari dari kepahitan
hidup. Sebab segalanya perlu berteduh dan sejenak menahan tangis dan hidup yang
tengik.
Ternyata semua benda dan mahluk Tuhan punya
air mata.
Tak ada yang tau
tentang bagaimana kehidupan Pak Mujahidin yang sebenarnya. Mungkin dia sedang
lari dari sesuatu, meski tawanya begitu lepas sewaktu menggoda janda muda di
Bagor. Yang jelas, dia tak pernah bercita-cita hidupnya menjadi seperti yang
sekarang. Mungkin ingin lebih enak di usianya yang mendekati senja. Dan ia
memilih sopir truk yang risikonya tidak kecil. Lalu mengapa ia masih bertahan?
Itulah yang ingin aku tau.
Dari namanya,
“Mujahidin” yang berarti “pejuang”, atau yang terlibat dalam suatu peperangan.
Apakah seorang “Mujahidin” harus selalu perang dengan senjata, atau kata
“mujahid” hanya dipersempit jadi milik HTI atau Islam garis keras lainnya. Bagiku,
Pak Mujahidin tetap berperang melawan sesuatu. Ia hanya menjalani kosmos
hidupnya dan panggilan jiwanya untuk senantiasa berada di jalan dan
memperjuangkan istri dan anaknya.
Juga dengan janda penjaga
warung di Bagor. Semua dalam cinta Tuhan, keselarasan yang membuat dunia
bergerak seperti yang sudah digariskan. Meski garis itu harus sesekali menuju
tangis, atau tawa, yang jelas semua diantara kita pernah menangis dan tertawa.
Mungkin juga aku
yang harus menangis dan mungkin kali ini harus dalam diam. Menangisi segala hal
yang tak mungkin kembali.
Aku tiba di Ngawi...
00:06/26/01/2013
Bersambung...
Citra D. Vresti Trisna