Laman

Selasa, 26 November 2013

Sekarang Kau Dimana?

Kau mendaki di sejauh, seperti kembang api tahun baru kemarin. Sekarang kau dimana?
-
Aku tak menemukanmu; dan kau menghilang seperti angsa yang mengungsi saat malam menggelap. Padahal baru saja aku ke sebalik hatiku; mencarimu, tapi kau tak di sana? Boleh aku tau, sekarang namamu siapa? Bagaimana waktu memanggil namamu? Apa kau masih mabuk puisi seperti dulu?
-
Kau tau, sekarang aku kerap membakar api sendirian. Menenggak aspirin agar aku segera tidur dan tak perlu mengingatmu lagi. Apa kita masih percaya bila bulan dan revolusi punya warna?
Bila sekarang aku terpaksa mengingatmu, apa kau juga mengingatku di rimba muram.
-
Malam-malam gelap menyiksaku dengan sakit yang perih. Cerita tentang hantu hutan masih jadi wingit yang sama-sama kita cintai. Apa kita masih berteman seperti dulu?

Minggu, 24 November 2013

Berterimakasih Pada Pendidikan Kita

Suatu hari, seorang kawan yang agak terganggu kejiwaannya pernah berkata pada saya, ”Pendidikan hari ini itu seperti barang antik pecah belah di etalase ruang tamu. Tidak berguna, tapi sayang kalau dibuang dan tidak digeluti,” ujarnya dengan cengengesan.
”Lalu, bagaimana dengan para penjaga dan punggawa-punggawa pendidikan dari kelas UPT sampai mentri. Mereka itu apa?” tanyaku.
”Dungu, kamu! Kalau begitu mereka adalah orang sepertimu yang setiap harinya mengelap dan membersihkan debu-debunya. Agar tidak kelihatan usang dan tetap baru. Meski tidak jelas kapan barang yang dijaganya (sambil mengantuk) itu bisa berguna.”
Menanggapi apa yang dikatakan kawan saya, pertama saya tidak mengambil hati karena ia ”sakit”. Kedua, bila berpatokan pada pendapatterkadang apa yang dikatakan orang gila, itu bisa jadi adalah hal-hal yang ingin Tuhan katakan pada kitamaka, boleh jadi teman saya ada benarnya. Tapi, dimana benarnya?
*

Kamis, 21 November 2013

Berlibur ke Rumah Nenek dan Membantu Nenek ke Sawah

Mungkin dunia pernah dihitamkan dengan kengerian kamp konsentrasi, tapi itu bisa kita rasakan dan sangat materi. Tapi, hitamnya dunia serta puncak kengerian adalah ketika kita terbelenggu oleh penjara ketakutan pada ”ketaatan” yang sebenarnya perlu kita kaji dan pikirkan: untuk apa? Mungkin dalam hal ini aku ingin menyebut satu kata yang sejak dulu hidup dalam pikiranku: kiyai.
Ya, sosok kiai di Madura ini didewakan, tapi, bukan itu yang penting. Karena ketika kesadaran berpikir bila oknum kiai saat ini tidak lebih dari seorang bandit yang nyata dan kita sadari, tapi tak berani untuk beranjak dan melawan adalah sebenar-benarnya sakit yang perlu dibawa ke puskesmas. Tapi, kita tetap harus sadar bila manusia hidup dari sebuah kolektivitas yang membuat kita “serupa” dan “tuli” dan kolektivitas itu membuat mitos-mitos menjadi hidup, dan mungkin mitos yang membisus pikiranku adalah: surga.
    *
Saya jadi ingat satu bait lagu yang selalu kunyanyikan ketika aku masih jadi bandit terminal:

Senin, 18 November 2013

Menertawai Kurikulum Ndeso

”Kesopanan adalah konstruksi.”

Kalimat ini saya dapatkan pagi tadi sewaktu membuka facebook. Sebuah komentar yang menurutku masih segar dan khas remaja sekarang yang pintar tapi dungu. Komentar dan spontanitas yang menunjukkan betapa generasi muda hari ini begitu rajin mencari alternatif wacana di luar kurikulum pendidikan kita yang kata orang begitu ndeso.

Senang rasanya melihat remaja-remaja yang gemar mencari hal baru dalam hidupnya. Karena dunia akan menjadi milik siapa saja yang setiap waktunya adalah untuk mencari apa saja: pengetahuan baru, kebijaksanaan-kebijaksanaan impor, gaya beretorika, cita-cita baru, sampai agama baru.
*

Sejak dulu, saya percaya bila nihilisme itu real– segala   yang ”bangkrut” akan ditinggalkan.
Semua ideologi yang bersifat menenggelamkan, diikuti, diyakini, akan ludes tanpa sisa. Sebagaimana komunis yang dianut oleh tiga per empat dunia selama tiga per empat abad, terlepas dianutnya komunis itu setengah memaksa, yang jelas sekarang ideologi itu ditinggalkan.

Senin, 11 November 2013

Berterimakasih Pada Joko (Helm)

Beberapa hari lalu di Pamekasan ada seorang pencuri helm yang babak belur dihakimi massa. Mukanya lebam-lebam karena bogem mentah massa yang emosi. Untunglah ia buru-buru di bawa ke kantor polisi sehingga bisa selamat dari amuk massa. Atas kejadian ini, aku sangat berterimakasih pada sekumpulan massa yang kebetulan ada di Monumen Arek Lancor, Pamekasan, yang turut berpartisipasi memberi pelajaran pada Joko Purnomo si pencuri kecil agar jangan berani-berani membandit di Pamekasan.

Tidak lupa, saya juga ingin memberikan apresiasi pada masyarakat di kota-kota lain yang ikut aktif memberi efek jera pada para maling. Berkat partisipasi masyarakat, rasa aman dan nyaman bermasyarakat bisa tercipta di lingkungan kita. Tapi, yang paling utama adalah selamatnya harga diri saya selama beberapa saat, karena paling tidak ”predikat maling” sudah diwakili oleh Joko yang ketiban sial tertangkap warga.

Apa jadinya kalau si Joko ini tidak tertangkap? Bisa jadi orang lain akan menaruh curiga pada saya, karena saya masih belum terbukti bersih. Kalau sudah ada yang tertangkap seperti si Joko ini, paling tidak saya bisa ikut memaki-maki Joko di depan orang lain sambil mengata-ngatainya tidak bermoral. Seolah-olah saya ini bersih dan sangat anti mengambil milik orang lain. Yang paling penting lagi adalah saya bisa tetap tampil dengan muka berseri-seri di depan umum. Boleh menulis dan pamer kebijaksanaan di Koran seperti sekarang. Meski saya tak begitu yakin bisa tampil bersih di hadapan Tuhan.

Sejak dulu cara paling manjur untuk menyembunyikan kejahatan adalah dengan berteriak paling keras pada kejelekan orang lain. Atau (mungkin) menghajar paling keras pada seseorang yang terbukti bersalah. Dan kalau dikembangkan lagi; siapa yang paling serius menangkap, memberikan vonis dan memenjarakan, adalah orang atau kolektiva yang sedang bersembunyi dan berusaha menimbun bangkai; malingnya maling. Atau siapa yang paling serius berfatwa dan berkhotbah tentang kebusukan orang lain justru lebih busuk ketimbang orang yang diceramahi. Tapi, sejak awal, saya sudah katakan bila ini hanya ”mungkin”, dan belum tentu benar. Mohon jangan diambil hati.

Tiba-tiba saya jadi ingat tentang anekdot yang diceritakan seorang kawan jauh. Kalau tidak salah, kurang lebih ceritanya seperti ini: Di sebuah pesantren, ada seorang ustad sedang semangat bercerita tentang setan kepada para santrinya. Karena saking semangatnya, mukanya sang ustad menjadi merah dan matanya melotot keluar. Kemudian salah seorang santrinya bertanya pada sang ustad, ”Ustad, wajahnya setan itu seperti apa, sih?” Kemudian sang ustad menjawab, ”Mukanya setan itu merah dan matanya melotot keluar,” jawab sang ustad. Lalu, para santrinya berlari karena ketakutan.

Anekdot yang baru saja saya ceritakan memang tidak bisa dijadikan gambaran tentang wajah tokoh-tokoh agama di manapun. Anekdot ini hanya sekedar cerita lucu pelepas penat. Seandainya ada kesamaan atau ada yang merasa seperti ustad yang saya ceritakan tadi, percayalah bila ini hanya kebetulan semata. Karena kita merasa seperti setan atau malaikat, adalah kontemplasi masing-masing individu yang tidak perlu diceritakan pada orang lain.

Sehingga, saya pikir siapapun yang ikut menghakimi Joko tentu sudah punya hitungan yang jelas tentang manfaat dan mudharatnya. Bahkan warga mereka memiliki rasionalisasi yang tak terbantahkan ketika memutuskan akan menghakimi Joko. Dan, saya piker, Tuhan pun akan kelimpungan dengan alasan masyarakat.

Tidak Ada Dosa Kolektif

Saya pikir kasus pencurian helm itu murni kesalahan Joko sebagai pribadi. Ia yang bertanggung jawab pada apa yang dilakukannya. Sehingga, masyarakat yang ikut menghakimi Joko sama sekali tidak ikut-ikut menanggung dosa. Dan babak belurnya Joko adalah akibat dari perbuatannya sendiri.

Joko itu bukan siapa-siapa. Ia tumbuh sendirian tanpa pengaruh masyarakat di sekitarnya. Jadi, perbuatannya mencuri helm itu adalah murni inisiatif pribadi Joko dan ia tak pernah meniru masyarakat di sekitarnya. Kalau pada akhirnya, ia terpaksa mencuri helm karena ia mengaku ingin memiliki helm seperti temannya, saya pikir itu pantas di ganjar dengan hukuman keroyokan. Karena yang ada hanya sim kolektif, bukan dosa kolektif.

Sehingga masyarakat tidak perlu mempedulikan kebutuhan helm Joko, karena itu sangat sepele dan keduniawian sifatnya. Masyarakat di sekitar Joko perlu mengutamakan kebutuhan yang lebih urgen dan orientasi spiritualnya lebih jelas, seperti: naik haji, berlomba-lomba membangun rumah Tuhan, dan untuk membangun Pamekasan lebih gemerlap. Asal bisa naik haji sepuluh kali, persetan tetangga kita bisa makan atau tidak.

Sejak dulu, orang kecil macam Joko tidak perlu didengarkan kebutuhannya. Karena hanya orang besar yang patut dicatat sejarah dan didengarkan kata-katanya. Sebentar lagi, masyarakat akan melupakan Joko serta melupakan kebutuhan-kebutuhan hidupnya yang sepele.

Memang hidup bermasyarakat itu ibarat sholat berjamaah. Sama-sama menghadap Tuhan, sama-sama merasa paling bersih. Ketika sholat, yang diperlukan bukanlah keseriusan berhadapan dengan tuhan, akan tetapi perlu juga sesekali melirik kiri-kanan untuk memastikan orang di sebelah kita sudah khusuk atau belum.  Kalau belum khusuk, seusai sholat kita perlu mengingatkan mereka agar lebih khusuk sholatnya. Kalau perlu ikut pelatihan sholat khusuk.

Terus terang, saya sangat bersyukur dengan tertangkapnya Joko. Karena dengan begitu, saya bisa mengevaluasi dan mengingatkan dia untuk lebih lurus hidupnya. Karena dengan saya ikut mengingatkan, perhatian orang lain akan sibuk pada Joko, tapi bukan pada kelakuanku; pada segala upaya ”maling” yang saya lakukan.

Selain itu, yang jelas saya tidak mau ambil pusing dengan kelakuan Joko. Apakah alasannya menjadi maling atau bandit, itu karena sebelumnya hidupnya telah banyak dimalingi tetangganya, masyarakat di sekitarnya, pemerintahnya, atau mungkin para ulama, atau aparatnya. Tapi, yang lebih menarik adalah Joko dihakimi massa dengan sangat barbar. Karena dengan begitu ia jadi martir yang bisa menutupi sikap maling kita bersama. Karena di kampung Indonesia, upaya penegakan hukum tidak boleh terlalu serius dan memang harus tebang pilih. Apa jadinya kalau penegakan hukum di Madura, di Indonesia dijalankan dengan serius? Pemerintahan bisa kosong. Dari RT, RW, desa, kecamatan, kabupaten sampai kursi kepresidenan bisa tur bersama ke penjara. Oleh karena itu, berterimakasihlah pada Joko si pencuri helm (Joko Helm).

”Orang besar” ngomong, orang kecil bengong mendengarkan. Kalau ”orang kecil” ngomong, Tuhan yang bengong mendengarkan.

Semoga Joko tidak melaporkan kita semua pada Tuhan. Amin.


Sampang, 7 November 2013

Selasa, 05 November 2013

#WACESABE

Tidak ada yang lebih sakral ketimbang rasa bosan. Ya, mungkin karena ia datang langsung dari Tuhan. Kebosanan (hampir) selalu didahului oleh rutinitas, (biasanya) rasa muak, dan yang terakhir adalah ”membelenggu kuda liar itu pekerjaan dungu”.
Sejak awal aku menolak untuk ditaklukan dengan cara apapun. Meski pada akhirnya aku harus bertekuk lutut di salah satu tempat yang kusengaja untuk menguji seberapa besar orang menghardikku nanti. Meski pada akhirnya aku kalah karena telah terpancing dengan seseorang yang pernah kukuliahi perkara media umum.
Hidup media umum! Hidup buruh!

*
Sekarang aku tinggal di Sampang, Madura. Bekerja sebagai buruh di pabrik kata-kata. Saya tidak tau, saya ini kerasan atau bagaimana. Tapi, yang jelas, itu akan saya tahu dua tahun lagi. Bukankah hidup adalah persoalan mencoba dan berani menyelam. Dan sekarang saya sedang menyelam dalam sekali.
Untuk ”matinya” kota ini, saya tidak banyak komentar. Hanya saja, kalau dalam seminggu, saya tidak kena kopi Surabaya, kepala saya bisa pusing, pantat gatal-gatal, kram otak hingga bunuh diri. Ngeri rasanya membayangkan ada seseorang yang sampai mati bosan. Terbunuh hanya gara-gara kesunyian dan rutinitas yang membunuh kreativitas dan akal sehat.

Senin, 04 November 2013

Buruh dan "Bisul" Indonesia

Halo buruh, bagaimana kabar kalian?

Demo buruh yang terjadi beberapa hari terakhir ini membuat saya kembali teringat dengan omongan paman di momen idul fitri di masa-masa kuliah.

”Kamu itu kuliah saja yang bener. Ndak usah ikut-ikutan demo. Kayak kurang kerjaan aja,” ujar paman.

Saya terpukul dengan omongan paman. Sehingga, sebagai bentuk protes, hari itu saya menolak untuk sungkem dengannya, dan menghabiskan sepanjang siang di warung kopi sebagai bentuk protes. Alhasil, beberapa bulan lamanya, saya tak pernah lagi bertegur sapa dengan paman. Waktu itu saya berpikir bila orang-orang tua adalah seburuk-buruknya hipokrit.

Dulu saya berpikir bila aksi adalah satu-satunya cara memperjuangkan masyarakat. Termasuk nasib paman. Saya membayangkan bagaimana perasaan para buruh yang menuntut kenaikan upah tiba-tiba harus disepelehkan orang lain. Apalagi yang menyepelehkan adalah mereka-mereka yang sama-sama buruh. Beberapa waktu lalu, seorang kawan (yang juga buruh) bertanya pada saya, ”Sudah untung dapat kerjaan. Masih banyak orang-orang tidak punya kerjaan yang hidupnya senin-kamis. Mereka (buruh) itu tidak tau bersukur, ya?”