Laman

Senin, 06 November 2017

Ular di Sarung Mbah Ripul (Ekspedisi Warga Dudakarta)

#DUDAKARTAdanJAKARTA17
Citra D. Vresti Trisna


Warga Dudakarta sedang direpotkan soal ular. Alkisah, sekembalinya Mbah Ripul dari kepergian yang misterius — tidak satu warga pun yang bisa meneropong keberadaannya — ia kembali ke Dudakarta dan memberikan pengajian di surau pada suatu subuh. Yang membuat warga heran, beberapa detik usai membuka pengajian dengan salam, Mbah Ripul terdiam. Ia baru melanjutkan kata-katanya usai jamaah sudah mulai kasak-kusuk.
”Saudara-saudaraku, kita harus waspada kepada ular. Ular adalah hewan yang berbahaya, termasuk ular-ular kecil yang dilemparkan oleh penyihir Firaun sewaktu adu kesaktian dengan Kanjeng Nabi Musa. Tapi, di sisi lain, kita harus mengenal ular-ular itu dan kita pelajari atau dicari ilmunya,” kata Mbah Ripul.
Warga Dudakarta hanya melongo menyaksikan ceramah Mbah Ripul. Karena Mbah Ripul paham ketidaktahuan warga, ia melanjutkan kata-katanya, ”sebelum saya jelaskan lebih lanjut, saya mempersilahkan warga Dudakarta pergi mengembara mencari ular-ular itu. Silahkan mencarinya ke sawah, ke diskotek, ke kali, ke jumbleng, barongan juga boleh, ke Alas Lalijiwo oke juga, atau langsung ke Mesir, kalau mampu lolos dari mripat dunia, silahkan cari ke gedung putih atau ke bawah kolong dukun tiban. Setelah saudara-saudara menemukan, kita bicara lebih lanjut. Kalau kalian tidak mau, saya tidak akan kembali lagi ke Dudakarta. Wasalam... ” Ketika warga masih heboh, Mbah Ripul sudah lenyap.

Sabtu, 04 November 2017

Buto Abang Darurat Rabi, Pakde Dalbo Nggondok ke Mama Kebo

#DUDAKARTAdanJAKARTA16
Citra D. Vresti Trisna


Dudakarta sedang dirudung duka dan sekaligus punya hajat besar. Kedatangan Buto Abang ke Dudakarta membuat warga sedikit resah. Kalau saja tidak ada urusan penting, tentu saja kawan mbambung Pakde Dalbo ini tidak akan jauh-jauh ke Dudakarta.
Setelah menikmati singkong rebus dan kopi pahit, Bhuto Abang mengutarakan keresahan hatinya karena tidak kunjung menikah alias darurat rabi. ”Bo-Dalbo, saya ini sudah sepuh, sudah sunat, kelewat pantes pacaran, tapi kok, ya, susah buat menikah. Ini gimana, Bo-Dalbo?” Tanya Buto Abang.
Berdasarkan teropongan Mbah Ripul, apa yang sedang dialami Bhuto Abang merupakan situasi gawat darurat nasional. Tanpa penanganan yang baik, situasi ini bisa membawa dampak ke seluruh alam.
Nama asli Buto Abang adalah Raden Fathur Gimen Rahman-Rahim Al Nasakomi. Bhuto Abang adalah salah satu tokoh penting penjaga keseimbangan alam semesta. Di Jakarta, Bhuto Abang menempuh kemuliaan hidup dengan menjadi keset agung, gedibal alias bolodupakan Partai Demokrasi Mama Kebo Indonesia (PDMKI). Meski Buto Abang tidak dihitung dalam peta perpolitikan Indonesia, tapi di mata warga Dudakarta, justru posisi Bhuto Abang adalah bagian terpenting dan istimewa. Mengapa demikian?

Jumat, 03 November 2017

Yasinan untuk Alexis 2

#DUDAKARTAdanJAKARTA15
Citra D. Vresti Trisna


Merasa belum mendapat kemantapan hati atas Alexis, warga Dudakarta kembali lembur yasinan. Setelah mata cukup panas dan perut warga sudah keroncongan, barulah mereka ngaso barang sejenak. Pedas wedang edang jahe buatan istri Mas Rombong membuat mereka kembali greng. Mata mereka lebih greng lagi ketika sadar bila Gus Miek rawuh yasinan dan ikut menikmati suguhan wedang jahe. Setelah ia berkata, ”khairul umuri ausatuha,” beliau lenyap.
Sebaik-baik perkara adalah yang di tengah!
Akhirnya warga Dudakarta manthuk-manthuk dan mulai bertanya satu sama lain untuk mempertanyakan apakah mereka akan meneruskan yasinan atau justru pulang ke rumah masing-masing.
”Tengahnya Alexis itu apa hayo?” Celetuk Wakebol disambut riuh rendah suara warga yang ngaso.
Warga Dudakarta sepenuhnya sadar bila mencari jalan tengah dan mengambil hikmah atas perkara Alexis tidak semudah pertanyaan tebak-tebakan anak kecil: tengahnya pasar ada apa? Lalu akan dijawab, ”ada essssss...” Mereka juga sudah memperhitungkan bila ”tengah Alexis” itu bukan ”ex”, melainkan kompleksitas persoalan yang sudah runyam dan mengakar. Selain itu, pelacuran adalah salah satu kebudayaan purba yang masih hidup hingga kini dan terus memperbarui diri dengan wajah yang baru. Pelacuran boleh dikekang, tapi selalu ada celah dan cara manusia untuk melampiaskan hasrat yang ilegal dengan cara baru yang lebih canggih. Karena pelacuran kelamin adalah akibat kesekian dari pelacuran etika, kepercayaan, iman, pendidikan dan lainnya.

Kamis, 02 November 2017

Yasinan untuk Alexis

#DUDAKARTAdanJAKARTA14
Citra D. Vresti Trisna


Sejak 27 Oktober 2017, masyarakat Dudakarta menyambut langkah Pemprov DKI untuk tidak memperpanjang izin usaha hotel dan gria pijat Alexis dengan yasinan dua hari dua malam. Apa yang mereka lakukan bukan lantaran pro atau kontra pada penutupan Alexis. Mereka hanya tidak tahu harus bersikap seperti apa.
Ketika berita ramai meminta pendapat warga, warga Dudakarta justru ketlingsut dan tidak seorang wartawan pun yang memintai pendapat mereka. Tapi, mungkin karena Gusti Allah tidak ingin warga Dudakarta terlalu minder akan statusnya sebagai manusia yang mungkin butuh nggaya, maka datang juga seorang wartawan yang nyasar dan mewawancarai Mbah Ripul dan si Kumis ketika keduanya sedang andok bakso di Mall Roxy.
 ”Pendapat anda soal penutupan Alexis?” Tanya wartawan.
”E... ee... ee... nganu... kepriwe ya... nganu...
Sadar telah salah mewawancarai orang, wartawan itu meninggalkan dua mahluk aneh Dudakarta. Seandainya warga Dudakarta dikumpulkan dan diwawancarai secara serius pun, mereka tidak dapat menjawab dengan baik.

Sabtu, 28 Oktober 2017

Belajar pada Surabaya

#DUDAKARTAdanJAKARTA13
Citra D. Vresti Trisna

Siapa yang tak butuh pulang kampung di zaman tembelek ini? Bahkan penduduk asli — yang lahir, tumbuh, dan menunggu mati di suatu tempat — juga butuh pulang kampung. Kemana? Tidak perlu dijawab, karena (konon) manusia modern lebih mengerti apa yang ada di kedalaman mereka ketimbang Gusti Allah.
Jakarta itu tidak jauh berbeda dengan Dudakarta dalam urusan budaya pulang kampung. Namun, yang membedakan Jakarta dan Dudakarta dalam hal pulang kampung hanya soal itensitasnya. Kalau warga Jakarta hanya pulang kampung saat lebaran, warga Dudakarta bisa kapan saja pulang kampung. Inilah yang membuat Mbah Ripul dibawa angin sampai ke Surabaya hingga ia menemukan dirinya sudah memesan tiga batang rokok dan segelas kopi susu tanpa gula di warung kopi di Lidah Wetan, Surabaya.
Kepulangan Mbah Ripul ke Surabaya kali ini adalah untuk sesuatu yang penting: pulang kampung itu sendiri, menjadi berarti dan studi banding. Mbah Ripul juga didaulat mengisi pelatihan menulis di sebuah organisasi pers mahasiswa yang keblinger dan salah paham lantaran mengira Mbah Ripul adalah tokoh pers. Tapi, di sisi lain, ia menyanggupi undangan itu karena ia sendiri menganggap proses mengajar adalah sesuatu yang prinsipil sekaligus dapat menjadi sarana studi banding; membandingkan Jakarta — tempatnya mondok — dengan kota kelahirannya.

Jumat, 29 September 2017

Subsidi untuk Alexis

#DUDAKARTAdanJAKARTA12
Citra D. Vresti Trisna


Pameran transportasi dan infrastuktur kali ini terbilang cukup berhasil. Output yang ingin dikejar adalah membenahi sektor pariwisata nasional serta meningkatkan kunjungan wisatawan domestik dan mancanegara. Betapa mulia para punggawa kementerian perhubungan dan penyelenggara acara yang berniat membuat cost perjalanan wisata jadi murah. Tentu hal ini tidak lepas dari pantauan Wak Dalbo, sepion Warga Dudakarta.
”Wah, ini baru kerjasama yang agung. Pemerintah itu, ya, harusnya membuat terobosan yang seperti ini,” kata Mas Rombong.
”Dengkulmu suwek, Mbong! Ini hanya tema acara, jangan gumunan kamu!?” Protes Dalbo.
”Kita sebagai Warga Dudakarta yang oleh Gusti Allah digariskan untuk study banding dalam rangka mengambil hikmah dan manfaat dari kesontoloyoan Jakarta harusnya melihat ini dengan jeli....”
”Apa sih, Mbong! Ndak usah lebay... Tuh lihat Mbah Ripul sejak tadi hanya diam, mencureng. Kenapa sampeyan, Mbah? Sudah, sudah, sudah, penutupan jalanan Roxy dan demo Warga Setia Kawan ndak usah terlalu sampeyan pikirin,” ujar Dalbo mencoba mengalihkan pembicaraan.
”Saya mikir soal demo itu, Bo-Dalbo. Tapi itu tidak terlalu menyita pikiran. Saya hanya berpikir soal omongan Mas Rombong yang saya pikir ada benarnya. Mungkin Mas Rombong benar karena soal orientasi acara pameran di Smesco, Pancoran, itu sangat mengena dan cocok dengan kondisi saat ini,” ujar Mbah Ripul.
Sambil ngoncek’i ketela, Mbah Ripul melanjutkan, ”pertama, saya ingin melihat ini dari sisi pemerintah. Mengapa tujuan acara yang orientasinya membenahi sektor wisata jadi penting? Itu tidak lepas dari asas manfaat. Kalau kabinet dukun tiban itu tidak dapat membenahi situasi nasional, minimal tidak menambah masalah, terlebih menambah utang. Menggeliatnya sektor pariwisata bukan sekedar karena pengaruh si Realin Syah, pacar Mbah yang main di film 5 cm...”
”Modelmu, Mbah!” Celetuk Dalbo. Sambil kecapan warga Dudakarta menyaksikan Mbah Ripul orasi.
Film itu hanya trigger untuk meledakkan gunungan stress nasional yang dilampiaskan dengan cara dolan, mbolang, oleh kaum yang menamakan diri MTMA. Kalau stress sudah sampai puncak, jalan pulang yang paling aman adalah mbadog dan berwisata. Kalian jangan heran kalau acara kuliner semakin laris. Kalau dulu wisata itu me-re-fresh kejenuhan, kalau sekarang sudah lain. Ketimbang harus gantung diri massal, lebih baik, ya, dolan; lari dari masalah dan berbagai himpitan akibat ketololan dan sikap gembelengan dukun tiban.

Kamis, 28 September 2017

Nasib Dalang dan Penghianat

#DUDAKARTAdanJAKARTA11
Citra D. Vresti Trisna
Mencari penghianat di kotak wayang itu gampang-gampang susah. Pekerjaan ini sangat bergantung dari lakon yang sedang dimainkan. Dalang adalah orang yang berperan dalam merenung seperti filusuf, mengkalkulasi, (kalau perlu) sholat istikharah dan barulah mengambil sang penghianat untuk ditancapkan ke gedebog. Penonton yang sabar berhak tahu sambil merem-melek mendengar narasi; alasan seseorang dituduh berkhianat. Setelah beberapa saat, dalang harus menunggu dan memberi jeda pada dirinya sendiri dan yang terpenting adalah menguji respon penonton — sang hakim agung — terutama membaca ekspresi mereka dari riuh-rendah suara, naik-turun tarikan napas dan kasak-kusuk bunyi di sebalik hati penonton.
Di sebuah kultum subuh Mbah Ripul pernah dawuh, ”dalang bersertifikat itu bukan yang pinter jungkar-jungkir dan membuat wayang salto, tapi yang pandai menerka isi hati penonton lalu membuat mereka kecele.”

Jumat, 22 September 2017

Kencing Warna Ungu dan Toilet Jakarta

#DUDAKARTAdanJAKARTA10
Citra D. Vresti Trisna


Ketika buang air di sebuah mall, mata Wakebol nampak serius membaca-baca tulisan tentang indikator urine dan sesekali melihat warna urinenya. ”Mbong, warna urinmu apa?” tanya Wakebol ke Mas Rombong yang juga sedang buang air di sebelahnya. Karena tak kunjung dapat jawaban, kepala Wakebol melongok ke urinoir sebelahnya.
”Buseeeet... Warna urinemu kok sangar yah? Warnanya ungu! Ndak ada di indikator,” kata Wakebol terheran-heran. Melihat Wakebol yang melongo melihat warna kencingnya, Mas Rombong pasang muka stay cool dan menyelesaikan kencingnya lalu mengambil air di wastafel dan cebok.
Sontak saja cleaning service yang melihat sikap Mas Rombong langsung geregetan dan tak bisa menahan diri. ”Mas, itu bisa keluar air sendiri kok malah ke wastafel ambil air? Ndak sopan!” Protes ob.
Gundulmu! Saya ndak ngerti. Meski bisa keluar air sendiri, saya ndak mau memasrahkan urusan cebok saya dengan mesin yang ndak punya rasa-pirasa. Alat kencing ini ndak tau apakah saya sudah merasa cukup bersuci atau belum. Salah siapa bikin alat kencing kaya gini?” kata Mas Rombong yang tak mau kalah.

Rabu, 19 Juli 2017

Perempuan Baik di Pasar Jalanan Gelap

#DUDAKARTAdanJAKARTA9
Citra D. Vresti Trisna

Yang menyenangkan sepulang ngantor adalah melewati sepanjang jalan samping sungai di belakang studio Indosiar hingga tembus ke Mall Ciputra. Di sana berdiri mbak-mbak yang wangi. Bajunya aduhai dengan sorot mata yang peka pada lirikan pejalan yang melintas. Untuk hal seperti ini Dalbo tidak pernah ketinggalan. Sehingga eksistensinya ia luapkan dalam bentuk menyapa mereka yang berdiri menunggu tamu. Tapi sialnya Dalbo ini tergolong pemalu, sehingga sapaan itu selalu dalam hati, ”Assalamualaikum, mbak.”
Monggo, mas, 300 ribu saja,” jawab mbak-mbak dari langit ini juga dalam hati. Begitu tahu salamnya berbalas, Dalbo menggeber gas motornya kencang-kencang dan berlalu. Meski begitu, apa Dalbo benar-benar melepaskan para bidadari itu? Tidak! Ingatan tentang bidadari itu selalu dibawa pulang, minimal sampai depan pintu gerbang kos, mbak itu disuruh pergi.
Mungkin di zaman modern ini, hampir seluruh perempuan dewasa sudah hafal isi kepala lelaki. Kalau tidak tentang anu, ya, anu lainnya. Apalagi lelaki itu hidup di kota besar dimana banyak sekali dijumpai mbak-mbak baik hati yang bisa “begitu-begitu” tanpa cinta. Jadi kalau ada pria yang mampu setia dengan satu perempuan di kota besar sudah tentu dia patut dapat nobel ngempet radikal in this year.

Senin, 19 Juni 2017

Pertarungan Dua Artis

#DUDAKARTAdanJAKARTA8
Citra D. Vresti Trisna
Kalau ada dua artis terlibat perseteruan dan kebetulan keduanya punya banyak massa yang juga ikut-ikutan berseteru, maka akan saya dukung salah satu artis yang berani menginstruksikan pendukungnya untuk berhenti berperang di media sosial. Tentu saja dukungan itu ada syarat dan ketentuan yang berlaku. Apa saja syarat dan ketentuan itu, sebaiknya hanya saya saja yang tahu. Hehehe...
Jelek-jelek begini saya punya banyak pendukung yang sangat mampu membantu artis memenangkan perseteruan. Massa yang saya miliki terdiri dari bangsa jin, setan, penunggu pohon, wewe gombel, tuyul dan beberapa gelintir malaikat.
Pada awalnya saya ingin mendapat pendukung dari bangsa manusia, tapi sialnya manusia Indonesia sudah terlanjur terpecah mendukung kedua artis itu. Saya juga bukan orang populer seperti dua artis itu. Tapi bukan berarti saya kalah dari kedua orang itu. Sebenarnya saya hanya kalah tua saja, lain tidak. Baru saja saya hendak ngerentek dan matek-aji untuk jadi tenar, mereka sudah jadi artis duluan dan ribut kemudian. Lha saya yang tidak kebagian panggung akhirnya menyepi dan mencari dukungan di wilayah-wilayah yang dilupakan dua artis ini.
Para pendukung saya ini lebih jantan kalau sedang duel dan tidak gentar dengan perang medsos. Bagi pendukung saya, medsos hanya alat orang pengecut melontarkan ”bom” dengan sembunyi-sembunyi tanpa berani bertanggungjawab. Pendukung saya ini bisa langsung mlintir kepala para pengecut media sosial dalam sekejap mata. Meski demikian, saya belum menginstruksikan massa saya untuk ikut berperang karena sampai hari ini belum ada salah satu artis yang minta dukungan dengan syarat yang sudah saya ajukan. 

Minggu, 11 Juni 2017

Hikayat Pengintai (baca: Tukang Kepo :p)

Puisi Citra D. Vresti Trisna
Pernah dimuat di Koran Haluan edisi 11 Juni 2017

Kiai Janadaru Tumbang

tak perlu mencemaskan angin yang mengungsi ke taman
menumbangkan kiai janadaru dalam sekali pukulan
sebelum para gadis menangis, jasat beringin akan setia
mengirim pamit paling puisi,

tak perlu berkabung padaku
kecuali tubuh dan kepalamu menyatu,” kata sulur beringin
di suatu subuh.

yogya tak perlu menangis kecuali ngelangut
lelaki coklat yang gemetar dalam obrolan di beranda
menjawab salam pamit wahyu keprabon dengan kepul kopi

cinta akan lahir, cerita-cerita silam akan dibungkus plastik
di atas rak ritel-ritel yang gemuk, hotel-hotel cinta, cafe
tempat muda-mudi menemukan dirinya telanjang
diantara kasak-kusuk angkringan di buntut mata wali
yang mengembara.

para ratib akan setia mencari sumber
suara. dengung buldoser penyingkal kenang gerumbul
daun luntas tempat ayah-ibu menitipkan cinta

janadaru, janadaru, janadaru dalam kepala kami
mengapa roh waktu begitu cepat jadi embun di tubuh kaleng
minuman, pendidikan sakit kepala dan kentut busuk pariwisata?
tanya kami.

tapi kepergian burung-burung di atap keraton
mengajarkan kami. tak perlu di jelaskan; tak ada penjelasan
kecuali angin pukul tiga yang gemetar dan bertiup, ke barat

Yogya


Hikayat Pengintai
            -hex

tak perlu melipat jendela dan membakar pintu
untuk menjauhkan aku dari tubuhmu
sejak langit jakarta ingat cara mendung
aku adalah capung. mengitari hatimu
mengingatkan waktu paling cantik menusuk
birahimu dengan jejarum hujan. lalu aku menjadi zat
mengitari rahimmu dengan welas asih
tak perlu mundur untuk mengintaimu
di unggunan yang mulai dingin, kau rapuh
saat kau membuka mata dan mengagumi matahari
aku adalah hangat persetubuhan. melenakan malam
menghadiahi tidur putih di garis pantai
aku akan jadi panas sengat tawon, membangunkan
dari tidur dengan kehilangan dan rindu madu
cukup dan berhentilah mengarang cerita kepergian
sebab aku adalah bahasa yang pecah dari asap pabrik
menghadiahimu sesak napas hingga mati
tanpa perlawanan dalam pelukku, tanpa penjelasan

Roxy 2015

Sabtu, 27 Mei 2017

Inflasi Pahala

#DUDAKARTAdanJAKARTA7
Citra D. Vresti Trisna


Ada dua hal yang membuat Dudakarta sepi: demo bela islam dan aksi bakar lilin. Dudakarta juga akan sepi menjelang ramadhan tiba. Tentu hal semacam ini tidak lepas dari pengamatan Mas Bule selaku aktivis muda Islam yang progresif. Ia gemas dengan sikap para orang tua di Dudakarta yang terkesan dingin dan acuh dengan datangnya bulan suci. Tentu saja, pihak yang pantas digugat atas sepinya Dudakarta dari perayaan ramadhan adalah Mas Rombong. Karena berdasarkan musyawarah warga, Mas Rombong ditunjuk menjadi lurah. Dan tugas meramaikan datangnya bulan suci adalah Tugasnya sebagai lurah.
”Allah pun mengatakan bila puasa adalah ibadah khusus untukNya, kok bisa-bisanya kita tidak menyambut kedatangan ramadhan? Apa ndak sinting orang-orang ini? Kalau Rombong tidak didamprat, tentu dia akan terus-terusan sembrono dan tidak mengingatkan warganya!” kata Mas Bule, yang meluapkan protesnya di depan rumah Mas Rombong.
Meski Mas Bule memutuskan berdemo sendirian, tapi suaranya yang cempreng mengundang orang-orang keluar rumah dan menengok apa yang terjadi.
Nuwunsewu nggeh, Mas Rombong. Apa sampean ndak nonton televisi. Jakarta yang konon sekulernya naudzubilah saja menyambut ramadhan dengan gegap gempita, kok kita yang dielu-elukan keimanannya ini tidak menyambut ramadhan lebih hebat dibandingkan Jakarta?” kata Mas Bule.

Senin, 15 Mei 2017

Kasus Ahok Hanya Tai Bebek Anget

>>sebelumnya<<

#DUDAKARTAdanJAKARTA6
Citra D. Vresti Trisna

Ahok divonis dua tahun. Jakarta pasti ramai. Siang dibakar matahari, menjelang malam, Jakarta dipanaskan lagi dengan teriakan dan kutukan simpatisan Ahok yang menyalakan lilin sambil mewek.
Mungkin tidak hanya di Jakarta, mungkin di seluruh Indonesia, juga dunia. Ya, mungkin! Tak ada yang pasti, tapi yang pasti kerumunan simpatisan itu ingin Ahok dibebaskan.
”Ahok itu tidak bersalah,” kata seseorang. ”Pengadilan dan hakim sialan,” kata kerumunan lainnya. ”Setelah ini, pak Ahok ke luar negeri saja. Jangan di Indonesia,” kata rombongan lainnya lagi.
Situasi Jakarta jadi panas sekali. Tapi sebaliknya Dudakarta jadi sepi. Sepulang sholat berjamaah, mereka langsung masuk ke bilik masing-masing dan mengunci pintu. Siang hari pun tak satu pun warga Dudakarta yang melancong ke Jakarta.
Mbah Ripul kelop-kelop sendiri di pojok warung Mang Alim sambil ngudut. Mas Rombong tidak tega dengan pria yang konon bernama Duri Pulo itu sendirian ndlahom dengan Mang Alim. Akhirnya Rombong keluar rumah juga. Meski ia harus merelakan diri diomeli istrinya yang sedang hamil muda yang kebetulan ngidam dikeloni Mas Rombong sambil didongengi cerita wayang.
”Sepi, Mbah...” sapa Rombong.
”Mbong, ndak ngeloni istrimu? Katanya ngidam kelon. Hehehe...,” goda Mbah Ripul. Rombong menaggapi Mbah Ripul hanya dengan mesem.
Lha sampean tidak ikut bakar lilin, Mbah?” tanya Rombong. ”Katanya mau serius mencontoh Jakarta? Ciyee yang serius? Katanya mendukung Indonesia damai?” kini giliran Rombong yang menggoda Mbah Ripul.
”Dengkulmu mlincet, Mbong-Rombong!” jawab Mbah Ripul. ”Damai itu butuh kedewasaan keduabelah pihak. Ketika subjektivisme akan islam tumbuh subur; ketika mata masyarakat tidak lagi cukup untuk sekedar dicuci dengan wudhu, bisakah semurni-murninya hati umat muslim tinggal diam? Mungkinkah orang yang sehari-hari diam di rumah tidak lantas angkat senjata ketika dianiaya tanpa senjata. Diolok-olok keyakinannya?”
”Apa lagi ini, mbah?” Mas Rombong keheranan dengan respon Mbah Ripul yang marah tiba-tiba.
”Mungkin orang-orang lupa bila kecenderungan pihak yang nampak teraniaya dan kalah judi dadu punya potensi bersih dari kesalahan. Siapa yang benar-benar bisa lepas dari kesalahan ketika konflik horisontal telah terjadi? Kalau pun Ahok sejatinya tidak bersalah, apa lantas Ahok tak punya andil barang satu-dua persen kesalahan? Atau mungkin memang benar bila korban memiliki kecenderungan bebas dari kesalahan hingga orang-orang marah, mengutuk dan menuntut Ahok dibebaskan. Di mata mereka, pihak yang tidak menuntut dianggap tidak pro kebhinekaan. Lha matane, ta?!”

Selasa, 09 Mei 2017

Kabinet Ajaib Dukun Tiban

#DUDAKARTAdanJAKARTA5
Citra D. Vresti Trisna

>>sebelumnya<<


Lama-lama warga Dudakarta gerah juga kalau setiap hari harus mengurusi rambut, gaya berpakaian atau yang lainnya. Sebagai tukang kepo cara hidup di Jakarta, warga Dudakarta tidak mau ketinggalan soal politik. Karena bagaimanapun juga nasionalisme warga Dudakarta tergolong tinggi.
Setelah cukup lama observasi tentang perpolitikan di Jakarta-Indonesia, warga Dudakarta kembali dibikin ngowoh dan terkagum-kagum. Terutama pada sistem demokrasi di Indonesia. Titik pusat kekaguman warga Dudakarta ada pada ketahanan rakyat dalam menerima ”aniaya” dan cara mereka memaafkan pihak-pihak yang menganiaya mereka.
Di mata warga Dudakarta, rakyat Indonesia memiliki kecenderungan masokis. Bila berkaca dari sejarah pergantian pemimpin, baik di sekala kelurahan sampai presiden, rakyat Indonesia tidak kapok untuk datang ke kotak suara guna memilih siapa yang jadi the next algojo ”penjagal” leher rakyat. Awalnya warga Dudakarta berpikir bila berlimpah-limpah panas matahari khatulistiwa mengkonsletkan otak rakyat Indonesia. Akibatnya, rakyat Indonesia menghapus kata trauma di pikiran mereka dan cenderung memiliki keluasan hati untuk memaafkan para penyiksanya.
Dibandingkan dengan Jerman, ketakutan negara pada pelarangan kelompok antidemokrasi membuat Hitler pada akhirnya justru terpilih dalam sistem pemilu yang demokratis. Pada awalnya Hitler dibiarkan berkuasa dengan tujuan untuk membuat rakyat sadar siapa Hitler yang sebenarnya. Tapi memang saat itu warga Jerman sedang apes, karena ternyata Hitler mampu berkuasa hingga belasan tahun sambil membawa kengerian: perang.
Pascaperang, rakyat Jerman sudah kapok-lombok dengan pemimpin anti demokrasi. Mereka sangat trauma dengan tipikal orang macam Hitler. Yang membuat heran warga Dudakarta adalah: mengapa rakyat Jerman baru dipimpin Hitler selama 12 tahun saja sudah kapok dan punya trauma berkepanjangan, sedangkan rakyat Indonesia dipimpin Soeharto yang sama ”sangar-nya” dengan hitler kok tidak kunjung kapok? Bahkan, akhir-akhir ini Soeharto ”dirindukan” lagi.
Piye kabare, le? Isih penak jamanku toh?” Celetuk Mas Rombong disambut riuh tawa pengunjung warung Mang Alim. ”Prediksi saya, kegemaran rakyat Indonesia untuk golek molo sangat berbanding lurus dengan jumlah produksi micin yang meningkat dari tahun ke tahun,” kata Mas Rombong dengan suara yang dibuat berwibawa.

Senin, 08 Mei 2017

Macet 2

#DUDAKARTAdanJAKARTA 4
Citra D. Vresti Trisna

>>macet1<<

Beberapa hari ini Mbah Ripul jarang terlihat di kampung. Kalau sudah begini, Mas Rombong adalah orang yang paling gelisah mencari. Mas Rombong takut menghilangnya Mbah Ripul ada hubungannya dengan kebiasaan barunya ngopi di Grand Indonesia. Ia juga takut kalau Mbah Ripul sampai disianida orang gara-gara sikap ndesonya yang kelewat batas.  
”Sejak acara kenduri pernikahanku, Mbah Ripul sudah tidak pernah kelihatan. Coba saja cari ke sungai. Barangkali dia kintir karena buang air sambil mengantuk,” kata Wakebol, tetangga Mbah Ripul.
”Ah masa sampai segitunya,” protes Rombong.
”Yee.. Coba saja kalau tidak percaya,” kata Wakebol.
”Ngarang.”
Tidak ingin berdebat terlalu lama dengan Wak Ebol, Rombong langsung ke sungai. Rombong terkejut mendapati Mbah Ripul benar-benar di sungai. Ternyata selama ini Mbah Ripul mancing ikan di sungai sebelah surau. Karena posisinya yang nyelempit membuat tidak banyak warga yang mengetahui bila Mbah Ripul berada di sana. Mbah Ripul nampak khusyuk memancing dan tidak peduli badannya dirubung semut dan dihinggapi lalat.
”Mau jadi Sunan Kalijogo jilid dua, mbah?” Sapa Mas Rombong.
”Semprul. Saya ini bukan kelasnya Kanjeng Sunan. Lha wong  mancing kok disamakan dengan orang yang bertapa,” kata Mbah Ripul. ”Saya ini ndak ada seujung kukunya Kanjeng Sunan Kalijogo. Jangankan menunggu tongkat di pinggir sungai, menunggu macet di Jakarta saja tidak betah kok akal-akalan nunggu sungai kaya kanjeng sunan,” protesnya.
Rombong tak mendebat kata-kata Mbah Ripul karena disibukkan membuka bungkusan ketela rebus milik Mbah Ripul. ”Lho sampeyan itu ndak pakai umpan, ya? Sampai Gunung Bajul pindah, ya, ndak bakal dapat ikan,” ejek Rombong.
”Ikan itu hewan yang tunduk pada kosmos. Kalau Gusti Allah menghendaki ikan nyaplok kail saya, kamu mau apa? Saya ini melatih sabar meski kalibernya tidak sedahsyat kanjeng sunan,” balas Mbah Ripul. ”Tidak usah terlalu jauh ke Sunan Kalijogo kalau ternyata kita masih kalah dengan warga Jakarta. Meski orang-orang berpikir orang Jakarta itu mblunat setengah mati, tapi mereka punya daya tahan luar biasa berada di kemacetan kota.”
”Ah, apanya yang tahan macet, mbah. Terkadang perkelahian di jalan juga kerap terjadi karena macet,” kata Rombong menimpali.
”Apa setiap macet pasti berkelahi? Apa semua yang terjebak macet berkelahi? Kan tidak! Kalau mereka tidak sabar dengan kemacetan, itu lumrah dan manusiawi. Mas Rombong, kamu harus tau bila tidak semua orang senang berada dalam kondisi macet, sehingga kesanggupan mengolah rasa tidak senang sebagai ’puasa’ adalah kejeniusan tersendiri. Yang saya apresiasi dari warga Jakarta adalah kesanggupan mereka untuk tetap bersila apapun situasinya, termasuk macet. Dan masyarakat Jakarta dihadapkan pada ribuan peluang untuk bertapa, bermesraan dengan Tuhan di situasi yang tidak menyenangkan. Tentu mustahil bila tidak ada satu pun warga Jakarta yang mengambil peluang itu,” terang Mbah Ripul. 
Rombong yang mulai tertarik dengan kata-kata Mbah Ripul menyahut, ”apanya yang hebat, mbah? Ndak perlu sampean membesar-besarkan soal macet di Jakarta. Namanya juga kota besar. Tingkat konsumtif mereka pada produk otomotif cukup tinggi dan tak sebanding dengan kapasitas jalan. Ya, wajar kalau macet.”
 Mbah Ripul menggandeng tangan Rombong dan tiba-tiba mereka sudah tidak lagi berada di sungai dan berpindah ke bawah flyover Roxy.
Ngapain ke sini, mbah?”
”Tuh lihat jalanan macet kaya gitu. Mereka itu bisa saja naik angkot atau naik ojek atau sepedaan ontel saja. Mengapa mereka lebih memilih membeli mobil dengan konsekwensi harus tua di jalan karena macet?” tanya Mbah Ripul. ”Apa ndak sakti jenis orang macam itu? Tidak! Tidak. Saya tidak akan memusingkan gaya hidup konsumtif dan gengsi orang Indonesia kebanyakan. Saya melihat ketabahan mereka berhadapan dengan macet.”
”Itu kan bodoh toh, mbah? Apanya yang sakti?”
”Kamu ini kebanyakan micin hingga akalmu tidak jernih lagi. Macet Jakarta ini harusnya membuat kita sadar betapa kaya Jakarta; betapa kaya manusia Indonesia. Berapa banyak rongsokan Eropa, Jepang dan Cina yang dijual di dealer itu pasti laku dan habis. Mengapa banyak dibuang ke sini rongsokan itu? Ya, tentu saja hanya orang Indonesia yang mampu beli, lha wong di negara asalnya, orang-orang kaya juga naik angkutan umum. Dan orang kita rela beli rongsokan hanya untuk kejebak macet. Mas Rombong, mereka itu beli rongsokan hanya untuk ’bertapa’ dan melatih kesabaran di dalam kotak-kotak beroda itu,” papar Mbah Ripul.
”Justru Mbah Ripul ini yang kebanyakan micin makanan cepat saji Jakarta. Bagaimana mungkin orang yang hidupnya tamak, tidak efisien seperti orang luar negeri dan mengganggu pejalan macam kita kok dibilang hebat,” tukas Rombong.
”Tidak semua hal yang nampak efisien itu berarti tidak punya titik hitam. Kelas menengah atau kelas atas di Jakarta bisa saja berangkat ke kantor dengan cekeran kaya kita kalau mau ke kakus. Tapi nyatanya mereka memilih membeli mobil yang nantinya bakal menyusahkan mereka; membuang waktu mereka di jalan dengan percuma hanya untuk menunggu kemacetan yang sebenarnya bisa mereka hindari. Rombong, ingatlah. Kemacetan memang tidak penting; tidak efisien. Tapi, kemacetan dibutuhkan oleh orang-orang tertentu untuk bersabar, mengeram diri dan ngobrol akrab dengan Gusti Allah.”
Rombong masih tidak terima. ”Yo susah Mbah. Ngapain juga seperti itu. Kaya kurang mesjid saja orang Jakarta itu.”
”Gusti Allah itu berada dimana saja. Mana ada ruang dimana Gusti Allah tidak ada di situ? Iya sih, memang ada tempat-tempat tertentu dan faktor yang mempengaruhi cepat-tidaknya seseorang berkomunikasi dengan Allah. Justru ketika di kemacetan seperti ini, yang umumnya orang bakal uring-uringan tapi tetap bisa berkomunikasi dengan Gusti Allah itu baru luar biasa; itu jauh lebih baik dari bermesraan di mesjid,” kata Mbah Ripul sambil terkekeh.
Ndak bisa gitu, mbah! Pokoknya ndak bisa!” Rombong terus protes.
”Kamu ini kok ngeyel. Aku baru saja nyambangi Mirna dan kenalan sama dia. Kamu tak kenalin terus tak suruh dia mbuatin kamu kopi. Mau?”
”Ndak bisa, mbah! Pokoknya...!”

Dan malam pun tiba. 

Kamis Legi, 4 Mei 2017

Sabtu, 06 Mei 2017

Macet 1

#DUDAKARTAdanJAKARTA 3
Citra D. Vresti Trisna

Mbah Ripul semakin nggaya. Bahkan kini urusan beli kolor pun harus ke Jakarta. Ia ingin merasakan naik taxi dan terjebak macet seperti warga Jakarta lainnya. Awalnya ia merem melek bangga merasakan kenikmatan menjadi kota, meski matanya sesekali melirik argo yang terus bertambah. 
Satu-dua jam Mbah Ripul masih tahan. Setelah hampir tiga jam, Mbah Ripul resah karena sudah menjelang magrib tapi belum juga sampai tujuan. Padahal ia ingin sholat magrib dan isya berjamaah lalu menghadiri kenduri di rumah Wakebol. 
Ketika pikirannya sudah berlarian kesana-kemari, diam-diam Mbah Ripul melihat wajah sopir taxi yang nampak tenang dan kalem. Meski sejak awal naik hingga hampir tiga jam lamanya, Mbah Ripul tidak diajak bicara. Ia pun tidak keberatan didiamkan. Mungkin saat sopir taxi berpikir bila potongan penumpangnya ini tidak mungkin memberikan tips lebih. Atau paling parah hanya memberikan uang recehan yang sudah bau balsem.
Untuk meredakan resahnya, Mbah Ripul melihat ke luar jendela. Ia mendapati mobil berjajar ruwet tak karuan. Di kaca depan mobil pun terlihat kemacetan di sepanjang Jalan Thamrin nampak tak kelihatan ujungnya dan membuatnya semakin resah.
Setelah beberapa kali melihat keluar jendela, ia mendapati wajah sopir di balik kaca mobil juga nampak tenang. Berbeda dengan dirinya yang sudah berkali-kali menggeser tempat duduk. Sejurus kemudian ia mendapati dirinya malu setengah mati. Ia tak sanggup hidup tenang sebagaimana warga Jakarta lainnya yang juga terjebak macet. Kalau pun diantara mereka juga punya urusan yang mendesak, tapi paling tidak warga Jakarta lebih dapat menyembunyikan keresahan mereka di balik air muka yang tenang, kaku dan dingin.
AC taxi tak mampu menepis rasa panas yang keluar dari dalam dirinya lantaran sudah mendengar adzan Maghrib berkumandang dari corong mesjid di pinggir jalan raya. Karena sudah tak tahan, ia keluarkan uang seperti yang tertera di argo taxi dan keluar dari mobil.
”Lho mau kemana, pak? Ini kan belum sampai ke tujuan bapak,” tanya sopir.
"Saya turun di sini saja," kata Mbah Ripul. 
Setelah membuka pintu mobil. Mbah Ripul keluar mobil dan berlari di  antara rapatnya mobil-mobil yang berjajar rapi untuk menuju mesjid secepatnya. Ia berlari cukup lincah meski usianya sudah tidak lagi muda. Rasa malu lantaran tak sanggup bersabar menghadapi kemacetan membuatnya malu kepada semua warga Jakarta. 
Mbah Ripul mencoba menghibur dirinya sendiri dengan berpikir bila upaya keluar dari taxi adalah hal yang benar: segera lari ke mesjid karena sudah masuk waktu sholat. Tapi dalam hal kesabaran, ia merasa ditelanjangi karena tak mampu untuk bersikap tenang seperti warga Jakarta lainnya yang juga mengalami kemacetan yang sama. Ia juga sadar bila yang yang dikejar waktu sholat bukan dirinya saja; yang ingin dekat dengan Tuhan bukan dirinya saja. 

Usai sholat, Mbah Ripul menangis sesenggukan tanpa jelas sebabnya. Sebelum meninggalkan mesjid, ia mengirim Al Fatihah kepada seluruh warga Jakarta. Dan Mbah Ripul memutuskan pulang dengan jalan kaki ke kotanya yang bersahaja.


Dudakarta, Kamis Wage 4 Mei 2017

Kamis, 04 Mei 2017

Dua Kuman Kotor di Grand Indonesia

#DUDAKARTAdanJAKARTA 2
Citra D. Vresti Trisna

>>sebelumnya<<

Dudakarta adalah puncak kesunyian kota. Sesuatu yang lebih sunyi dari sunyi hingga apapun yang dilihat penghuninya selalu mengingatkan kepada Allah; bernapas dengan menyebut nama Allah; beraktifitas sambil berdzikir; mengambil segala keputusan dengan meminta pertimbangan Allah.
Kesunyian yang tanpa tanding membuat warga Dudakarta sangat peka dan tahu diri. Mereka merasa nikmat yang didapatkannya tak sebanding dengan datangnya ujian dari Allah. Bukan pemandangan aneh bila di tengah jalan, ada orang meraung-raung berdoa minta miskin, meski dari hari ke hari mereka malah bertambah jadi kaya. Warga Dudakarta merasa iba dengan warga miskin Jakarta yang meski setiap hari berdoa minta kaya tapi justru malah tambah miskin.
Konon warga Dudakarta adalah warga pelarian dari masa silam yang berdemo dan ngambek ketika di-SMS Gusti Allah dan diberitahu bila suatu saat bakal ada negara yang bernama Indonesia. Ketajaman mripat batin mereka mengerti bila hampir semua jalannya napas kehidupan penghuninya menyebut nama berhala mereka: materi, materi, materi. Meski sebagian penghuninya beragama Islam.
Ada yang bilang warga Dudakarta adalah hantu dari para duda kapiran yang melarikan diri di zaman romusha Jepang. Ada juga yang bilang warga Dudakarta adalah pelarian para pekerja tanam paksa di masa Gubernur Jendral Johannes Van Den Bosch. Tapi bagi warga Dudakarta itu tak jadi soal. Mereka hanya tahu  Allah adalah ”awal dan akhir” segala sesuatu.
Warga Dudakarta seolah tak peduli dengan anggapan warga Jakarta soal spekulasi darimana warga Dudakarta berasal, karena disibukkan dengan proyek baru untuk ”menjadi kota”.

Rabu, 03 Mei 2017

Nyotek Cara Hidup Jakarta

#DUDAKARTAdanJAKARTA
Citra D. Vresti Trisna

     Halo masyarakat Dudakarta! Bagaimana kabar kalian hari ini? Ya, tentu saja kalau Mbah Ripul tanya, pasti akan jawab, ”syukur Alhamdulillah. Kabar kami baik, Mbah Ripul.”
Kabar masyarakat Dudakarta pastilah baik. Berbeda dengan kota sebelah yang disebut-sebut Jakarta itu. Jakarta itu sumpek pikirannya. Ruwetnya pikiran warga Jakarta memancar ke seluruh Indonesia dan membuat wilayah lain di Indonesia ikut-ikutan ruwet. Kalau ada orang yang ndak ruwet dibawa ke Jakarta, bisa dipastikan dua-tiga hari orang tersebut akan ikut-ikutan ruwet.
Sedangkan situasi di Dudakarta itu berbeda hampir 180 derajat dengan Jakarta. Di Dudakarta itu tototentrem kertoraharjo sebagaimana Alm Kalijodo, Jakarta. Masyarakat hidup berdampingan, suka bergotong-royong, berkecukupan, dan memiliki rasa syukur yang tinggi atas rizki dari Allah. Tapi, anehnya, kondisi tersebut tidak lantas membuat masyarakat Dudakarta jadi senang. Kehidupan yang aman-nyaman tersebut dianggap kurang memberikan tantangan, sehingga masyarakat Dudakarta berusaha keras membuat Dudakarta menjadi kopian Jakarta.
”Gimana, Mbah Ripul, sebagai mbambungan, sampeyan kerasan tinggal di Dudakarta ini?” tanya Mas Rombong.
”Ya, senang ndak senang,” jawab Mbah Ripul.
”Kok bisa begitu, Mbah?”

Jumat, 21 April 2017

Menjenguk Filusuf yang Kangen Mati

Dimuat di Radar Surabaya, 15 Januari 2017


Dongeng di kursi kereta

dalam aniaya mulut kecut
tiap sel tubuhku bersumpah

tak ada dendam antara kretek
dan gerbong kereta
sahabat yang saling menjelaskan
napas negara dunia ketiga

barang-barang penumpang
saling silang, menunggu
bibir-bibir hitam asongan
menandai

: malam turun lebih cepat
dari biasanya

alir sungai dalam kepala
mengalir ke stasiun tujuan
ke peron yang genit
menuntun ke remang
stasiun lain yang lebih malam
menandai panggilan
kekasih yang tak dikenali

dalam aniaya bisu
dongeng kursi kereta
menyala

nomor-nomor telepon
yang tertukar
tubuh yang tertukar
cinta tertukar sebagian

kursi kereta
mengenali napas obrolan
dan sebuah janji
cinta yang lebih panas
di kereta yang lain

Jakarta, 2016



Senin, 20 Februari 2017

Perempuan dan tidur


Perempuan itu meremas tanganku usai memberiku tidur. Matanya nyalang seperti protes klakson Jakarta menjelang magrib: cerewet tanpa penjelasan. Menghampiri sekali lagi dadanya yang bantal. Kupeluk tubuhnya sampai ia berkata, ”apa kau ingin tidur dengan mata terbuka?”

Selepas mandi, tubuh perempuan itu mirip bokong pizza: licin, haram, panas, memabukkan dan tiada. Aku pernah ke sana untuk mabuk dan minum-minum sampai larut. Sampai perempuan kembali memberi tidur yang gemas.  
Dia kerap membuatku menyala di pukul tiga pagi. Saat aku melancong             ke tengkuknya yang getas. Ada api menjilat mengimbangi lidahku sampai pertarungan diakhiri sebotol minuman bersoda.
Begitu manis cintanya hingga berhari-hari tak kembali?

Tapi aku bersabar menunggunya pulang. Saat ia mengentuk pintu kamar nanti
aku akan melompat ke jantungnya. Menyaksikan urat sepi berdegub pelan-pelan; memompa rindu – waktu – yang digugurkan tualang.
Di jantung perempuan, aku melihat cinta diiris melintang seperti makanan cepat saji yang ia pesan satu jam lalu.

Aku kerap menyaksikan ia bersama kata, paragraf yang membelah-belah
rasa sakit. ”Kita tak perlu sendirian, malam ini,” ujarku.
Tapi langkahnya ke kamar mandi melenyapkan tubuh dan ingatan.
Kita sama-sama saling melupakan saat aku dibakar kesibukan kantor-kantor aborsi dan ia dilenyapkan tidur siang.

Kepergian perempuan adalah kesetiaannya menyalakan lampu kamar, menjahit, dan memberiku tidur seperti biasa. Ia juga mengangkat jemuran ketika hari hujan. Mengepel genangan air dari genting yang bocor. Tapi, perempuan itu tidak lagi menyapaku. Hanya sorot matanya sesekali menyisirku sembari mengolesi minyak zaitun.

Aku diam dalam pangkuannya. Aku menyala diantara cintanya yang tak ada.
Di pahanya yang bantal, tersimpan arsip tidur. Di tengkuknya yang gemas cintaku tumbuh. Di tubuhnya yang perempuan, aku tidur lagi sebagai kekasih yang tak pernah ada; yang tak pernah ia ingat sebagai cerita.



Jakarta, 2016

 gambare dalbo

Minggu, 05 Februari 2017

Cabai Mahal dan Mencret Massal

Curhat dan Analisa Peramal Togel (yang Gagal)

Sekarang harga cabai mahal. Kalau harga mas kawin sudah melangit sejak dulu. Setelah ini apa lagi?
Saya tidak ingin menyalahkan Jokowi soal cabai. Saya khawatir para pendukungnya marah. Pakewuh kalau nanti dibilang haters. Dianggap simpatisan Prabowo, meski Gusti Allah tahu saya ndak nyoblos pilpres kemarin. Saya takut juga diciduk dan dibilang makar. Karena, pengertian ”makar” itu makin kabur saja akhir-akhir ini. Terlebih lagi pemerintah sekarang ”hangat-hangat tahi ayam”, terkadang mbodo, terkadang melas, terkadang galaknya setengah modyar. Tentu saja tidak sulit ”menertibkan” kelas coro seperti saya ini, jadi saya takut. 
Soal cabai, saya hanya ingin ngedumel sendiri. Soal siapa yang bersalah, saya tak mau ambil pusing. Kalau ada pihak-pihak yang membiarkan harga cabai naik, ya, monggo saja. Jangan nanggung-nanggung dan kalau bisa sekalian menaikkan harga rokok, kopi saset dan kalau perlu menarik bayar pada oksigen yang rakyat hirup. Keinginan saya ngedumel itu karena saya mafhum  kalau ”kata-kata” itu sudah tak punya power untuk membuat bising telinga-telinga buntu. Apalagi para spekulan cabai ndak mungkin baca blog ini.
”Kalau kau pesimis dengan kata, untuk apa kau menulis?”
Terus-terang saya serba pakewuh dengan banyak pihak apabila saya hanya jadi penonton yang gemas sendiri. Saya sungkan dengan adek mahasiswa yang masih berpikir bila saya adalah mantan anak pers kampus. ”Anak pers kok tidak kritis!” Padahal saya berhak tidak peduli dengan anggapan-anggapan itu. Bukankah pers mahasiswa itu suci dan tidak bicara soal remeh-remeh urusan dapur; urusan yang nyelempit sudut genangan busuk pasar sayur. Mereka akan turun dengan sendirinya kalau yang dibahas itu sangat prinsipil, seperti: filsafat, pertentangan ideologi, atau teori nganu... nganu...
Saya ndak enak dengan tetangga kos yang kebetulan ngopi di warkop dan tanya pada saya, ”itu harga cabai mahal, kagak lu tulis? Tega amat pemerintah sama kite-kite. Lu tulis, dong. Elo kan orang tipi?” Kalau sudah seperti itu, saya harus bagaimana? Inilah yang berat buat saya. Meski mereka tidak paham dengan pekerjaan saya, tetapi apa, ya, saya terus-terusan nyengir kuda menaggapi kata-kata mereka. Kalau pun saya boleh sedikit menggawat-gawatkan, tentu saja segala yang sampai pada kita adalah ”ayat”, dimana ia datang bukan tanpa maksud. Ini adalah semiotika tuhan yang mesti saya terjemahkan walaupun sering gagal. Ya, saya ini gampang dibikin sungkan, tetapi untuk potongan saya sekarang, saya ini bisa apa? Kalau pun terpaksa jadi tulisan entah apapun bentuknya, tentu saja ini sekedar gugur kewajiban.
Kembali lagi soal standar harga mas kawin, eh, maksud saya harga cabai yang mahal. Saya pikir, kejadian ini bukan tanpa sebab atau berdiri sendiri. Kalau saya boleh lanjut untuk menggawat-gawatkan, tentu akan banyak pihak yang terseret. Jangankan menteri perdagangan, Jokowi, demit alas, atau bahkan Trump ang baru terpilih juga bisa kena. Bahkan Obama yang sedang menikmati masa pensiun sambil main karambol di pulau pribadi salah seorang pendukungnya pun juga bisa diseret-seret untuk dipersalahkan dan dikemplang. Termasuk saya.