Laman

Sabtu, 26 Januari 2013

Semarang untuk....


Baunya seperti petualangan. Tapi aku tak berani menyebut demikian. Bukan juga anak-anak muda labil menyebutnya sebagai ‘mbambong’ –salut lah buat mereka itu. Semoga dikabulkan Tuhan bila hanya untuk bersenang-senang, yang bagiku begitu meledek orang yang benar-benar tak punya rumah, benar-benar mbambung: yang bukan kedok, bukan ngeksis.
Sekarang, aku cuma mengikuti kemana aku dibimbing hatiku. Sesuatu yang kutau bila ia selalu berjalan lebih cepat dari logikaku. Berjalanlah aku sekarang. Entah kemana pun aku pergi. Mungkin aku merencanakan ke Semarang, tapi, apa benar aku akan sampai sana, tak ada yang tau. Percayalah, tanpa buku pedoman perjalanan dan perencanaan, perjalanan akan semakin menggairahkan.

16:00/25/01/13
Aku sudah merokok di pinggir jalan Medaeng. Menyeruput kopi pahit sebelum aku benar-benar terjaga dan menahan agar tidak mengantuk di sepanjang perjalanan. Warung kopi, ah, selalu awal perjalanan terasa lebih cantik di sini. Menyaksikan orang-orang bingung dan resah menunggu bis. Apa aku juga akan resah seperti mereka? Tidak. Aku memilih naik truk saja. Sesuatu yang tak berhenti menerbangkan anganku dan pikiranku jauh-jauh-jauh. Di kampus, pikiranku hanya terus melayang tak tentu arah.

Truk

Truk, ah pesonamu membuat perjalanan jadi menggairahkan.
Truk adalah salah satu tumpangan menarik untuk menguji kesabaran. Membuat kita sadar bila setiap orang mesti menahan diri untuk disepelehkan orang lain. Dijadikan contoh orang lain di dalam mobil yang kebetulan sedang pergi bersama anak istrinya. Muka kita kumuh dengan debu-debu akan disepelehkan orang sebagai orang yang tak terurus, tak berpendidikan. Mungkin sambil menunjuk-nunjuk mukaku, mereka menasehati anaknya: “liat, nak, orang-orang yang ada di truk itu. Mereka kurang beruntung. Tidak sepertimu, tidak kehujanan dan kepanasan karena di dalam mobil seperti kita sekarang. Makanya kamu sekolah yang bener, yah. Biar tidak seperti mereka.
Mukaku seperti ditinju ketika melihat sorot-sorot mata mereka. Tapi biar saja aku ditinju dengan pandangan-pandangan macam itu. Pandangan yang membuatku merunduk dari keangkuhan, kecongkakan.
Aku ingat sewaktu kecil, sewaktu berlebaran ke Nganjuk bersama sanak saudara dalam satu mobil. Waktu itu salah seorang saudaraku mencontohkan para pengamen di pinggir-pinggir jalan pada kami. Disuruhnya anak-anak kecil diantara kita, termasuk saya, mendengarkan nasihat itu. Nasihat yang dulu kurasakan begitu angkuh. Nasihat yang mengkotakkan kemanusiaan hanya pada status sosial dan melupakan tuhan maha membolak-balikkan nasib. Waktu itu, entah mengapa aku begitu membenci saudaraku. Rasa ibaku pada pengamen-pengamen cilik lebih deras ketimbang pada semua ucapan saudaraku.
Suatu ketika, aku lah yang ada di posisi mereka—mengamen dan ngetam di pinggir jalan di PLN Kedungturi. Tanteku dan dua orang anaknya memergokiku mengamen meski pun aku tak tau mereka ada diantara para penumpang itu. Sorenya, keponakanku mengirim sms padaku dan menyindirku soal mengamen. Sejak saat itu di mata keluarga besar aku menjadi sampah hidup yang tidak tau balas budi, menjaga nama baik orang tua, yang terlanjur menjadi bagian dari mereka. Terimakasih Tuhan atas kebesaranmu, menjadikanku contoh langsung, meski pun sejak dulu aku tak pernah membenci pengamen. Meski tak sedikit pun kusesali belokan hidupku ke sana.
Saat ini ketika aku disaksikan, ditertawai, dimaki, dikuatirkan dan mungkin dijadikan contoh bagi orang lain. Subhanallah, takdirmu Tuhan.
Terbuang memang memiliki keasyikan tersendiri bila dilihat dari sudut pandang yang tepat. Melihat di sisi yang baik untuk mengambil jarak pada keangkuhan dan arogansi-eksistensi. Mungkin anak persma yang menumpang truk adalah bagian dari keangkuhan tersendiri yang disebut sebagai “nggandol akademis.” Ah, apa pula itu. Tapi, kuakui sebagai upaya menertawai diri yang unik. Sedangkan dimata banyak orang, nggandol adalah sesuatu yang rendah, dekaden dan jauh dari kemapanan.
Bagiku, di atas truk ini, kepekaan-kepekaan hidup diasah dengan begitu rupa. Menyaksikan orang-orang lewat dengan sejuta kemungkinan wajah. Menyaksikan lampu-lampu jalan yang pernah didramatisasi Soe Hok Gie untuk tulisannya. Tapi, hidup dan setting Tuhan lebih indah dari itu semua. Ketimpangan hidup tak pernah pantas dipuisikan, untuk sekedar catatan kalau sebentar lagi mereka “nyalon”, tak punya janji untuk membuat mereka yang terpinggirkan bisa sedikit tertolong,
Perjalanan haruslah mengilhami kesadaran dan kepekaan nurani. Membangunkan kita dari tidur nyenyak untuk sadar bila dunia sedang tidak baik-baik saja. Dunia memang sedang diberkati “sakit” untuk merasakan lebaran-lebaran yang prinsipil. Meski demikian melakukan sesuatu tetap wajib adanya.
Dari truk inilah aku bisa sadar betapa luhurnya filsafat jawa tentang hidup. Bahwasannya: “urip mung mampir ngombe (hidup cuma numpang minum)”. Ya, kita cuma singgah, mampir ngombe. Mungkin seperti para sopir truk ini yang singgah di tiap-tiap kota untuk menyeruput kopi pahit dan kembali meneruskan perjalanan untuk tujuan dunia. Meskipun sebenarnya, tanpa mereka sadari, mereka melakukan perjalanan menembusi ruang dan waktu menuju kesejatian. Di setiap rodanya yang menggilas kerikil dan batu-batu jalan senantiasa menuju pada-Nya: cinta yang sebenarnya cinta, kesejatian yang tidak murahan, tidak palsu.
Laju roda yang semakin jauh membawaku pada halaman-halaman rumah orang yang ganjil. Rumah-rumah yang terasa asing di mataku, bahkan mungkin tak ramah untukku. Tapi hal semacam ini yang benar-benar kurindukan. Sebab aku tak ingin dikerdilkan hanya dengan melihat halaman rumahku dan pohon mangga yang sudah sering berbuah.
Di sini, diatas truk yang setia mengguncang tubuhku saat aku merebahkan diri di baknya yang kotor, membuatku tersadar dan selalu terjaga bila ranjang rumahku terlalu empuk dan nyaman bagi seorang lelaki. Membuatku berhenti mengeluh bila sakit punggung mendera karena goncangan lajunya. Tak satu pun orang di sini aku kenali dan menyediakan bahunya untukku menangis dan merengek kesakitan.
Ah, benar-benar laju yang membuatku merindukan nikmatnya masakan ibu, juga spageti bikinan kekasih. Hey, hex, aku tak bohong soal nikmatnya spageti bikinanmu.
Terimakasih, mas, pakde, paklek, om, bung, bro, mbah sopir truk.  Betapa hidup dan aneka pelajaran dimana pelan-pelan merambat di sore yang mulai disimpan malam. Ah, aku menangis lagi. Di sini kerapuhan begitu diusap debu-debu. Kerinduan yang didinginkan laju angin, juga gerimis. Kalian tau? Keindahan di sini dan pelajaran dari renungan yang tanpa sengaja terjadi, terlalu indah untuk dilewatkan.
Mujahidin, Janda, dan warung Bagor (dalam cinta Tuhan)

Baru setengah jam aku menumpang truk, hujan turun dan menderas. Kini sebagian tubuhku basah kehujanan. Kalau kehujanan di atas truk tanpa persiapan tas plastik, aku jadi makin dekat dengan tasku. Aku peluk tasku erat-erat sambil terus mojok ke kepala truk. Tapi mendadak sopir berhenti. Ia turun dan berteriak dari bawah dan mempersilahkan aku ikut di dalam. Oh Tuhan baik sekali bapak truk ini.
Memang tak ada yang lucu jika harus kehujanan di awal-awal perjalanan. Rasanya tidak enak. Dan aku pernah mengalami perjalanan selama lima hari ke gunung dengan pakaian yang tak pernah kering lama. Waktu itu hujan banyak menguras tenaga kami. Mendaki sampai puncak gunung dengan kondisi alam yang badai memang tak patut dituru bagi yang otaknya waras.
Semarang. Semarang. Aku akan ke sana sendirian. Awalnya, aku ingin menyambangi kawan-kawan teater tapi aku urungkan. Pastinya pembicaraan hanya akan sama: nostalgia dan saling bercerita tentang banyak orang yang sama-sama kita kenal untuk saling mengisi kekosongan. Kali ini aku ingin perjalanan bisa berbeda, meski aku tak punya tujuan yang jelas, tapi ada satu nama yang bisa aku cari di Terminal Terboyo, Semarang: Suroto bis malam.
Kali ini aku tak lewat Pantura. Dari cerita JR, ke Semarang dengan ngandol truk sama seperti bunuh diri pelan-pelan. Sulit mencari tumpangan, meski aku belum membuktikannya sendiri. Aku berangkat lewat jalur tengah. Dari Surabaya, aku harus sampai ke Surakarta mencari kendaraan yang ber plat nomer AD yang menuju Solo. Karena dari sana aku bisa menemui dua percabangan jalan yang menuju Jogja dan Semarang. Dan yang masih harus aku tempuh adalah Sragen dan Solo.
Kini pikiranku melayang ke tempat-tempat yang menarik. Sesuatu yang pernah membuatku banyak bertanya mengapa banyak orang-orang baik dan hebat namun masih merunduk. Kata Mas Timur, “dik, bukan Jogja tujuanmu kalau kau mencari banyak orang sakti tapi terus menunduk. Ke Lombok, dik.” Aku pasti ingat, mas. Seingatku pertemuanku dengan Semarang dan kawan-kawan teater maupun kesenian tak pernah mengecewakan aku dengan keangkuhan.
*
Namanya Mujahidin. Sopir truk yang membarengi aku adalah seorang pria brewok dengan badan gempal serta matanya yang terus saja sayu namun tajam. Ia mengaku masih muda, tapi ketika aku tanya berapa, ia jawab 54 tahun.
Dari namanya, aku mengira ia adalah seorang Islam garis keras, konservatif yang doyan mengkafirkan orang. Tapi, dugaanku tak meleset cukup jauh, meski agak salah fatal. Pak Mujahidin punya saudara yang jadi sesepuh dan pelopor masuknya HTI di Indonesia, begitu katanya. Namun Mujahidin adalah seorang abangan. Ia mengaku sholatnya sering bolong, juga puasanya yang tak pernah tuntas. Ia menikah dengan Maisaroh, perempuan yang bapaknya memberi syarat masuk NU bila Mujahidin ingin menikahi putrinya. Dan jadilah Mujahidin seorang NU.
Wajah Mujahidin begitu pucat meski matanya sayu dan sorot matanya nyalang. Ada kengerian tersendiri ketika melihat wajahnya. Tapi ia ramah sekali. Lagi pula rokoknya pun tak sembarangan: Dji Sam Soe. Ia juga menghina rokok L.A ku sebagai rokok para balon dan lonte. Kurangajar, pikirku.
Mujahidin punya kata-kata andalan: “maksudloh”, yang selalu diikuti dengan tawa lebar yang panjang. Ia kerap mengucapkan kata-kata itu lantaran menirukan anaknya yang kerap bergaul dengan tetangga baru dari Jakarta. Sehingga sebentar-sebentar Mujahidin kerap menirukan bahasa gaul khas Jakarta. Bahkan di sepanjang perjalanan menuju ngawi Mujahidin tak pernah lupa menggunakan kata itu, seakan-akan kata itu menjadi semacam question tag di Inggris.
*
Aku terbangun dari tidur di sepanjang sore. Tiba-tiba truk sudah berhenti. Aku masih duduk di jog depan dan menengok kanan kiri. Sepertinya aku kenal baik dengan tempat ini. Dan tidak salah lagi, aku berada di Bagor, Nganjuk.
Tempat ini jadi pemberhentian truk-truk besar untuk singgah dan menyediakan sopirnya beragam hiburan. Semua tersedia di sini. Mulai dari karaoke, warung kopi, warung makan, tempat pijat, dan bahkan sampai bisnis esek-esek ada di sini.  
Aku keluar mencari Pak Mujahidin, dan ketika aku celingukan di samping truk, Pak Mujahidin melambai padaku. Ternyata dia minum kopi di sebrang jalan dan aku langsung menghampirinya. Ia menawariku kopi dan makan, tapi aku menolak. Aku memesan segelas kopi dan membakar sebatang rokok untuk mengusir kantuk.
Le, nek jarene dolorku, ngene iki harom. (Nak, kalau kata saudaraku, begini ini haram)” Ujarnya, lalu tertawa.
Aku senyum-senyum saja mendengar kata-katanya “Kalau begitu mengapa bapak turun sini, lo? Katanya haram?”
Maksud loh, aku kan NU,” tukasnya lalu tertawa lagi dan kali ini lebih keras dan sembari menepuk lenganku. Kemudian matanya yang sayu tengadah. Lalu melihat sekeliling dengan sorot mata yang seram dan kemudian berpaling padaku seraya memberi kode bila aku harus memperhatikan perempuan yang sedang menjaga warung.
Le, mbasio arek iku rodok ireng, tapi goyangane sip. Sikile pancen rodok dingklang, tapi, hmm, (nak, meskipun anak itu hitam, tapi goyangannya bagus. Kakinya memang agak pincang, tapi, hmm..)”
“Lha sampean tau dari mana, pak?”
Pak Mujahidin kini manggut-manggut. “wong lanang seng wani ngejak kelon arek iku mesti wong sangar. Gak tau onok seng gelem iku nek onok seng ngejak ‘ngene’. Tapi nek ambek aku, arek iku mesti gelem. Yo tapi gak sering-sering. Arek iku rondo teles, le. Ceritane bojone biyen koncoku nyoper, tapi ditinggal mlayu koncoku... (lelaki yang berani mengajak tidur perempuan itu mesti orang hebat. Tidak pernah ada yang mau kalau ada yang mengajak begini [senggama]. Tapi kalau dengan saya, anak itu pasti mau. Ya, tapi tidak sering-sering. Anak itu janda basah, nak. Ceritanya suaminya dulu teman saya nyopir, tapi ditinggal kawan saya).”
Aku hanya bisa nyengir kuda mendengar ucapan Pak Mujahidin. Bahkan kini janda itu terus saja melirik dan curi-curi pandang ke arahku. Baru kali ini aku begidik di tempat seperti ini.
Nek iki jelas ngganteng. Arek kuliahan. Kuliah nang ndi, le? Unair? Yo, Unair (Kalau ini jelas ganteng. Anak kuliahan. Kuliah di mana kamu nak? Unair? Ya, Unair)” Kata Pak Mujahidin sekenanya. Mungkin ia lupa. Padahal tadi aku sudah menjelaskan dimana kampusku.
Kuliah kok ngerneti peno seng gak sekolah. Gok Den, Gok Den (Kuliah kok jadi kernetmu yang tidak sekolah. Guk Din,,,).”  Kata janda itu.
“lhe iki koncoku. Iyo, kan? Aku maringene yo njupuk S3. (Lho, ini temanku. Iya, kan? Aku setelah ini ya ambil S3)” kata Pak Mujahidin, lalu tertawa lepas dan memberi kode padaku.
“Iyo, mas?” Tanya janda itu, memastikan.
Aku hanya bisa senyum-senyum sambil mengangguk pelan yang kemudian disambut Pak Mujahidin dengan tawa yang membrahana sampai terdengar di seluruh warung.
Maksud loh!” Pak Mujahidin kembali mengganggu janda penjaga warung dan tertawa-tawa dan segera dijawab ketus: “lambemu, gok (Mulutmu, mas)”
*
Inikah hidup? Obat paling cespleng adalah dengan tertawa sepuasnya dan sekaligus dari situ, akan semakin tampak seberapa jauh luka kita.
Tertawa dan menertawai hal yang sebenarnya tak lucu adalah sebuah metode yang ditawarkan hidup. Mungkin hal ini yang sering aku alami dengan Defy. Kawan “susah”, yang entah mengapa hanya ketika susah aku bertemu dengannya. Juga Andi Mahifal. Lelaki tanpa bokong itu juga selalu kutemui saat aku sedang susah. Ketika tak ada seratus rupiah pun di dompet kami dan kita masih ada di satu kota. Aku tak tau, mengapa dua orang itu selalu muncul menyertaiku. Atau mungkin ketika aku kecewa dengan nasib. Bersama mereka aku melewati masa-masa sulit dalam hidupku. Juga kawan ARBIMAPALA (Mbah, Tahu, Molo, Lutfi, Boyd, Dayat dan Firman).
Di berbagai kota, aku melawak soal dagelan persma untuk sekedar diberi rokok, kopi, makan dan tempat berteduh. Ah, dosaku sudah teramat sangat untuk hal ini. Ketika aku membual, masih saja ada yang percaya dengan itu semua dan mendengarkan dengan takzim. Meski, sedikit sentilan soal persma tak pernah aku lupakan.
Persma adalah hal yang sama sekali tak realistis namun masih dipercaya banyak mahasiswa. Mungkin dengan itu mereka merasa telah merubah Indonesia menjadi sedikit lebih baik. Tapi, menurutku bukan itu alasan utama. Karena persma masih sanggup menawarkan gengsi eksistensi untuk dicatat dan dikenang sebagai sesuatu, maka dari itu persma masih diminati. Bukankah gagah-gagahan dan megalomaniak masih jadi momok paling mengerikan yang pernah dialami remaja sekarang. Walau demikian, aku tak pernah menyesal hidup dalam persma.
Bagor juga satu tempat dimana setiap orang punya caranya sendiri dalam lari dari kepahitan hidup. Sebab segalanya perlu berteduh dan sejenak menahan tangis dan hidup yang tengik.
Ternyata semua benda dan mahluk Tuhan punya air mata.
Tak ada yang tau tentang bagaimana kehidupan Pak Mujahidin yang sebenarnya. Mungkin dia sedang lari dari sesuatu, meski tawanya begitu lepas sewaktu menggoda janda muda di Bagor. Yang jelas, dia tak pernah bercita-cita hidupnya menjadi seperti yang sekarang. Mungkin ingin lebih enak di usianya yang mendekati senja. Dan ia memilih sopir truk yang risikonya tidak kecil. Lalu mengapa ia masih bertahan? Itulah yang ingin aku tau.
Dari namanya, “Mujahidin” yang berarti “pejuang”, atau yang terlibat dalam suatu peperangan. Apakah seorang “Mujahidin” harus selalu perang dengan senjata, atau kata “mujahid” hanya dipersempit jadi milik HTI atau Islam garis keras lainnya. Bagiku, Pak Mujahidin tetap berperang melawan sesuatu. Ia hanya menjalani kosmos hidupnya dan panggilan jiwanya untuk senantiasa berada di jalan dan memperjuangkan istri dan anaknya.
Juga dengan janda penjaga warung di Bagor. Semua dalam cinta Tuhan, keselarasan yang membuat dunia bergerak seperti yang sudah digariskan. Meski garis itu harus sesekali menuju tangis, atau tawa, yang jelas semua diantara kita pernah menangis dan tertawa.
Mungkin juga aku yang harus menangis dan mungkin kali ini harus dalam diam. Menangisi segala hal yang tak mungkin kembali.
Aku tiba di Ngawi...
00:06/26/01/2013
Bersambung...
Citra D. Vresti Trisna

Senin, 21 Januari 2013

Bencana Banjir Jakarta (lha matamu a?)



http://banjarmasin.tribunnews.com/
Banjir. Diam-diam saya “mensyukuri” hal itu sebagai anugrah, lantaran di ingatkan; seperti apa wajah kita (orang Indonesia). 

Kita adalah bangsa yang memiliki rakyat dengan sejuta paradok, dimana membuat orang gila macam saya nggelendem mesam-mesem. Saya bersyukur dilahirkan di kampung Indonesia , dimana banyak hal-hal terjadi di luar nalar. Biar pun banyak media memberitakan seolah-olah ada "sosok", entah individu atau kolektif yang bersalah dalam bencana banjir ini. Tapi, seperti biasa pula  masalah yang terjadi selalu berakhir dengan mengambang. Tentu membicarakan media dan objek beritanya tidak lepas dari politik media dan terusterang saya bosan membicarakan itu.

Saya tertarik memperbincangkan banjir dari kacamata AS Laksana. Ia memandang banjir adalah kesalahan kolektif orang Indoneisia yang tidak mau belajar dari pengalaman. Menariknya, AS Laksana menganggap “pengalaman adalah guru terbaik” adalah sebuah kekeliruan. Sebab, risiko hidup di dua musim adalah : kekeringan dan banjir. Mestinya kita yang sudah berkali-kali mengalami banjir harus bisa belajar dari pengalaman dan sudah ada jaminan kita tidak lagi kekeringan dan kebanjiran. Aku takjub dengan AS Laksana yang jeli memandang banjir adalah sebuah paradok yang semestinya tidak perlu terjadi.

Tapi saya tidak tertarik dengan obrolannya di ruan putih, Jawapos, soal selokan, resapan air, dll. Saya hanya ingin menyoroti kejeliannya menangkap antitesis bagi pepatah “pengalaman adalah guru terbaik,” di Indonesia. Ia tau bila orang-orang Indonesia  tidak kunjung belajar dari pengalaman  namun pandai  mengutuk. Tapi saya justru curiga bila banjir yang terjadi memang karena sengaja diciptakan orang-orang kita sendiri yang selalu merindukan dirinya sengsara (masokis). Rasa-rasanya kalau hidup orang Indonesia baru enak sedikit, sudah bingung setengah mati kepingin nyari susah.

Kamu ini gila, jaman sekarang ini siapa yang ingin menderita, mas bro?

Siapa? Ya, Raimu itu, cuk! (maaf, saya sedang sensi gara-gara rokok saya tinggal sedikit) Kalau tidak, mengapa kita tidak kunjung belajar dari pengalaman? Kalau sudah pernah kebanjiran sekali, ya, mestinya  bisa menanggulangi banjir apa pun caranya. Andaikan pemerintah yang ngelola duit kita sedang ndugal, tidak serius dalam mengatasi banjir, paling tidak kita merubah pola hidup dari diri sendiri. Misalnya, tidak buang sampah ke sungai, tidak tinggal di bantaran kali, tidak menebangi daerah puncak untuk vila, dll. Tapi, nyatanya pola hidup kita juga begini-begini saja. Tidak mau belajar. Kalau sudah banjir, kita ngeluh, nangis, melow drama, update status. Apa ndak Jancuk itu namanya? Apa dengan tidak merubah pola hidup hingga kena banjir itu bukan derita yang kita buat sendiri?

Tapi kan harusnya pemkot selaku pembuat regulasi mesti serius dalam menangani masalah ini?

Nah itu dia. Jadi ketika saya bicara Indonesia, itu sudah mencakup rakyatnya, pemerintahnya, baik pemerintah pusat juga pemkotnya, mahasiswanya, cendekiawan, seniman, tokoh agama, demitnya, setan-setan yang tinggal di sini. Semuanya rindu dengan banjir. Kalau kamu anggap persoalan ini adalah tugas pemerintah selaku pemegang aturan, mestinya mereka serius. Tidak maling dengan kedok proyek  penanganan banjir kota. Mahasiswa juga sama dungunya dengan kerbau, sebagai calon penerus generasi tua yang bau kuburan, mestinya mereka bisa berpikir lebih maju  dan tidak sok-sok an saja. Juga raimu, yang tidak selalu mempertanyakan apa dan mengapa tanpa memberi solusi yang jitu. Jadi semua ikut ambil bagian dalam banjir yang terjadi di Jakarta. Dan harap dicatat bila itu termasuk saya.

Lho-lho sebentar, mas. Kita pakai logika, siapa yang mau hidup susah ditimpa berbagai kemalangan seperti ini? Semua orang ingin cari senang, jangan ngawur, mas!

Omongan macam begini yang aku tunggu dari tadi. Selain akan menjelaskan betapa paradoknya orang-orang Indonesia. Aku juga ingin ngerasani AS Laksana, penulis novel Bidadari yang mengembara.

Kalau sekarang sudah terjadi banjir, sampeyan ngeluh dan mempersalahkan sesuatu yang tidak jelas jeluntrungannya. Kan tadi sudah saya bilang, kalau kita ndak mau susah, mengapa tak satu pun dari kita merubah pola hidup agar tidak ditimpa kemalangan? Hal ini juga yang harusnya AS Laksana tau bila ngomong soal apa pun di sini tidak bisa didekati dengan pepatah-pepatah yang bukan murni dari kita sendiri. AS Laksana boleh bicara macam itu di luar negeri, tapi tidak di sini. Teori sosial produk toko kelontong ilmu pengetahuan (baca: kampus) tidak bisa mendekati dan menggambarkan secara persis bagaimana pola pikir, sikap jiwa, dan keyakinan yang dianut bangsa kita. Dia bicara demikian sama halnya dengan membuka kelaminnya sendiri dan dipamerkan ditengah pasar. Seolah-olah kita adalah orang terbelakang yang tidak tau bagaimana mengelola hidup dengan rasional. Seolah-olah kita ini begitu bodohnya. Dan kupikir, bodoh pula yang ikut-ikut apa kata dia.

Mengutip kata-kata AS Laksana, “saya jadi berpikir bahwa ‘Pengalaman adalah guru terbaik’ mungkin adalah pepatah yang keliru. Jika pepatah itu benar, kita tidak akan pernah kebanjiran tiap tahun. Dalam sejumlah kasus, pengalaman tidak pernah menjadi guru terbaik. Atau, ia tetap guru terbaik, tetapi tidak setiap orang adalah murid yang mampu menangkap pelajaran.” Penilaian AS Laksana  benar bila “pengalaman adalah guru terbaik,” adalah konsep yang keliru. Lebih tepatnya itu keliru kalau di terapkan  di Indonesia, dengan beragam bukti yang sudah dia paparkan. Untuk kata-katanya yang berbunyi: “tidak setiap murid adalah murid yang mampu menangkap pelajaran,” itu salah besar.

Dia salah karena semua orang Indonesia adalah murid yang pintar. Kalau tidak, mana mungkin kerumitan yang terjadi sampai pada batas tak terhingga. Hingga jelaslah bahwa kerumitan di sini bukan lagi diselenggarakan oleh oknum, tapi kolektivitas. Andaikan ada kepentingan multi nasional ikut campur, itu hanya sebuah sandiwara dan drama kecil yang berjudul: "pura-pura "manut." AS Laksana juga tak perlu pamer kebijaksanaan di sini, di tanah bangsa besar yang pernah berjaya di dunia, namun sekarang jadi bangsa yang rendah hati karena membungkus kekuatan dan laku spiritualnya dengan pura-pura sedih menyikapi banjir. Asal kamu tau, kita ini sedang menipu dunia dengan kerendahhatian. Nah, kita juga sedang menipu diri (terutama mahasiswa dan intelektual cap tikus). Ironisnya kita menipu diri dengan pakaian dan baju kebijaksanaan orang lain. Menipu diri dengan ilmu pengetahuan yang sebenarnya cuma kembang kertas. Kalau mereka memang bisa menangani banjir dengan kembang kertas dan ilusi pengetahuan, mengapa banjir tidak kunjung selesai, atau paling tidak bisa sedikit teratasi.

Bahkan ada yang coba-coba mencontoh kebijkaksanaan Jepang, budaya kaizen atau apa itu, saya ndak ngerti. Untuk apa kita mencontoh bangsa yang baru diterpa tsunami sedikit sudah gembeng, sudah berduka cita sampai seluruh negeri. Bandingkan dengan kita, bencana model apa pun terjadi, kita masih bisa joget dangdut. Berkaraoke sambil menggoda purel-purel kampung dengan mulut bas-bus-bas-bus ngerokok. Warung kopi juga tidak sepi, tuh. Bahkan tempat hiburan malam di Jakarta yang tidak terendam banjir juga masih sempat buka. Mas, apa benar kita ini sedang sedih dengan keadaan kita saat ini? Tidak, mas. Salah besar kalau kamu pakai pola pikir intelektual overdosismu itu.

Untuk tau seperti apa bangsa kita hanya bisa pakai hati, mas. Kejernihan akan membuat kita tau betapa agung dan besar bangsa kita. Bukan dengan pepatah sembrono yang asal-usulnya tidak jelas seperti apa yang dipakai AS Laksana. Bisa terpeleset kita nanti. Kecele dengan kemegahan yang kita kira bobrok hanya karena logika kita teracuni oleh data dan angka statistik. Boleh jadi, karena saking hebatnya bangsa ini, orang-orang pada sibuk cari susah agar lebih terlatih mentalnya dalam kondisi apa pun. Kalau orang-orang di luar sana pada sibuk cari selamat dan berupaya agar bencana tak datang, kita justru membuat bencana itu cepat datang agar jadi lebih matang.

Orang-orang kita sendiri, termasuk sampeyan juga sebenarnya, itu sangat dekat dengan Tuhan. Mereka berupaya sebisa mungkin agar Tuhan menghadiahkan bencana karena kita tau, Tuhan akan semakin mendekat pada kita. Mengusap air mata kita dengan tangan-Nya sendiri. Bukan lewat IMF, bukan lewat pihak-pihak asing. Kalau pun bantuan itu datang tanpa diminta, toh, juga tak pernah benar-benar sampai dan harus nyangkut di kantong beberapa gelintir makelar.

Kalau kita menganggap ini semua datang dari Tuhan (kalau percaya), tentu Dia tak akan sembarangan memilih kaum yang mana yang kena bencana. Karena tidak semua bangsa sanggup menerima bencana yang datang bertubi-tubi seperti yang ada di Indonesia ini, mas. Akhirnya dipilihlah orang-orang Indonesia yang lebih kuat batinnya mengelola kesedihan menjadi kekuatan pilih tanding.

Mas, tidak selalu bencana sejalur dengan kebodohan. Tidak selalu “kemiskinan statistik” dari logika ekonomi diartikan sebagai kemunduran. Karena bisa berbeda seratus delapan puluh derajat kalau itu diterapkan di sini. Kalau yang benar-benar miskin itu, ya, di Nigeria  sana. Mereka tak mampu beli rongsokan Jepang dengan gila-gilaan macam di Indonesia. Mana ada UMR yang barani beli sepeda motor sampai dua buah, dengan kredit pula. Apa ndak edan itu namanya? Jadi jangan keburu-buru, mas, dan se-enak dengkul menyimpulkan Indonesia hanya gara-gara sudah dibaptis pintar oleh kampus. Lha matamu a?

Kok jadi kemana-mana ini, mas bro? Coba anda pikir lagi, kalau memang kata-kata anda itu benar, mengapa masih terjadi korban atas musibah banjir ini? Lalu apa artinya kebijaksanaan kita? Nah, silahkan jawab.

Mas, mas! Tak pikir goblogmu ini sudah selesai. Sejak kapan mati itu dihubung-hubungkan dengan kebijaksanaan? Sejak kapan mati dihubungkan dengan bencana? Mati itu ya urusan Tuhan. Kok anda jadi menghubung-hubungkan sesuatu yang sama sekali tidak berkaitan. Lha tanpa bencana pun, setiap orang pasti mati. Orang Jepang yang hidup tertip macam robot, ya, kalau sudah waktunya mati, ya, mati. Tidak usah nunggu bencana. Kalau sampai bencana banjir ini membawa korban, berarti, ya, orang itu waktunya mati. Kalau anda masih menggunakan pendekatan teori-teori, ya, goblog sendiri jadinya. Saya kasih contoh, ya. Menurut medis, seseorang bisa bertahan hidup tanpa makan itu sampai tujuh hari. Kalau tanpa air, itu cuma tiga hari. Apa you  tidak tau bila ada orang yang ritual bertapa sampai empat puluh hari empat puluh malam tanpa makan. Mereka juga masih hidup. Bagaimana itu?

Bahkan ada orang yang dipendam di dalam tanah selama empat puluh hari juga masih hidup. Itu juga lebih aneh lagi. Kalau mau contoh yang dekat-dekat dengan banjir, dengan air, oke lah. Ada lo, mas, dalam ritual jawa, orang menjalani ritual dibuang ke sungai deras oleh gurunya hanya untuk melatihnya berpasrah pada Tuhan, dan mereka ada yang tidak mati. Mereka tidak mencoba berenang, mas. Mereka juga tidak mencoba untuk menepi, tapi pasrah dengan kehendak Tuhan. Jadi bisakah kita hubungkan dua premis tadi menjadi satu kesimpulan?

Kampus mencontoh pembodohan “tidak minum tiga hari berarti mati,” itu karena sampelnya bukan kita orang-orang Indonesia. Yang dijadikan sampel adalam mereka bangsa-bangsa yang tubuhnya ringkih dan tak tahan menderita. Mengetahui realitas seperti itu, dunia kedokteran cuma bisa nyengir kuda, mas. Tapi lagi-lagi orang kita sangat rendah hati, mas. Meski pun orang-orang kita sudah tau dengan ndagelnya dunia kedokteran sekarang, orang-orang masih nekat ke rumah sakit. Berani untuk tanggung risiko jadi korban mall praktek. Itu, ya, karena tadi. Orang-orang kita berhenti untuk main aman dalam dunia yang sebenarnya penuh dengan keadaan yang tidak aman. Lagi-lagi kita spekulasi, tidak takut. 

Kalau kita balik, beranikah dokter-dokter itu ke dukun?  Ndak berani, mas. Padahal sama-sama tidak aman lo, ya.

(Manggut-manggut.)

Asu, ojok mantuk-mantuk tok ae raimu, suu.

Banjir oh banjir. Cepatlah datang. Tunaikan tugasmu untuk membuat kita jadi lebih kuat. Lalu pergilah dan sampaikan pada Tuhan bila mesti Ia sendiri yang mengusap air mata kami. Ampuni dosa kami... Sudahlah jangan kawatirkan sesuatu yang telah kita kehendaki : p

Januari, 2013
Citra D. Vresti Trisna



Senin, 07 Januari 2013

Kita (Orang Jalanan)


Aku takut melirik ke belakang karena “kita” (orang jalanan) sudah bukan lagi menjadi “kita”. Kini “kita” hanya menjadi sekedar: aku, kau, kalian dan sebungkus permen kenangan yang kita jilati ketika rindu, ketika aku patah hati. Maafkan.
Kau tentu mengerti bila dunia perkuliahan sangat melenakan. Buku, kembang kertas peradaban, perempuan, hipokrit, megalomaniak, revolusi cacing dan romantisme perjuangan. Semua itu adalah cita-cita kita bersama waktu masih hijau. Tapi hal itu pula lah yang kemudian memisahkan kita semua. Dosaku pada candu perkuliahan adalah menjadi kelas berbeda dan lupa bahwa kita semua manusia. Dosa yang terakhir adalah ketika dunia persma yang meninabobokkanku dan mungkin ratusan orang yang tiba-tiba menjadi merasa gagah lantaran telah membaca. Lalu mendongeng soal "Revolusi, buruh, tani, wacana nasional, taik kucing filsafat, dll" hassh
Terus terang aku bingung harus bersedih atau sebaliknya melihat keadaanku yang seperti sekarang. Seorang mahasiswa kemput setengah bohemian yang punya cita-cita setinggi atap rumah kos kita dulu: hidup yang lebih baik dari sebelumnya dan selalu bersyukur dengan apa pun pemberian Tuhan.
Sewaktu aku menyanyi di hadapan kalian dengan gitar yang dulu kerap kupakai, aku gemetar. Suara serak-keparat khas dulu pun banyak hilang lantaran aku sudah mulai menye-menye. Apa aku bayi tua jahanam dengan kepala besar yang merindu menyusu kalian karena tidak sekeras dulu?
Ah kawan, mengapa pula matamu menusuk menembusi jantungku seperti ini? Andai kau tau bila aku pun benci bila hidup harus selalu memilih.
Kalau dulu, dimata kalian, aku adalah burung yang terbang bebas dan nyalang mencari mangsa, sekarang aku hanya burung hilang sayapnya dan kedinginan di bawah toko universitas.
Hari ini kalian mengajariku untuk kembali merasakan “sakit” yang dulu pernah hidup. Tapi dadaku sakit, napasku sesak, aku tak sanggup kembali dan menoleh lagi. Ya, ya, aku tak akan melupakan matamu, matamu yang tajam, Gin, dan kini harus basah lantaran menangisi aku yang sudah tidak lagi berani dengan arak.
Hari ini, kalian ajari pula bagaimana cambuk sorot matamu bagi seorang yang lupa membalas budi dari hutang nyawa. Kawan, dengan apa aku harus membalas?
Kawan, apa kalian kehilangan aku? Apa kalian pernah merasa memilikiku? Ah andai kalian tau bila aku tak pernah melupakan kenangan sebagai seorang nokturnal. Menyusun segala liturgi untuk memanggil hujan, memanggil sunyi yang membakari sampah kekosongan. Membakar tiap sentimentil dan rasa letih pada nasib. Dan seperti kata Cak Rori: bahwa hati selalu seperti petak-petak kamar kos yang menyimpan banyak hal yang pernah berarti. Kenangan itu berdiam dan menunggu kita mengunjunginya.
Maaf, kawan. Bukan karena seorang perempuan seperti kau menuduh. Tapi lebih karena hidup harus jalan terus. Terus.
Kalau ini sudah bukan lagi rumahku, bolehlah kalau kalian kuletakkan dalam ruang rahasia di dadaku. Ruangan yang hanya ada “kita” yang dulu, yang tertawa dengan tinju tangan mengacung-acung menantang hidup dan matahari.

Belum Ada Judul

Pernah kita sama-sama susah
Terperangkap di dingin malam
Terjerumus dalam lubang jalanan
Digilas kaki sang waktu yang sombong
Terjerat mimpi yang indah
Lelah

Pernah kita sama-sama rasakan
Panasnya mentari hanguskan hati
Sampai saat kita nyaris tak percaya
Bahwa roda nasib memang berputar
Sahabat, masih ingatkah kau?

Sementara hari terus berganti
Engkau pergi dengan dendam membara
Di hati

Cukup lama aku jalan sendiri
Tanpa teman yang sanggup mengerti
Hingga saat kita jumpa hari ini
Tajamnya matamu tikam jiwaku
Kau tampar bangkitkan aku
Sobat

Sementara hari terus berganti
Engkau pergi dengan dendam membara
Di hati


Iwan Fals

cdvt

Jumat, 04 Januari 2013

Penyair oh penyair

Penyair jaman sekarang itu gimana, ya? Hmmm.... Mungkin seperti ini:



Sebut saja Dalbo (bukan nama sebenarnya: red) waktu diwawancarai tukang sate.